ARJUNA
Arjuna (Sanskerta: अर्जुन; Arjuna) adalah nama seorang tokoh protagonis
dalam wiracarita Mahabharata. Ia dikenal sebagai sang Pandawa yang menawan parasnya
dan lemah lembut budinya. Ia adalah putra Prabu Pandudewanata, raja di Hastinapura dengan Dewi
Kunti atau Dewi Prita, yaitu putri Prabu Surasena, Raja Wangsa
Yadawa di Mandura. Arjuna merupakan teman
dekat Kresna, yaitu awatara (penjelmaan) Batara
Wisnu yang turun ke dunia demi menyelamatkan dunia dari kejahatan. Arjuna
juga merupakan salah orang yang sempat menyaksikan "wujud semesta"
Kresna menjelang Bharatayuddha berlangsung. Ia juga
menerima Bhagawadgita atau "Nyanyian
Orang Suci", yaitu wejangan suci yang disampaikan oleh Kresna kepadanya
sesaat sebelum Bharatayuddha berlangsung karena Arjuna masih segan untuk
menunaikan kewajibannya.
Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, secara harfiah kata Arjuna berarti
"bersinar terang", "putih" , "bersih". Dilihat
dari maknanya, kata Arjuna bisa berarti "jujur di dalam wajah dan
pikiran".
Arjuna mendapat julukan "Kuruśreṣṭha" yang berarti
"keturunan dinasti Kuru yang terbaik". Ia merupakan manusia pilihan
yang mendapat kesempatan untuk mendapat wejangan suci yang sangat mulia dari Kresna, yang terkenal sebagai Bhagawadgita (nyanyian Tuhan).
Ia memiliki sepuluh nama: Arjuna, Phālguna, Jishnu, Kirti, Shwetawāhana,
Wibhatsu, Wijaya, Pārtha, Sawyashachi (juga disamakan dengan Sabyasachi), dan
Dhananjaya.
Sifat dan kepribadian
Arjuna memiliki karakter yang mulia, berjiwa kesatria, imannya kuat,
tahan terhadap godaan duniawi, gagah berani, dan selalu berhasil merebut
kejayaan sehingga diberi julukan "Dananjaya". Musuh seperti apapun
pasti akan ditaklukkannya, sehingga ia juga diberi julukan
"Parantapa", yang berarti penakluk musuh. Di antara semua keturunan Kuru di dalam silsilah Dinasti Kuru, ia dijuluki
"Kurunandana", yang artinya putra kesayangan Kuru. Ia juga memiliki
nama lain "Kuruprāwira", yang berarti "kesatria Dinasti Kuru yang terbaik",
sedangkan arti harfiahnya adalah "Perwira Kuru".
Di antara para Pandawa, Arjuna merupakan kesatria pertapa
yang paling teguh. Pertapaannya sangat khusyuk. Ketika ia mengheningkan cipta,
menyatukan dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan, segala gangguan dan godaan
duniawi tak akan bisa menggoyahkan hati dan pikirannya. Maka dari itu, Sri Kresna sangat kagum padanya,
karena ia merupakan kawan yang sangat dicintai Kresna sekaligus pemuja Tuhan yang sangat tulus. Sri Kresna pernah berkata padanya,
"Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbaktilah kepada-Ku, dan serahkanlah dirimu
pada-Ku, maka kau akan datang kepada-Ku. Aku berkata demikian, karena kaulah
kawan-Ku yang sangat Kucintai".
NAKULA
Nakula (Sansekerta: नकुल, Nakula), adalah
seorang tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata. Ia merupakan putera Dewi Madri,
kakak ipar Dewi Kunti. Ia adalah saudara kembar Sadewa
dan dianggap putera Dewa Aswin, Dewa tabib kembar.
Menurut kitab Mahabharata, Nakula sangat tampan
dan sangat elok parasnya. Menurut Dropadi, Nakula merupakan suami yang
paling tampan di dunia. Namun, sifat buruk Nakula adalah membanggakan
ketampanan yang dimilikinya. Hal itu diungkapkan oleh Yudistira dalam kitab Prasthanikaparwa.
Nakula dalam pewayangan Jawa
Nakula dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama
tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat). Ia merupakan
putera keempat Prabu Pandudewanata, raja negara Hastinapura dengan permaisuri Dewi Madri, puteri Prabu
Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama
adiknya, Sahadewa atau Sadewa. Nakula juga menpunyai tiga
saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura
bernama Puntadewa (Yudistira), Bima alias Werkudara dan Arjuna
Nakula adalah titisan Batara Aswin, Dewa tabib. Ia mahir
menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing. Nakula
tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji
Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani. Ia juga
mempunyai cupu berisi "Banyu Panguripan" atau "Air
kehidupan" pemberian Bhatara Indra.
Nakula
mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat
menyimpan rahasia. Ia tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta.
Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:
- Dewi Sayati puteri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit,
dan memperoleh dua orang putera masing-masing bernama Bambang Pramusinta
dan Dewi Pramuwati.
- Dewi Srengganawati, puteri Resi Badawanganala, kura-kura
raksasa yang tinggal di sungai Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala
dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra alias Ekapratala) dan memperoleh
seorang putri bernama Dewi Sritanjung. Dari perkawinan itu Nakula mendapat
anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.
Setelah
selesai perang Bharatayuddha, Nakula
diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya
kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa
di gunung Himalaya bersama keempat saudaranya.
SADEWA
Sahadewa (ejaan Sanskerta: सहदेव, Sahadéva), atau yang
biasa disingkat Sadewa, adalah salah satu tokoh utama dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan anggota Pandawa yang paling muda, yang
memiliki saudara kembar bernama Nakula.
