1. Bahan Kimia Pembersih
Dalam kehidupan sehari-hari,
kita mengenal berbagai bahan kimia pembersih, di antaranya sabun dan detergen,
seperti ditunjukkan pada Gambar 8.1. Sabun dan detergen dapat menjadikan lemak
dan minyak yang tadinya tidak dapat bercampur dengan air menjadi mudah
bercampur. Sabun dan detergen dalam air dapat melepaskan sejenis ion yang
memiliki bagian yang suka air (hidrofilik) sehingga dapat larut dalam air dan
bagian yang tidak suka akan air (hidrofobik) sehingga larut dalam minyak atau
lemak. Jika dalam pakaian yang dicuci dengan detergen terdapat kotoran lemak
maka bagian ion yang bersifat hidrofobik masuk ke dalam butiran lemak atau
minyak dan bagian ion tersebut yang bersifat hidrofilik akan mengarah ke
pelarut air. Keadaan ini menyebabkan butiran-butiran minyak akan saling
tolak-menolak karena menjadi bermuatan sejenis. Akibatnya, kotoran lemak atau
minyak yang telah lepas dari pakaian tidak dapat saling bersatu lagi dan tetap
berada dalam larutan. Sebagai ilustrasi dari penjelasan tersebut, perhatikan
Gambar 8.2 berikut. Kita perlu hati-hati dalam memilih bahan pembersih, bahan
tersebut jangan sampai menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap lingkungan.
Beberapa jenis detergen sukar diuraikan oleh pengurai. Jika detergen ini
bercampur dengan air tanah yang dijadikan sumber air minum manusia atau
binatang ternak maka air tanah tersebut akan membahayakan kesehatan. Oleh
karena itu, kita sebaiknya memilih detergen yang limbahnya dapat diuraikan oleh
mikrorganisme (biodegradable). Pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan oleh
pemakaian detergen yang tidak selektif atau tidak hati-hati adalah: a. rusaknya
keindahan lingkungan perairan; b. terancamnya kehidupan hewan-hewan yang hidup
di air; dan c. merugikan kesehatan manusia.
2. Pemutih Pakaian
Pemutih biasanya dijual dalam bentuk larutannya (lihat Gambar 8.3)
dan digunakan untuk menghilangkan kotoran atau noda berwarna yang sukar
dihilangkan dengan hanya menggunakan sabun atau detergen. Larutan pemutih yang
dijual di pasaran biasanya mengandung bahan aktif natrium hipoklorit (NaOCl)
sekitar 5%. Selain digunakan sebagai pemutih dan membersihkan noda, juga
digunakan untuk desinfektan (membasmi kuman). Pada umumnya, bahan pemutih yang
dijual di pasaran sudah aman untuk dipakai selama pemakaiannya sesuai dengan
petunjuk. Selain dengan noda, zat ini juga bisa bereaksi dengan zat warna
pakaian sehingga dapat memudarkan warna pakaian. Oleh karena itu, pemakaian
pemutih ini harus sesuai petunjuk.
3. Pewangi
Pewangi merupakan bahan
kimia lain yang erat kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Kita dapat
memperoleh bahan pewangi dari bahan alam maupun sintetik. Bahan pewangi alami
yang sudah kita kenal di antaranya diperoleh dari daun kayu putih, kulit kayu
manis, batang kayu cendana, bunga kenanga, bunga melati, dan buah pala. Bahan
pewangi sintetik biasanya dipakai dalam berbagai pewangi atau parfum dalam
kemasan, seperti pada Gambar 8.4. Selain zat yang menimbulkan aroma wangi,
pewangi yang dijual di pasaran biasanya mengandung zat-zat lain, seperti
alkohol untuk pewangi yang berbentuk cair dan tawas untuk pewangi yang
berbentuk padat. Selain alkohol, masih terdapat beragam zat tambahan lainnya
yang sengaja ditambahkan ke dalam pewangi agar parfum mudah disemprotkan (zat
tersebut berfungsi sebagai propelan). Di antara zat-zat tambahan yang dapat
berfungsi sebagai propelan tersebut ada yang dapat mencemari lingkungan.
Propelan tertentu jika lepas ke udara kemudian masuk ke atmosfer bagian atas
akan merusak lapisan ozon (suatu lapisan di udara bagian atas yang melindungi
manusia dari sinar-sinar berenergi tinggi, seperti sinar ultra violet). Untuk
itu, kita harus selektif ketika membeli produk berupa parfum, jangan sampai
mengandung bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan.
4. Pestisida
Bahan
kimia jenis pestisida erat sekali dengan kehidupan para petani. Pestisida dipakai untuk memberantas hama tanaman sehingga tidak mengganggu hasil
produksi pertanian. Pestisida meliputi semua jenis obat (zat/bahan kimia)
pembasmi hama
yang ditujukan untuk melindungi tanaman dari serangan serangga, jamur, bakteri,
virus, tikus, bekicot, dan nematoda (cacing). Pestisida yang biasa digunakan
para petani dapat digolongkan menurut fungsi dan sasaran penggunaannya, yaitu:
a. Insektisida, yaitu pestisida
yang digunakan untuk memberantas serangga, seperti belalang, kepik, wereng, dan
ulat. Beberapa jenis insektisida juga dipakai untuk memberantas sejumlah
serangga pengganggu yang ada di rumah, perkantoran, atau gudang, seperti
nyamuk, kutu busuk, rayap, dan semut. Contoh insektisida adalah basudin,
basminon, tiodan, diklorovinil dimetil fosfat, dan diazinon. Gambar 8.5
merupakan contoh produk insektisida untuk memberantas nyamuk. b. Fungisida, yaitu
pestisida yang dipakai untuk memberantas dan mencegah pertumbuhan jamur atau
cendawan. Bercak yang
ada pada daun, karat daun, busuk daun, dan cacar daun disebabkan oleh serangan
jamur. Beberapa contoh fungisida adalah tembaga oksiklorida, tembaga(I) oksida,
karbendazim, organomerkuri, dan natrium dikromat. c. Bakterisida, yaitu
pestisida untuk memberantas bakteri atau virus. Pada umumnya, tanaman yang
sudah terserang bakteri sukar untuk disembuhkan. Oleh karena itu, bakterisida
biasanya diberikan kepada tanaman yang masih sehat. Salah satu contoh dari
bakterisida adalah tetramycin, sebagai pembunuh virus CVPD yang menyerang
tanaman jeruk. d. Rodentisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk memberantas
hama tanaman berupa hewan pengerat, seperti tikus. Rodentisida dipakai dengan
cara mencampurkannya dengan makanan kesukaan tikus. Dalam meletakkan umpan
tersebut harus hati-hati, jangan sampai termakan oleh binatang lain. Contoh
dari pestisida jenis ini adalah warangan. e. Nematisida, yaitu pestisida yang digunakan
untuk memberantas hama tanaman jenis cacing (nematoda). Hama jenis cacing
biasanya menyerang akar dan umbi tanaman. Oleh karena pestisida jenis ini dapat
merusak tanaman maka pestisida ini harus sudah ditaburkan pada tanah tiga
minggu sebelum musim tanam. Contoh dari pestisida jenis ini adalah DD, vapam,
dan dazomet. f. Herbisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membasmi
tanaman pengganggu (gulma), seperti alang-alang, rerumputan, dan eceng gondok.
Contoh dari herbisida adalah ammonium sulfonat dan pentaklorofenol. Penggunaan
pestisida telah menimbulkan dampak yang negatif, baik itu bagi kesehatan
manusia maupun bagi kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, penggunaannya
harus dilakukan sesuai dengan aturan. Beberapa dampak negatif yang dapat timbul
akibat penggunaan pestisida, di antaranya: a. Terjadinya pengumpulan pestisida
(akumulasi) dalam tubuh manusia karena beberapa jenis pestisida sukar terurai.
Pestisida yang terserap tanaman akan terdistribusi ke dalam akar, batang, daun,
dan buah. Jika tanaman ini dimakan hewan atau manusia maka pestisidanya akan
terakumulasi dalam tubuh sehingga dapat memunculkan berbagai risiko bagi
kesehatan hewan maupun manusia. b. Munculnya hama spesies baru yang lebih tahan
terhadap takaran pestisida. Oleh karena itu, diperlukan dosispemakaian
pestisida yang lebih tinggi atau pestisida lain yang lebih kuat daya basminya.
Jika sudah demikian maka risiko pencemaran akibat pemakaian pestisida akan
semakin besar baik terhadap hewan maupun lingkungan, termasuk juga manusia
sebagai pelakunya. Ternyata, penggunaan pestisida selain memberikan keuntungan
juga dapat memberikan kerugian.