Meskipun kembar, Nakula dikisahkan memiliki wajah yang lebih tampan
daripada Sadewa, sedangkan Sadewa lebih pandai daripada kakaknya itu. Terutama
dalam hal perbintangan atau astronomi, kepandaian Sadewa jauh
di atas murid-murid Resi Drona lainnya. Selain itu ia
juga pandai dalam hal ilmu peternakan sapi. Maka ketika para Pandawa menjalani
hukuman menyamar selama setahun di Kerajaan Matsya akibat kalah bermain
dadu melawan Korawa, Sadewa pun memilih peran sebagai
seorang gembala sapi bernama Tantripala.
Kepribadian
Meskipun Sadewa merupakan Pandawa yang paling muda, namun ia dianggap
sebagai yang terbijak di antara mereka. Yudistira bahkan pernah berkata bahwa Sadewa
lebih bijak daripada Wrehaspati, guru para dewa.
Sadewa merupakan
ahli perbintangan yang ulung dan mampu mengetahui kejadian yang akan datang.
Namun ia pernah dikutuk apabila sampai membeberkan rahasia takdir, maka
kepalanya akan terbelah menjadi dua.
Versi Pewayangan Jawa
Dalam pewayangan Jawa, Sadewa dikisahkan lahir di dalam istana Kerajaan Hastina, bukan di dalam hutan.
Kelahirannya bersamaan dengan peristiwa perang antara Pandu melawan Tremboko,
raja raksasa dari Kerajaan Pringgadani. Dalam perang tersebut keduanya tewas. Madrim ibu Sadewa melakukan bela pati dengan cara terjun ke
dalam api pancaka.
Versi lain
menyebutkan, Sadewa sejak lahir sudah kehilangan ibunya, karena Madrim
meninggal dunia setelah melahirkan dirinya dan Nakula.
Sewaktu
kecil, Sadewa memiliki nama panggilan Tangsen. Setelah para Pandawa
membangun Kerajaan Amarta,
Sadewa mendapatkan Kasatrian Baweratalun sebagai tempat tinggalnya.
Istri Sadewa
versi pewayangan hanya seorang, yaitu Perdapa putri Resi Tambrapetra. Dari
perkawinan itu lahir dua orang anak bernama Niken Sayekti dan Bambang Sabekti.
Masing-masing menikah dengan anak-anak Nakula yang bernama Pramusinta dan
Pramuwati.
JANAKA
Pada zaman
India Kuno, Janaka (Sansekerta: जनक, janaka) atau Raja Janaka (राजा जनक, rājā janaka) adalah raja di kerajaan Mithila.
Ia lahir di Janakpur,
Nepal;
ia dikisahkan dalam Ramayana sebagai ayah Sita
dan ada pula sumber mengenai dirinya di Brihadaranyaka Upanishad, Mahabharata
dan Purana.
Janaka
menguji kekuatan para peminang yang melamar putrinya untuk memasangkan tali
busur milik Dewa Siwa. Pangeran Rama
berhasil melakukannya, dan puteri Janaka yaitu Sita (juga disebut Janaki)
menikahi Rama dan hidup bersama di Ayodhya.
Janaka tidak
hanya seorang raja yang gagah berani, namun juga ahli di bidang sastra dan Weda
selayaknya seorang resi. Ia adalah murid kesayangan Yajnavalkya,
yang merupakan Brahman dalam wujud raja, pada bab satu kitab
Brihadaranyaka Upanishad. Dalam Bhagawad Gita, Sri Kresna
menggunakan Janaka sebagai contoh Karma
yoga.
Raja Janaka
juga disebut sebagai seorang Rajaresi yang memiliki pengetahuan spiritual dan
meraih predikat resi, meskipun ia seorang raja yang memerintah di Mithila. Ia
juga dilatih oleh Resi Ashtawakraa.
Menurut
wiracarita Mahabharata, Janaka adalah ras para raja yang
memerintah Kerajaan
Wideha dari ibukota mereka, Mithila. Ayah Sita
(istri Raghava Rama) bernama Sīradwaja Janaka. Mahabharata menyebutkan banyak
Raja Janaka lainnya yang merupakan sarjana besar dan hidup seperti resi
meskipun mereka adalah raja. Mereka senang berbincang-bincang mengenai agama
dengan banyak resi.
YUDISTIRA
Yudistira (Sanskerta: युधिष्ठिर; Yudhiṣṭhira) alias Dharmawangsa, adalah salah
satu tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata.
Ia merupakan seorang raja yang memerintah kerajaan
Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura.
Ia
merupakan yang tertua di antara lima Pandawa, atau para putera Pandu.
Dalam tradisi pewayangan, Yudistira diberi gelar
"Prabu" dan memiliki
julukan Puntadewa, sedangkan kerajaannya disebut dengan nama Kerajaan Amarta.
Sifat dan kesaktian
Sifat-sifat Yudistira tercermin dalam nama-nama julukannya, sebagaimana
telah disebutkan di atas. Sifatnya
yang paling menonjol adalah adil, sabar, jujur, taat terhadap ajaran agama,
penuh percaya diri, dan berani berspekulasi. Kesaktian Yudistira dalam Mahabharata terutama dalam hal
memainkan senjata tombak. Sementara itu, versi pewayangan Jawa lebih menekankan pada
kesaktian batin, misalnya ia pernah dikisahkan menjinakkan hewan-hewan buas di
hutan Wanamarta dengan hanya meraba kepala mereka.
Yudistira dalam pewayangan beberapa pusaka, antara lain Jamus Kalimasada, Tunggulnaga, dan Robyong
Mustikawarih. Kalimasada berupa kitab, sedangkan Tunggulnaga
berupa payung. Keduanya menjadi pusaka utama kerajaan Amarta. Sementara itu, Robyong
Mustikawarih berwujud kalung yang terdapat di dalam kulit
Yudistira. Pusaka
ini adalah pemberian Gandamana, yaitu patih kerajaan Hastina pada zaman pemerintahan
Pandu. Apabila kesabaran Yudistira
sampai pada batasnya, ia pun meraba kalung tersebut dan seketika itu pula ia
pun berubah menjadi raksasa besar berkulit putih bersih.
Versi pewayangan Jawa
Kisah dalam pewayangan Jawa agak berbeda. Menurut versi ini, Puntadewa merupakan anak
kandung Pandu yang lahir di istana Hastinapura.
Kedatangan Bhatara Dharma hanya sekadar menolong
kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat bantuan dewa tersebut,
Puntadewa lahir melalui ubun-ubun Kunti. Dalam pewayangan Jawa, nama
Puntadewa lebih sering dipakai, sedangkan nama Yudistira baru digunakan setelah
ia dewasa dan menjadi raja. Versi ini melukiskan Puntadewa sebagai seorang
manusia berdarah putih, yang merupakan kiasan bahwa ia adalah sosok berhati
suci dan selalu menegakkan kebenaran.
GARENG
Nama lengkap
dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng, hanya saja masyarakat
sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”.
Riwayat
Gareng
adalah punakawan yang berkaki
pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang
selalu hati-hati dalam bertindak. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain
adalah tangan yang ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki
sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit
kanannya terkena semacam penyakit
bubul.
Dalam suatu
carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang
dengan gelar Pandu Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan Prabu Welgeduwelbeh
raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari
saudaranya sendiri yaitu Petruk.
Dulunya,
Gareng berujud satria tampan bernama Bambang Sukodadi
dari pedepokan Bluktiba. Gareng sangat sakti namun sombong, sehingga selalu
menantang duel setiap satria yang ditemuinya. Suatu hari, saat baru saja
menyelesaikan tapanya,
ia berjumpa dengan satria lain bernama Bambang Panyukilan. Karena suatu
kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada
yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah
Batara Ismaya
(Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong
para satria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk
Jangganan Samara Anta, dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua satria yang
baru saja berkelahi itu.
Karena kagum
oleh nasihat Batara Ismaya, kedua satria itu minta mengabdi dan minta diaku
anak oleh Lurah Karang
Kadempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan
Samara Anta bersedia menerima mereka, asal kedua satria itu mau menemani dia
menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa),
dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertua
(sulung) dari Semar.
PETRUK
Petruk adalah tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa, di pihak keturunan/trah Witaradya.
Petruk tidak disebutkan dalam kitab Mahabarata. Jadi jelas bahwa kehadirannya dalam
dunia pewayangan merupakan gubahan asli Jawa.
Di ranah Pasundan, Petruk lebih dikenal
dengan nama Dawala atau Udel.
Menurut pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan
bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang
Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun
tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang pilih tanding/sakti di
tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana
guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan
Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba
kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang
tanding. Mereka berkelahi sangat lama, saling menghantam, bergumul,
tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi
cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian ini
kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong yang mengiringi Batara Ismaya. Mereka diberi petuah
dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada
Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah peristiwa
tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama.
Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama.
Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.
Istri dan keturunan
Petruk mempuyai istri bernama Dewi Ambarwati, putri Prabu Ambarsraya, raja
Negara Pandansurat yang didapatnya melalui perang tanding. Para pelamarnya
antara lain: Kalagumarang dan Prabu Kalawahana raja raksasa di Guwaseluman.
Petruk harus menghadapi mereka dengan perang tanding dan akhirnya ia dapat
mengalahkan mereka dan keluar sebagai pemenang. Dewi Ambarwati kemudian
diboyong ke Girisarangan dan Resi Pariknan yang memangku perkawinannya. Dalam
perkawinan ini mereka mempunyai anak lelaki dan diberi nama Lengkungkusuma.
RAMA
Dalam agama Hindu, Rama (Sanskerta: राम; Rāma) atau Ramacandra
(Sansekerta: रामचन्द्र; Rāmacandra) adalah
seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada
zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan
Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu,
ia merupakan awatara Dewa Wisnu
yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga.
Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana,
tersebar dari Asia Selatan sampai Asia
Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja Dasarata
dengan Kosalya, ia dipandang sebagai Maryada
Purushottama, yang artinya "Manusia Sempurna". Setelah dewasa, Rama
memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi
Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi.
Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa
dan Lawa.
Asal-usul nama "Rama"
Rāmá dalam
kitab Regweda
dan Atharwaweda
adalah kata sifat yang berarti "gelap, hitam",
atau kata benda yang berarti "kegelapan", bentuk feminim dari kata
sifat tersebut adalah rāmī. Dua Rama muncul dalam pustaka Weda,
dengan nama keluarga Mārgaweya dan Aupataswini; Rama yang lain muncul dengan
nama keluarga Jāmadagnya yang dianggap sebagai penulis himne
Regweda.
Menurut Monier-Williams,
tiga Rama dihormati pasca masa Weda, yaitu:
- Rāma-candra ("Rama-rembulan"), putra Dasarata,
keturunan Raghu dari Dinasti
Surya.
- Parashu-rāma
("Rama besenjata kapak"), awatara
Wisnu
yang keenam, kadangkala dianggap sebagai Jāmadagnya, atau sebagai Bhārgawa
Rāma (keturunan Bregu),
seorang "Chiranjiwin"
atau makhluk abadi.
- Bala-rāma ("Rama yang kuat"),
juga disebut Halāyudha (bersenjata bajak saat bertempur), kakak sekaligus
teman dekat Kresna, awatara
Wisnu
yang kedelapan.