5. Zat Pemanis
Zat pemanis berfungsi
untuk menambah rasa manis pada makanan dan minuman. Zat pemanis dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a. Zat pemanis alami. Pemanis ini dapat diperoleh dari
tumbuhan, seperti kelapa, tebu, dan aren. Selain itu, zat pemanis alami dapat
pula diperoleh dari buahbuahan dan madu. Zat pemanis alami berfungsi juga
sebagai sumber energi. Jika kita mengonsumsi pemanis alami secara berlebihan,
kita akan mengalami risiko kegemukan. Orang-orang yang sudah gemuk badannya
sebaiknya menghindari makanan atau minuman yang mengandung pemanis alami
terlalu tinggi. b. Zat pemanis buatan atau sintetik. Pemanis buatan tidak dapat
dicerna oleh tubuh manusia sehingga tidak berfungsi sebagai sumber energi. Oleh
karena itu, orangorang yang memiliki penyakit kencing manis (diabetes melitus)
biasanya mengonsumsi pemanis sintetik sebagai pengganti pemanis alami. Contoh
pemanis sintetik, yaitu sakarin, natrium siklamat, magnesium siklamat, kalsium
siklamat, aspartam (lihat Gambar 8.12), dan dulsin. Pemanis buatan memiliki
tingkat kemanisan yang lebih tinggi dibandingkan pemanis alami. Garamgaram
siklamat memiliki kemanisan 30 kali lebih tinggi dibandingkan kemanisan
sukrosa. Namun, kemanisan garam natrium dan kalsium dari sakarin memiliki
kemanisan 800 kali dibandingkan dengan kemanisan sukrosa 10%. Walaupun pemanis
buatan memiliki kelebihan dibandingkan pemanis alami, kita perlu menghindari
konsumsi yang berlebihan karena dapat memberikan efek samping bagi kesehatan.
Misalnya, penggunaan sakarin yang berlebihan selain akan menyebabkan rasa
makanan terasa pahit juga merangsang terjadinya tumor pada bagian kandung
kemih. Contoh lain, garam-garam siklamat pada proses metabolisme dalam tubuh
dapat menghasilkan senyawa sikloheksamina yang bersifat karsinogenik (senyawa
yang dapat menimbulkan penyakit kanker). Garam siklamat juga dapat memberikan
efek samping berupa gangguan pada sistem pencernaan terutama pada pembentukan
zat dalam sel.
6. Zat Pengawet
Ada
sejumlah cara menjaga agar makanan dan minuman tetap layak untuk dimakan atau
diminum walaupun sudah tersimpan lama. Salah satu upaya tersebut adalah dengan
cara menambahkan zat aditif kelompok pengawet (zat pengawet) ke dalam makanan
dan minuman. Zat pengawet adalah zatzat yang sengaja ditambahkan pada bahan
makanan dan minuman agar makanan dan minuman tersebut tetap segar, bau dan
rasanya tidak berubah, atau melindungi makanan dari kerusakan akibat membusuk
atau terkena bakteri/ jamur. Karena penambahan zat aditif, berbagai makanan dan
minuman masih dapat dikonsumsi sampai jangka waktu tertentu, mungkin seminggu,
sebulan, setahun, atau bahkan beberapa tahun. Dalam makanan atau minuman yang
dikemas dan dijual di toko-toko atau supermarket biasanya tercantum tanggal
kadaluarsanya, tanggal yang menunjukkan sampai kapan makanan atau minuman
tersebut masih dapat dikonsumsi tanpa membahayakan kesehatan. Zat pengawet
alami berasal dari alam, contohnya gula (sukrosa) yang dapat dipakai untuk
mengawetkan buah-buahan (manisan) dan garam dapur yang dapat digunakan untuk
mengawetkan ikan. b. Zat pengawet sintetik atau buatan merupakan hasil sintesis
dari bahan-bahan kimia. Contohnya, asam cuka dapat dipakai sebagai pengawet
acar dan natrium propionat atau kalsium propionat dipakai untuk mengawetkan
roti dan kue kering. Garam natrium benzoat, asam sitrat, dan asam tartrat juga
biasa dipakai untuk mengawetkan makanan. Selain zat-zat tersebut, ada juga zat
pengawet lain, yaitu natrium nitrat atau sendawa (NaNO3) yang berfungsi untuk
menjaga agar tampilan daging tetap merah. Asam fosfat yang biasa ditambahkan
pada beberapa minuman penyegar juga termasuk zat pengawet. Selain pengawet yang
aman untuk dikonsumsi, juga terdapat pengawet yang tidak boleh dipergunakan
untuk mengawetkan makanan. Zat pengawet yang dimaksud, di antaranya formalin
yang biasa dipakai untuk mengawetkan benda-benda, seperti mayat atau binatang
yang sudah mati. Pemakaian pengawet formalin untuk mengawetkan makanan, seperti
bakso, ikan asin, tahu, dan makanan jenis lainnya dapat menimbulkan risiko
kesehatan. Selain formalin, ada juga pengawet yang tidak boleh dipergunakan
untuk mengawetkan makanan. Pengawet yang dimaksud adalah pengawet boraks.