Kelahiran dan keluarga
Ayah Rama adalah Raja Dasarata dari Ayodhya, sedangkan ibunya
adalah Kosalya. Dalam Ramayana iceritakan bahwa Raja
Dasarata yang merindukan putera mengadakan upacara bagi para dewa, upacara yang disebut
Putrakama Yadnya. Upacaranya diterima oleh para Dewa dan utusan mereka
memberikan sebuah air suci agar diminum oleh setiap permaisurinya. Atas
anugerah tersebut, ketiga permaisuri Raja Dasarata melahirkan putera. Yang
tertua bernama Rama, lahir dari Kosalya. Yang kedua adalah Bharata, lahir dari Kekayi, dan yang terakhir adalah Laksmana dan Satrugna, lahir dari Sumitra. Keempat pangeran
tersebut tumbuh menjadi putera yang gagah-gagah dan terampil memainkan senjata
di bawah bimbingan Resi Wasista.
ANJANI
DEWI ANJANI adalah putri sulung Resi Gotama,
brahmana dari pertapaan Erraya/Gratisna, dengan Dewi Indradi/Windradi, bidadari
keturunan Bahtara Asmara. Ia mempunyai dua orang saudara kandung bernama;
Subali/Guwarsi dan Sugriwa/Guwarsa.Dewi Anjani berparas sangat cantik dan
menarik hati. Ia memiliki Cupumanik Astagina pemberian ibunya, hadiah
perkawinan Dewi Indradi dari Bathara Surya. Bila cupu itu dibuka di dalamnya
akan dapat dilihat segala peristiwa yang terjadi di angkasa dan di bumi sampai
tingkat ketujuh.
Pada suatu hari, Subali dan Sugriwa mempergoki Dewi
Anjani sedang bermain dengan cupu tersebut. Karena tidak boleh meminjamnya,
Subali dan Sugriwa mengadu kepada ayahnya, Dewi Anjani dipanggil dan cupu
diminta oleh Resi Gotama. Dewi Indradi yang tetap membisu tak mau mengaku
darimana ia mendapatkan cupu tersebut, dikutuk Resi Gotama menjadi tugu batu
yang kemudian dibuang ke udara jatuh ke wilayah negara Alengka.
Demi adilnya, Cupumanik Astagina dibuang ke udara
oleh Resi Gotama untuk diperebutkan kedua putranya. Cupu jatuh di hutan pecah
menjadi dua berubah wujud menjadi telaga Sumala dan telaga Nirmala. Dewi
Anjani, Subali dan Sugriwa yang masuk kedalam telaga Sumala berubah wujud
menjadi kera.
Untuk menebus kesalahan dan agar bisa kembali lagi
menjadi manusia, atas petunjuk ayahnya, Dewi Anjani melakukan tapa Nyantika
(seperti katak) di telaga Madirda. Dalam tapanya itulah ia hamil karena menelan
"air kama" Bathara Guru melalui selembar daun sinom. Dewi Anjani
kemudian melahirkan jabang bayi berwujud kera putih yang diberi nama Anoman.
Beberapa saat setelah melahirkan Anoman, Dewi Anjani mendapat pengampunan Dewa,
ia kembalui menjadi putri berparas cantik, dan diangkat ke kahyangan Kaideran
sebagai bidadari.
SITA
Versi
pewayangan
Versi Ramayana di atas cukup berbeda jika
dibandingkan dengan kisah dalam pewayangan, terutama yang
berkembang di Jawa. Dalam versi ini, Sita disebut
dengan gelar lengkap Rakyan Wara Sinta. Uniknya, ia juga disebut sebagai
putri kandung Rahwana sendiri.
Rahwana versi Jawa dikisahkan jatuh cinta kepada seorang pendeta
perempuan bernama Widawati. Namun Widawati menolak cintanya
dan memilih bunuh diri. Rahwana pun bertekad akan mencari dan menikahi reinkarnasi Widawati.
Atas petunjuk gurunya yang bernama Resi Maruta, Rahwana mengetahui kalau
Widawati akan menitis sebagai putrinya sendiri. Namun ketika istrinya yang
bernama Dewi Kanung melahirkan, Rahwana pergi untuk memperluas jajahan. Bayi
perempuan yang dilahirkan Kanung pun diambil Wibisana untuk dibuang di sungai
dalam sebuah peti. Wibisana kemudian menukar bayi tersebut dengan bayi
laki-laki yang diciptakannya dari mega di langit. Bayi laki-laki tersebut
akhirnya diakui Rahwana sebagai anaknya, dan kelak terkenal dengan nama Indrajit.
Sementara itu bayi perempuan yang dibuang Wibisana terbawa aliran sungai
sampai ke wilayah Kerajaan Mantili. Raja negeri tersebut
yang bernama Janaka memungut dan menjadikannya putri
angkat, dengan nama Sinta.
Kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi aslinya, yaitu
perkawinan Sinta dengan Sri Rama, penculikannya, sampai
dengan kematian Rahwana dalam perang besar. Namun versi Jawa menyebutkan,
setelah perang berakhir Rama tidak menjadi raja di Ayodhya, melainkan membangun
kerajaan baru bernama Pancawati.
Dari perkawinannya dengan Rama, Sinta melahirkan dua orang putra bernama
Ramabatlawa dan Ramakusiya. Putra yang pertama, yaitu Ramabatlawa menurunkan
raja-raja Kerajaan Mandura, antara lain Basudewa, dan juga putranya yang
bernama Kresna.
Kresna versi Jawa disebut sebagai reinkarnasi Rama, sedangkan adiknya
yang bernama Subadra disebut sebagai reinkarnasi Sinta.
Dengan demikian hubungan Rama dan Sinta yang pada kehidupan sebelumnya adalah
suami-istri berubah menjadi kakak dan adik dalam kehidupan selanjutnya.
Laksmana
Laksmana (Dewanagari: लक्ष्मण; IAST: Lakṣmaṇa) adalah tokoh
protagonis dalam wiracarita Ramayana, putera Raja Dasarata dan merupakan adik tiri
dari Rama, pangeran kerajaan Kosala. Namanya kadangkala dieja 'Laksmana', 'Lakshman',
atau 'Laxman'.
Menurut
kitab Purana,
Laksmana merupakan penitisan Sesa.
Shesha adalah ular yang mengabdi kepada Dewa Wisnu
dan menjadi ranjang ketika Wisnu beristirahat di lautan susu. Shesha menitis
pada setiap awatara Wisnu dan menjadi pendamping setianya. Dalam Ramayana,
ia menitis kepada
Laksmana sedangkan dalam Mahabharata, ia menitis kepada Baladewa.
Keluarga
Laksmana
merupakan putera ketiga Raja Dasarata yang bertahta di kerajaan
Kosala, dengan ibukota Ayodhya. Kakak sulungnya bernama Rama,
kakak keduanya bernama Bharata, dan
adiknya sekaligus kembarannya bernama Satrugna.
Di antara saudara-saudaranya, Laksmana memiliki hubungan yang sangat dekat
terhadap Rama. Mereka bagaikan duet yang tak terpisahkan. Ketika Rama menikah
dengan Sita,
Laksmana juga menikahi adik Dewi Sita yang bernama Urmila.
Hubungan dengan Rama
Meskipun
keempat putera Raja Dasarata saling menyayangi satu sama lain, namun
Satrugna
lebih cenderung dekat terhadap Bharata,
sedangkan Laksmana cenderung dekat terhadap Rama.
Saat Resi Wiswamitra datang meminta bantuan Rama agar
mengusir para raksasa di hutan Dandaka, Laksmana turut serta dan menambah
pengalaman bersama kakaknya. Di hutan mereka membunuh banyak rakshasa dan
melindungi para resi. Bisa dikatakan bahwa Laksmana selalu berada di sisi Rama
dan selalu berbakti kepadanya dalam setiap petualangan Rama dalam Ramayana.
Laksmana lain
Dalam wiracarita
Mahabharata,
ada seorang tokoh yang bernama Laksmana alias Laksmanakumara. Ia
merupakan putera Duryodana dari Hastinapura.
Ia turut
serta dalam pertempuran besar yang terjadi di Kurukshetra. Pada pertempuran di
hari ketiga belas, ia gugur di tangan Abimanyu, putera Arjuna.
KUNTI
Sepeninggal Pandu, ia mengasuh Nakula dan Sadewa, anak Pandu dan Madri. Seusai Bharatayuddha (Perang besar keluarga Bharata), ia dan iparnya — Dretarastra, Gandari, dan Widura — pergi bertapa sampai akhir hayatnya.
Asal usul
Ayah Kunti adalah Raja Surasena dari Wangsa Yadawa, dan saat bayi ia
diberi nama Perta. Ia merupakan adik Basudewa, ayah Kresna. Kemudian ia diadopsi
oleh Raja Kuntiboja yang tidak memiliki
anak, dan semenjak itu ia diberi nama Kunti. Setelah Kunti menjadi putrinya, Raja Kuntiboja dianugerahi
anak.
Masa Muda
Pada saat Kunti masih muda, ia diberi
sebuah mantra sakti oleh Resi Durwasa agar mampu memanggil Dewa-Dewi sesuai dengan yang dikehendakinya.
Pada suatu hari, Kunti ingin mencoba naugerah tersebut dan memanggil salah satu
Dewa, yaitu Surya. Surya yang merasa terpanggil, bertanya
kepada Kunti, apa yang diinginkannya. Namun Kunti menyuruh Sang Dewa untuk
kembali ke kediamannya. Karena Kunti sudah memanggil dewa tersebut agar datang
ke bumi namun tidak menginginkan berkah apapun, Sang Dewa memberikan seorang
putra kepada Kunti.Kunti tidak ingin memiliki putra semasih muda, maka ia memasukkan anak tersebut ke dalam keranjang dan enghanyutkannya di sungai Aswa. Kemudian putera tersebut dipungut oleh seorang kusir di keraton Hastinapura yang bernama Adirata, dan anak tersebut diberi nama Karna.
Kehidupan
selanjutnya
Kemudian, Kunti menikahi Pandu,
seorang raja di Hastinapura. Pandu juga menikahi Madri
sebagai istri kedua, namun tidak mampu memiliki anak. Akhirnya Pandu dan kdua
istrinya hidup di hutan. Disanalah Kunti mengeluarkan mantra rahasianya. Ia
memanggil tiga Dewa dan meminta tiga putera dari mereka. Putra pertama diberi
nama Yudistira
dari Dewa Yama, kedua bernama Bima dari
Dewa Bayu,
dan yang terakhir bernama Arjuna dari Dewa Indra.
Kemudian Kunti memberitahu mantra tersebut kepada Madri. Madri memangil Dewa Aswin
dan menerima puera kembar, dan diberi nama Nakula
dan Sadewa.
Kelima putera Pandu tersebut dikenal dengan nama Pandawa.Setelah kematian Pandu dan Madri, Kunti mengasuh kelima putera tersebut sendirian. Sesuai dengan amanat Madri, Kunti berjanji akan memperlakukan Nakula dan Sadewa seperti puteranya sendiri. Setelah pertempuran besar di Kurukshetra berkecamuk dan usianya sudah sangat tua, Kunti pergi ke hutan bersama dengan ipar-iparnya yang lain seperti Dretarastra, Widura, dan Gandari untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Mereka menyerahkan kerajaan kepada Yudistira. Di dalam hutan, Kunti dan yang lainnya terbakar oleh api suci mereka sendiri dan wafat di
BALADEWA
Dalam pewayangan Jawa, Baladewa adalah saudara Prabu Kresna. Prabu Baladewa yang
waktu mudanya bernama Kakrasana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi
Mahendra atau Maekah. Ia lahir kembar bersama adiknya, dan mempunyai adik lain
ibu bernama Dewi Subadra atau Dewi Lara Ireng, puteri Prabu
Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga mempunyai saudara lain
ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Ken Sagupi, seorang swarawati
keraton Mandura.