Pengawet ini bersifat desinfektan atau efektif dalam menghambat pertumbuhan
mikroba penyebab membusuknya makanan serta dapat memperbaiki tekstur makanan
sehingga lebih kenyal (perhatikan Gambar 8.14). Boraks hanya boleh dipergunakan
untuk industri nonpangan, seperti dalam pembuatan gelas, industri kertas,
pengawet kayu, dan keramik. Jika boraks termakan dalam kadar tertentu, dapat
menimbulkan sejumlah efek samping bagi kesehatan, di antaranya: a. gangguan
pada sistem saraf, ginjal, hati, dan kulit; b. gejala pendarahan di lambung dan
gangguan stimulasi saraf pusat; c. terjadinya komplikasi pada otak dan hati;
dan d. menyebabkan kematian jika ginjal mengandung boraks sebanyak 3–6 gram.
Walaupun
tersedia zat pengawet sintetik yang digunakan sebagai zat aditif makanan, di
negara maju banyak orang enggan mengonsumsi makanan yang memakai pengawet
sintetik. Hal ini telah mendorong perkembangan ilmu dan
teknologi pengawetan makanan dan minuman tanpa penambahan zat-zat kimia,
misalnya dengan menggunakan sinar ultra violet (UV), ozon, atau pemanasan pada
suhu yang sangat tinggi dalam waktu singkat sehingga makanan dapat disterilkan
tanpa merusak kualitas makanan.
7. Zat Penyedap Cita Rasa
Di Indonesia terdapat begitu
banyak ragam rempahrempah yang dipakai untuk meningkatkan cita rasa makanan,
seperti cengkeh, pala, merica, ketumbar, cabai, laos , kunyit, bawang, dan masih
banyak lagi yang lain. Melimpahnya ragam rempah-rempah ini merupakan salah satu
sebab yang mendorong penjajah Belanda dan Portugis tempo dulu ingin menguasai Indonesia .
Jika rempah-rempah
dicampur dengan makanan saat diolah, dapat menimbulkan cita rasa tertentu pada
makanan. Selain zat penyedap cita rasa yang berasal dari alam, ada pula yang
berasal dari hasil sintesis bahan kimia. Berikut ini beberapa contoh zat
penyedap cita rasa hasil sintesis: a. oktil asetat, makanan akan terasa dan
beraroma seperti buah jeruk jika dicampur dengan zat penyedap ini; b. etil
butirat, akan memberikan rasa dan aroma seperti buah nanas pada makanan; c.
amil asetat, akan memberikan rasa dan aroma seperti buah pisang; d. amil
valerat, jika makanan diberi zat penyedap ini maka akan terasa dan beraroma
seperti buah apel. Selain zat penyedap rasa dan aroma, seperti yang sudah
disebutkan di atas, terdapat pula zat penyedap rasa yang penggunaannya meluas
dalam berbagai jenis masakan, yaitu penyedap rasa monosodium glutamat (MSG)
seperti ditunjukkan pada Gambar 8.15. Zat ini tidak berasa, tetapi jika sudah
ditambahkan pada makanan maka akan menghasilkan rasa yang sedap. Penggunaan MSG
yang berlebihan telah menyebabkan “Chinese restaurant syndrome” yaitu suatu
gangguan kesehatan di mana kepala terasa pusing dan berdenyut. Bagi yang
menyukai zat penyedap ini tak perlu khawatir dulu. Kecurigaan ini masih
bersifat pro dan kontra. Bagi yang mencoba menghindari untuk mengonsumsinya,
sudah tersedia sejumlah merk makanan yang mencantumkan label “tidak mengandung
MSG” dalam kemasannya. Pada pembahasan sebelumnya, kamu sudah mempelajari
tentang pengelompokan zat aditif berdasarkan fungsinya beserta
contoh-contohnya. Perlu kamu ketahui bahwa suatu zat aditif dapat saja memiliki
lebih dari satu fungsi. Seringkali suatu zat aditif, khususnya yang bersifat
alami memiliki lebih dari satu fungsi. Contohnya, gula alami biasa dipakai
sebagai zat aditif pada pembuatan daging dendeng. Gula alami tersebut tidak
hanya berfungsi sebagai pemanis, tetapi juga berfungsi sebagai pengawet. Contoh
lain adalah daun pandan yang dapat berfungsi sebagai pemberi warna pada makanan
sekaligus memberikan rasa dan aroma khas pada makanan. Untuk penggunaan zat-zat
aditif alami, umumnya tidak terdapat batasan mengenai jumlah yang boleh
dikonsumsi perharinya. Untuk zat-zat aditif sintetik, terdapat aturan
penggunaannya yang telah ditetapkan sesuai Acceptable Daily Intake (ADI) atau
jumlah konsumsi zat aditif selama sehari yang diperbolehkan dan aman bagi
kesehatan. Jika kita mengonsumsinya melebihi ambang batas maka dapat