Prabu Baladewa yang mudanya pernah menjadi pendeta di pertapaan
Argasonya bergelar Wasi Jaladara, menikah dengan Dewi Erawati, puteri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati
atau Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua
orang putera bernama Wisata dan Wimuka.
Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah tapi pemaaf dan arif
bijaksana. Ia sangat mahir mempergunakan gada, sehingga Bima dan Duryodana berguru kepadanya.
Baladewa mempunyai dua pusaka sakti, yaitu Nangggala dan Alugara, keduanya
pemberian Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai Puspadenta.
Dalam banyak hal, Baladewa adalah lawan daripada Kresna. Kresna berwarna hitam sedangkan Baladewa
berkulit putih.
Pada perang Bharatayuddha sebenarnya prabu
Baladewa memihak para Korawa, tetapi berkat siasat Kresna, beliau tidak ikut
namun sebaliknya bertapa di Grojogan Sewu (Grojogan = Air Terjun,
Sewu = Seribu) dengan tujuan agar apabila terjadi perang Bharatayuddha,
Baladewa tidak dapat mendengarnya karena tertutup suara gemuruh air terjun.
Selain itu Kresna berjanji akan membangunkannya nanti Bharatayuddha terjadi,
padahal keesokan hari setelah ia bertapa di Grojogan Sewu terjadilah
perang Bharatayuddha. Jika Baladewa turut serta, pasti para Pandawa kalah, karena Baladewa
sangatlah sakti.
Baladewa ada yang mengatakan sebgai titisan daripada naga sementara yang lainya
meyakini sebagai titisan Sanghyang Basuki, Dewa keselamatan. Ia berumur sangat
panjang. Setelah selesai perang Bharatayudha, Baladewa menjadi
pamong dan penasehat Prabu Parikesit, raja negara Hastinapura setelah mangkatnya
Prabu Kalimataya atau Prabu Puntadewa. Ia bergelar Resi Balarama. Ia mati moksa setelah punahnya
seluruh Wangsa Wresni.
GATOTKACA
Gatotkaca (bahasa Sanskerta: घटोत्कच; Ghattotkacha)
adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata yang dikenal sebagai
putra Bimasena atau Wrekodara dari keluarga Pandawa. Ibunya yang bernama Hidimbi (Harimbi) berasal dari
bangsa rakshasa, sehingga ia pun
dikisahkan memiliki kekuatan luar biasa. Dalam perang besar di Kurukshetra ia banyak menewaskan sekutu Korawa sebelum akhirnya gugur
di tangan Karna.
Di Indonesia, Gatotkaca menjadi
tokoh pewayangan yang sangat populer.
Misalnya dalam pewayangan Jawa ia dikenal dengan ejaan
Gatutkaca (bahasa Jawa: Gathutkaca).
Kesaktiannya dikisahkan luar biasa, antara lain mampu terbang di angkasa tanpa
menggunakan sayap, serta terkenal dengan julukan "otot kawat tulang
besi".
Etimologi
Menurut versi Mahabharata, Gatotkaca adalah putra
Bimasena dari keluaga Pandawa yang lahir dari seorang
rakshasa perempuan bernama Hidimbi. Hidimbi sendiri
merupakan raksasi penguasa sebuah hutan bersama kakaknya yang bernama Hidimba.
Dalam pewayangan Jawa, ibu Gatotkaca lebih
terkenal dengan sebutan Arimbi. Menurut versi ini,
Arimbi bukan sekadar penghuni hutan biasa, melainkan putri dari Kerajaan
Pringgadani, negeri bangsa rakshasa.
Dalam bahasa Sanskerta, nama Ghatotkacha
secara harfiah bermakna "memiliki
kepala seperti kendi". Nama ini terdiri dari dua kata, yaitu ghaṭ(tt)am yang berarti "buli-buli" atau "kendi", dan utkacha
yang berarti "kepala". Nama ini diberikan kepadanya karena sewaktu
lahir kepalanya konon mirip dengan buli-buli atau kendi.
Kelahiran
Kisah kelahiran Gatotkaca dikisahkan secara tersendiri dalam pewayangan Jawa. Namanya sewaktu masih
bayi adalah Jabang Tetuka. Sampai usia satu tahun tali pusarnya belum bisa
dipotong walau menggunakan senjata apa pun. Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk mendapatkan
petunjuk dewa
demi menolong nasib keponakannya itu. Namun pada saat yang sama Karna, panglima Kerajaan Hastina juga sedang bertapa
mencari senjata pusaka.
Karena wajah keduanya mirip, Batara Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata
Kontawijaya kepada Karna, bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya,
Narada pun menemui Arjuna yang sebenarnya. Arjuna lalu mengejar Karna untuk
merebut senjata Konta.
Pertarungan pun terjadi. Karna berhasil meloloskan diri membawa senjata
Konta, sedangkan Arjuna hanya berhasil merebut sarung pembungkus pusaka
tersebut. Namun sarung pusaka Konta terbuat dari Kayu Mastaba yang ternyata
bisa digunakan untuk memotong tali pusar Tetuka.
Akan tetapi keajaiban terjadi. Kayu Mastaba musnah dan bersatu dalam
perut Tetuka. Kresna
yang ikut serta menyaksikannya berpendapat bahwa pengaruh kayu Mastaba akan
menambah kekuatan bayi Tetuka. Namun ia juga meramalkan bahwa kelak Tetuka akan
tewas di tangan pemilik senjata Konta.