menimbulkan risiko bagi kesehatan. Jika kita mengidentifikasi zat aditif yang
dipakai dalam makanan/minuman, lihatlah kemasan pada makanan/minuman tersebut,
kemudian buatlah tabel seperti Tabel 8.2 berikut
5. Zat Pewarna
Pemberian warna pada makanan umumnya
bertujuan agar makanan terlihat lebih segar dan menarik sehingga menimbulkan
selera orang untuk memakannya. Zat pewarna yang biasa digunakan sebagai zat
aditif pada makanan adalah: a. Zat pewarna alami, dibuat dari ekstrak
bagian-bagian tumbuhan tertentu, misalnya warna hijau dari daun pandan atau
daun suji, warna kuning dari kunyit, seperti
ditunjukkan pada Gambar 8.9, warna cokelat dari buah cokelat, warna
merah dari daun jati, dan warna kuning merah dari wortel. Karena jumlah pilihan
warna dari zat pewarna alami terbatas maka dilakukan upaya menyintesis zat pewarna
yang cocok untuk makanan dari bahan-bahan kimia. b. Zat pewarna sintetik,
dibuat dari bahan-bahan kimia. Dibandingkan dengan pewarna alami, pewarna
sintetik memiliki beberapa kelebihan, yaitu memiliki pilihan warna yang lebih
banyak, mudah disimpan, dan lebih tahan lama.
Beberapa
zat pewarna sintetik bisa saja memberikan warna yang sama, namun belum tentu
semua zat pewarna tersebut cocok dipakai sebagai zat aditif pada makanan dan
minuman. Perlu diketahui bahwa zat pewarna sintetik yang bukan untuk makanan
dan minuman (pewarna tekstil) dapat membahayakan kesehatan apabila masuk ke
dalam tubuh karena bersifat karsinogen (penyebab penyakit kanker). Oleh karena
itu, kamu harus berhati-hati ketika membeli makanan atau minuman yang memakai
zat warna. Kamu harus yakin dahulu bahwa zat pewarna yang dipakai sebagai zat
aditif pada makanan atau minuman tersebut adalah memang benar-benar pewarna
makanan dan minuman. Berdasarkan sifat kelarutannya, zat pewarna makanan
dikelompokkan menjadi dye dan lake. Dye merupakan zat
bewarna makanan yang umumnya bersifat larut dalam air. Dye biasanya dijual di
pasaran dalam bentuk serbuk, butiran, pasta atau cairan. Lake merupakan
gabungan antara zat warna dye dan basa yang dilapisi oleh suatu zat tertentu.
Karena sifatnya yang tidak larut dalam air maka zat warna kelompok ini cocok
untuk mewarnai produkproduk yang tidak boleh terkena air atau produk yang
mengandung lemak dan minyak.
6. Zat Adiktif
Zat adiktif adalah istilah untuk
zat-zat yang pemakaiannya dapat menimbulkan ketergantungan fisik yang kuat dan
ketergantungan psikologis yang panjang (drug dependence). Kelompok zat adiktif
adalah narkotika (zat atau obat yang berasal dari tanaman) atau bukan tanaman,
baik sintetik maupun semisintetik, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa sakit, dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Narkotika menurut tujuan penggunaan dan tingkatan
risiko ketergantungannya terbagi dalam 3 golongan, yaitu: a. Golongan I,
narkotika hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi serta memiliki potensi sangat tinggi untuk mengakibatkan sindrom
ketergantungan. b. Golongan II, narkotika untuk pengobatan yang digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau untuk tujuan
ilmu pengetahuan serta memiliki potensi kuat untuk mengakibatkan sindrom
ketergantungan. c. Golongan III, narkotika untuk pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta berpotensi
ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan.
a. Ganja
Ganja atau mariyuana merupakan
zat adiktif narkoba dari golongan kanabionoid. Ganja terbuat dari daun, bunga,
biji, dan ranting muda tanaman mariyuana (Cannabis sativa) yang sudah kering,
contoh pohon ganja dapat dilihat pada Gambar 8.16. Ganja dipakai dalam bentuk
rokok lintingan, campuran tembakau, dan damar ganja. Tanda-tanda penyalahgunaan
ganja, yaitu gembira dan tertawa tanpa sebab, santai dan lemah, banyak bicara
sendiri, pengendalian diri menurun, menguap atau mengantuk, tetapi susah tidur,
dan mata merah, serta tidak tahan terhadap cahaya. Tanda-tanda gejala putus
obat (ganja), yaitu sukar tidur, hiperaktif, dan hilangnya nafsu makan.
Tandatanda gejala overdosis, yaitu ketakutan, daya pikir menurun, denyut nadi
tidak teratur, napas tidak teratur, dan mendapat gangguan jiwa.
b. Opium
Opium
merupakan narkotika dari golongan opioida, dikenal juga dengan sebutan candu,
morfin, heroin, dan putau. Opium diambil dari getah buah mentah Pavaper sommiverum (lihat Gambar
8.17). Opium mengandung lebih dari dua puluh macam senyawa. Morfin kali pertama
diisolasi dari getah buah pada 1905 oleh Friedrich Seturner. Pada waktu itu,
morfin digunakan oleh para tentara untuk menghilangkan rasa sakit karena luka atau
menghilangkan rasa nyeri pada penderita kanker. Setelah itu, banyak tentara
yang mengalami adiksi (efek ketergantungan). Pemakaian dosis morfin yang
berlebihan dapat menyebabkan kematian.
Heroin
merupakan senyawa turunan (hasil sintesis) dari morfin yang dikenal dengan
sebutan putau. Kodein merupakan senyawa turunan dari morfin, tetapi memiliki
kemampuan menghilangkan nyeri lebih lemah, demikian pula efek kecanduannya
(adiksinya) lebih lemah. Kodein biasa dipakai dalam obat batuk dan obat
penghilang rasa nyeri. Penggunaannya yang menyalahi aturan dapat menimbulkan
rasa sering mengantuk, perasaan gembira berlebihan, banyak berbicara sendiri,
kecenderungan untuk melakukan kerusuhan, merasakan nafas berat dan lemah,
ukuran pupil mata mengecil, mual, susah buang air besar, dan sulit berpikir.
Jika pemakaian obat ini diputus, akan timbul hal-hal berikut: sering menguap,
kepala terasa berat, mata basah, hidung berair, hilang nafsu makan, lekas
lelah, badan menggigil, dan kejang-kejang. Jika pemakaiannya melebihi dosis
atau overdosis, akan menimbulkan hal-hal berikut: tertawa tidak wajar, kulit
lembap, napas pendek tersenggal-senggal, dan dapat mengakibatkan kematian.
c. Kokain
Kokain termasuk ke dalam salah
satu jenis dari narkotika. Kokain diperoleh dari hasil ekstraksi daun tanaman
koka (Erythroxylum coca). Zat ini dapat dipakai sebagai anaestetik (pembius)
dan memiliki efek merangsang jaringan otak bagian sentral. Pemakaian zat ini
menjadikan pemakainya suka bicara, gembira yang meningkat menjadi gaduh dan gelisah,
detak jantung bertambah, demam, perut nyeri, mual, dan muntah. Seperti halnya
narkotika jenis lain, pemakaian kokain dengan dosis tertentu dapat
mengakibatkan kematian.
d. Sedativa dan Hipnotika (Penenang)
Beberapa
macam obat dalam dunia kedokteran, seperti pil BK dan magadon digunakan sebagai
zat penenang (sedativa-hipnotika). Pemakaian sedativa-hipnotika dalam dosis
kecil dapat menenangkan, sedangkan dalam dosis besar dapat membuat orang yang
memakannya tertidur. Gejala akibat pemakaiannya adalah mula-mula gelisah,
mengamuk lalu mengantuk, malas, daya pikir menurun, bicara dan tindakan lambat.
Jika sudah kecanduan, kemudian diputus pemakaiannya maka akan menimbulkan
gejala gelisah, sukar tidur, gemetar, muntah, berkeringat, denyut nadi cepat, tekanan
darah naik, dan kejang-kejang.