Menjadi
Jago Dewa
Versi pewayangan Jawa melanjutkan, Tetuka kemudian dipinjam Narada
untuk dibawa ke kahyangan yang saat itu sedang diserang musuh bernama Patih
Sekipu dari Kerajaan Trabelasuket. Ia diutus rajanya yang bernama Kalapracona untuk
melamar bidadari bernama Batari Supraba. Bayi
Tetuka dihadapkan sebagai lawan Sekipu. Anehnya, semakin dihajar bukannya mati,
Tetuka justru semakin kuat.
Karena malu, Sekipu mengembalikan Tetuka kepada Narada untuk dibesarkan
saat itu juga. Narada kemudian menceburkan tubuh Tetuka ke dalam kawah
Candradimuka, di Gunung Jamurdipa. Para dewa kemudian melemparkan berbagai
jenis senjata pusaka ke dalam kawah. Beberapa saat kemudian, Tetuka muncul ke permukaan
sebagai seorang laki-laki dewasa. Segala jenis pusaka para dewa telah melebur
dan bersatu ke dalam dirinya.
Tetuka kemudian bertarung melawan Sekipu dan berhasil membunuhnya
menggunakan gigitan taringnya. Kresna
dan para Pandawa saat itu datang menyusul ke kahyangan. Kresna
kemudian memotong taring Tetuka dan menyuruhnya berhenti menggunakan
sifat-sifat kaum raksasa.
Batara
Guru raja kahyangan menghadiahkan seperangkat pakaian pusaka, yaitu Caping
Basunanda, Kotang Antrakusuma, dan Terompah Padakacarma untuk
dipakai Tetuka, yang sejak saat itu diganti namanya menjadi Gatotkaca. Dengan
mengenakan pakaian pusaka tersebut, Gatotkaca mampu terbang secepat kilat
menuju Kerajaan Trabelasuket dan membunuh Kalapracona.
Perkawinan
Dalam versi Mahabharata,
Gatotkaca menikahi Ahilawati sang gadis naga den mempunyai anak
bernama Barbarika. Gatotkaca juga menikah dengan seorang
wanita bernama Pregiwa. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama
Sasikirana.
Dalam versi pewayangan Jawa, Gatotkaca menikah dengan sepupunya, yaitu
Pregiwa putri Arjuna. Ia berhasil menikahi Pregiwa setelah
melalui perjuangan berat, yaitu menyingkirkan saingannya, bernama Laksmana
Mandrakumara putra Duryudana dari keluarga Korawa.
Dari
perkawinan Gatotkaca dengan Pregiwa lahir seorang putra bernama Sasikirana. Ia
menjadi panglima perang Kerajaan Hastina
pada masa pemerintahan Parikesit, putra Abimanyu
atau cucu Arjuna.
Versi lain
mengisahkan, Gatotkaca memiliki dua orang istri lagi selain Pregiwa, yaitu
Suryawati dan Sumpaniwati. Dari keduanya masing-masing lahir Suryakaca dan
Jayasumpena.
Menjadi Raja Pringgadani
Gatotkaca
versi Jawa
adalah manusia setengah raksasa, namun bukan raksasa hutan. Ibunya adalah Arimbi putri Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani.
Tremboko tewas di tangan Pandu ayah para Pandawa
akibat adu domba yang dilancarkan Sangkuni.
Ia kemudian digantikan oleh anak sulungnya yang bernama Arimba.
Arimba
sendiri akhirnya tewas di tangan Bimasena pada saat para Pandawa
membangun Kerajaan Amarta. Takhta Pringgadani kemudian
dipegang oleh Arimbi yang telah diperistri Bima. Rencananya
takhta kelak akan diserahkan kepada putra mereka setelah dewasa.
Arimbi
memiliki lima
orang adik bernama Brajadenta, Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa, dan
Kalabendana. Brajadenta diangkat sebagai patih
dan diberi tempat tinggal di Kasatrian Glagahtinunu. Sangkuni
dari Kerajaan Hastina
datang menghasut Brajadenta bahwa takhta Pringgadani seharusnya menjadi
miliknya bukan milik Gatotkaca.
Akibat
hasutan tersebut, Brajadenta pun memberontak hendak merebut takhta dari tangan
Gatotkaca yang baru saja dilantik sebagai raja. Brajamusti yang memihak
Gatotkaca bertarung menghadapi kakaknya itu. Kedua raksasa kembar tersebut pun
tewas bersama. Roh keduanya kemudian menyusup masing-masing ke dalam telapak
tangan Gatotkaca kiri dan kanan, sehingga manambah kesaktian keponakan mereka
tersebut.
Setelah
peristiwa itu Gatotkaca mengangkat Brajalamadan sebagai patih baru, bergelar
Patih Prabakiswa.
Kematian
Perang di Kurukshetra dalam pewayangan Jawa biasa disebut dengan nama Baratayuda.
Kisahnya diadaptasi dan dikembangkan dari naskah Kakawin Bharatayuddha
yang ditulis tahun 1157 pada zaman Kerajaan
Kadiri.
Versi
pewayangan mengisahkan, Gatotkaca sangat akrab dengan sepupunya yang bernama Abimanyu
putra Arjuna.
Suatu hari Abimanyu menikah dengan Utari
putri Kerajaan Wirata, di mana ia mengaku masih
perjaka. Padahal saat itu Abimanyu telah menikah dengan Sitisundari putri Kresna.
Sitisundari
yang dititipkan di istana Gatotkaca mendengar suaminya telah menikah lagi.
Paman Gatotkaca yang bernama Kalabendana datang menemui Abimanyu untuk
mengajaknya pulang. Kalabendana adalah adik bungsu Arimbi yang berwujud raksasa bulat kerdil tapi berhati polos
dan mulia. Hal itu membuat Utari merasa cemburu. Abimanyu terpaksa bersumpah
jika benar dirinya telah beristri selain Utari, maka kelak ia akan mati
dikeroyok musuh.
Kalabendana
kemudian menemui Gatotkaca untuk melaporkan sikap Abimanyu. Namun Gatotkaca
justru memarahi Kalabendana yang dianggapnya lancang mencampuri urusan rumah
tangga sepupunya itu. Karena terlalu emosi, Gatotkaca sampai memukul kepala
Kalabendana. Mekipun perbuatan tersebut dilakukan tanpa sengaja, namun pamannya
itu tewas seketika.
Ketika perang Baratayuda meletus, Abimanyu benar-benar
tewas dikeroyok para Korawa pada hari ke-13. Esoknya pada hari ke-14 Arjuna
berhasil membalas kematian putranya itu dengan cara memenggal kepala Jayadrata.
Duryudana sangat sedih atas kematian Jayadrata,
adik iparnya tersebut. Ia memaksa Karna menyerang perkemahan Pandawa
malam itu juga. Karna pun terpaksa berangkat meskipun hal itu melanggar peraturan
perang.
Mendengar
para Korawa melancarkan serangan malam, pihak Pandawa pun mengirim Gatotkaca
untuk menghadang. Gatotkaca sengaja dipilih kaarena Kotang Antrakusuma
yang ia pakai mampu memancarkan cahaya terang benderang.
Pertempuran
malam itu berlangsung mengerikan. Gatotkaca berhasil menewaskan sekutu Korawa
yang bernama Lembusa. Namun ia sendiri kehilangan kedua pamannya, yaitu
Brajalamadan dan Brajawikalpa yang tewas bersama musuh-musuh mereka, bernama
Lembusura dan Lembusana.
Gatotkaca
akhirnya berhadapan dengan Karna, pemilik senjata Kontawijaya. Ia pun
menciptakan kembaran dirinya sebanyak seribu orang sehingga membuat Karna
merasa kebingungan. Atas petunjuk ayahnya, yaitu Batara Surya, Karna berhasil menemukan Gatotkaca
yang asli. Ia pun melepaskan senjata Konta ke arah Gatotkaca.
Gatotkaca
mencoba menghindar dengan cara terbang setinggi-tingginya. Namun arwah
Kalabendana tiba-tiba muncul menangkap Kontawijaya sambil menyampaikan berita
dari kahyangan bahwa ajal Gatotkaca telah ditetapkan malam itu.
Gatotkaca
pasrah terhadap keputusan dewata. Namun ia berpesan supaya mayatnya masih bisa
digunakan untuk membunuh musuh. Kalabendana setuju. Ia kemudian menusuk pusar
Gatotkaca menggunakan senjata Konta. Pusaka itu pun musnah bersatu dengan
sarungnya, yaitu kayu Mastaba yang masih tersimpan di dalam perut Gatotkaca.
Gatotkaca
telah tewas seketika. Arwah Kalabendana kemudian melemparkan mayatnya ke arah
Karna. Karna berhasil melompat sehingga lolos dari maut. Namun keretanya hancur
berkeping-keping tertimpa tubuh Gatotkaca yang meluncur kencang dari angkasa.
Akibatnya, pecahan kereta tersebut melesat ke segala arah dan menewaskan para
prajurit Korawa yang berada di sekitarnya. Tidak terhitung banyaknya berapa
jumlah mereka yang mati.
YUDISTIRA
Yudistira (Sanskerta: युधिष्ठिर; Yudhiṣṭhira) alias Dharmawangsa, adalah salah satu tokoh
protagonis dalam wiracarita Mahabharata.
Ia merupakan seorang raja yang memerintah kerajaan
Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura.
Ia
merupakan yang tertua di antara lima Pandawa, atau para putera Pandu.
Dalam tradisi pewayangan, Yudistira diberi gelar
"Prabu" dan memiliki
julukan Puntadewa, sedangkan kerajaannya disebut dengan nama Kerajaan Amarta.
Arti Nama
Nama Yudistira dalam bahasa Sanskerta bermakna "teguh
atau kokoh dalam peperangan". Ia juga dikenal dengan sebutan Dharmaraja,
yang bermakna "raja Dharma", karena ia selalu berusaha
menegakkan dharma sepanjang hidupnya.
Beberapa julukan lain yang dimiliki Yudhisthira adalah:
- Ajataśatru, "yang tidak memiliki
musuh".
- Bhārata, "keturunan Maharaja Bharata".
- Dharmawangsa atau Dharmaputra,
"keturunan Dewa Dharma".
- Kurumukhya, "pemuka bangsa Kuru".
- Kurunandana, "kesayangan Dinasti Kuru".
- Kurupati, "raja Dinasti Kuru".
- Pandawa, "putera Pandu".
- Partha, "putera Prita atau Kunti".
Beberapa di
antara nama-nama di atas juga dipakai oleh tokoh-tokoh Dinasti Kuru lainnya,
misalnya Arjuna,
Bisma,
dan Duryodana.
Selain nama-nama di atas, dalam versi pewayangan Jawa masih terdapat beberapa
nama atau julukan yang lain lagi untuk Yudistira, misalnya:
- Puntadewa, "derajat
keluhurannya setara para dewa".
- Yudistira, "pandai memerangi nafsu
pribadi".
- Gunatalikrama, "pandai
bertutur bahasa".
- Samiaji, "menghormati orang lain
bagai diri sendiri".
Sifat dan Kesaktian
Sifat-sifat Yudistira tercermin dalam nama