Jika
pemakaiannya overdosis maka akan timbul gejala gelisah, kendali diri turun,
banyak bicara, tetapi tidak jelas, sempoyongan, suka bertengkar, napas lambat,
kesadaran turun, pingsan, dan jika pemakaiannya melebihi dosis tertentu dapat
menimbulkan kematian.
e. Nikotin
Nikotin
dapat diisolasi atau dipisahkan dari tanaman tembakau. Namun, orang biasanya
mengonsumsi nikotin tidak dalam bentuk zat murninya, melainkan secara tidak
langsung ketika mereka merokok. Nikotin yang diisap pada saat merokok dapat
menyebabkan meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah, bersifat
karsinogenik sehingga dapat meningkatkan risiko terserang kanker paru-paru
(perhatikan Gambar 8.19), kaki rapuh, katarak, gelembung paru-paru melebar (emphysema),
risiko terkena penyakit jantung koroner, kemandulan, dan gangguan kehamilan.
f. Alkohol
Alkohol
diperoleh melalui proses peragian (fermentasi) sejumlah bahan, seperti beras
ketan, singkong, dan perasan anggur. Alkohol ini sudah dikenal manusia cukup
lama. Salah satu penggunaan alkohol adalah untuk mensterilkan berbagai
peralatan dalam bidang kedokteran. Alkohol yang terkandung dalam minuman dapat
berasal dari hasil fermentasi bahan minuman itu sendiri (contohnya, alkohol
yang terdapat dalam minuman hasil fermentasi sari buah anggur) atau sengaja
ditambahkan ke dalam suatu minuman olahan. Semua jenis minuman yang mengandung
alkohol (etanol), seperti pada Gambar 8.20 disebut minuman keras. Berdasarkan
kandungan alkoholnya, minuman keras dikelompokkan menjadi golongan: 1) A,
berkadar etanol 1–5 %; 2) B, berkadar etanol 5–20 %; dan 3) C,
berkadar etanol 20–50 %. Tanda-tanda gejala pemakaian alkohol, yaitu
gembira, pengendalian diri turun, dan muka kemerahan. Jika sudah kecanduan meminum
minuman keras, kemudian dihentikan maka akan timbul gejala gemetar, muntah,
kejang-kejang, sukar tidur, dan gangguan jiwa. Jika overdosis akan timbul
gejala perasaan gelisah, tingkah laku menjadi kacau, kendali turun, dan banyak
bicara sendiri.
7. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau
obat, baik alamiah maupu sintetik, bukan narkotika dan berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan
khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika menurut tujuan penggunaan
dan tingkatan risiko ketergantungannya terbagi dalam 4 golongan, yaitu: a.
Golongan I, psikotropika yang hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan dalam terapi serta memiliki potensi kuat mengakibatkan sindrom
ketergantungan. b. Golongan II, psikotropika yang berkhasiat sebagai oba dan
dapat digunakan dalam terapi dan tujuan ilmu pengetahuan serta memiliki potensi
kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan. c. Golongan III, psikotropika yang
berkhasiat sebagai obat dan banyak digunakan dalam terapi dan tujuan ilmu
pengetahuan serta memiliki potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan.
d. Golongan IV, psikotropika yang berkhasiat sebagai obat dan sangat luas
digunakan dalam terapi dan tujuan ilmu pengetahuan serta memiliki potensi ringa
mengakibatkan sindrom ketergantungan. Zat adiktif hampir semuanya termasuk ke
dalam psikotropika, tetapi tidak semua psikotropika menimbulkan ketergantungan.
Berikut ini termasuk ke dalam golongan psikotropika, yaitu LSD (Lysergic Acid
Diethylamide) dan amfetamin. Penyalahgunaan kedua golongan psikotropika ini
sudah meluas di dunia.
LSD merupakan zat psikotropika
yang dapat menimbulkan halusinasi (persepsi semu mengenai sesuatu benda yang
sebenarnya tidak ada). Zat ini dipakai untuk membantu pengobatan bagi
orang-orang yang mengalami gangguan jiwa atau sakit ingatan. Zat ini bekerja
dengan cara membuat otototot yang semula tegang menjadi rileks. Penyalahgunaan
zat ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang menderita frustasi dan
ketegangan jiwa.
b. Amfetamin
Kita seringkali mendengar
pemberitaan di media massa
mengenai penjualan barang-barang terlarang, seperti ekstasi dan shabu. Ekstasi
dan shabu adalah hasil sintesis dari zat kimia yang disebut amfetamin
(perhatikan Gambar 8.22). Jadi, zat psikotropika, seperti ekstasi dan shabu
tidak diperoleh dari tanaman melainkan hasil sintesis. Pemakaian zat-zat
tersebut akan menimbulkan gejalagejala berikut: siaga, percaya diri, euphoria
(perasaan gembira berlebihan), banyak bicara, tidak mudah lelah, tidak nafsu
makan, berdebar-debar, tekanan darah menurun, dan napas cepat. Jika overdosis
akan menimbulkan gejala-gejala: jantung berdebar-debar, panik, mengamuk, paranoid
(curiga berlebihan), tekanan darah naik, pendarahan otak, suhu tubuh tinggi,
kejang, kerusakan pada ujung-ujung saraf, dan dapat mengakibatkan kematian.
Jika sudah kecanduan, kemudian dihentikan akan menimbulkan gejala putus obat
sebagai berikut: lesu, apatis, tidur berlebihan, depresi, dan mudah
tersinggung.
3. Upaya Pencegahan Penyalahgunaan Zat
Adiktif dan Psikotropika
Zat adiktif dan psikotropika
akan memberikan manfaat jika dipakai untuk tujuan yang benar, misalnya untuk
tujuan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan. Dalam bidang kedokteran,
misalnya satu jenis narkotika diberikan kepada pasien yang menderita rasa sakit
luar biasa karena suatu penyakit atau setelah menjalani suatu operasi. Contoh
lain, satu zat jenis psikotropika diberikan kepada pasien penderita gangguan
jiwa yang sedang mengamuk dan tak dapat ditenangkan dengan caracara lain. Jika
pemakaian zat adiktif dan psikotropika dipakai di luar tujuan yang benar, itu
sudah termasuk penyalahgunaan dan harus diupayakan pencegahannya. Penyalahgunaan
zat adiktif dan psikotropika sangat berbahaya bagi diri sendiri, keluarga,
maupun kehidupan sosial di sekitar kita. Dampak negatif pemakaian zat adiktif
dan psikotropika pada diri sendiri, yaitu rusaknya sel saraf, menimbulkan
ketergantungan, perubahan tingkah laku, dan menimbulkan penyakit (jantung,
radang lambung dan hati, merusak pankreas, dan berisiko mengidap HIV positif).
Pada dosis yang tidak tepat akan mengakibatkan kematian. Dalam kehidupan
sosial, penyalahgunaan pemakaian zat adiktif dan psikotropika, di antaranya:
sering membuat onar atau perkelahian (misalnya, perkelahian pelajar), melakukan
kejahatan (pencurian dan pemerkosaan), kecelakaan, timbulnya masalah dalam
keluarga, dan mengganggu ketertiban umum.
Kita semua harus berupaya untuk
terhindar dari penyalahgunaan zat adiktif dan psikotropika. Pencegahan
penyalahgunaan zat adiktif dan psikotropika memerlukan peran bersama antara
keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
a. Peran Anggota
Keluarga
Setiap anggota keluarga harus
saling menjaga agar jangan sampai ada anggota keluarga yang terlibat dalam
penyalahgunaan zat adiktif dan psikotropika. Kalangan remaja ternyata merupakan
kelompok terbesar yang menyalahgunakan zat-zat tersebut. Oleh karena itu,
setiap orang tua memiliki tanggung jawab membimbing anakanaknya agar menjadi
manusia yang bertaqwa kepada Tuhan. Karena ketaqwaan inilah yang akan menjadi
perisai ampuh untuk membentengi anak dari menyalahgunakan obat-obat terlarang
dan pengaruh buruk yang mungkin datang dari lingkungan di luar rumah.
b. Peran Anggota
Masyarakat
Kita sebagai anggota masyarakat
perlu mendorong peningkatan pengetahuan setiap anggota masyarakat tentang
bahaya penyalahgunaan obat-obat terlarang. Selain itu, kita sebagai anggota
masyarakat perlu memberi informasi kepada pihak yang berwajib jika ada pemakai
dan pengedar narkoba di lingkungan tempat tinggal.
c. Peran Sekolah
Sekolah perlu memberikan wawasan
yang cukup kepada para siswa tentang bahaya penyalahgunaan zat adiktif dan
psikotropika bagi diri pribadi, keluarga, dan orang lain. Selain itu, sekolah
perlu mendorong setiap siswa untuk melaporkan pada pihak sekolah jika ada
pemakai atau pengedar zat adiktif dan psikotropika di lingkungan sekolah.
Sekolah perlu memberikan sanksi yang mendidik untuk setiap siswa yang terbukti
menjadi pemakai atau pengedar narkoba.
d. Peran Pemerintah
Pemerintah berperan mencegah
terjadinya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dengan cara mengeluarkan
aturan hukum yang jelas dan tegas. Di samping itu, setiap penyalahguna,
pengedar, pemasok, pengimpor, pembuat, dan penyimpan narkoba perlu diberikan
sanksi atau hukuman yang membuat efek jera bagi si pelaku dan mencegah yang
lain dari kesalahan yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar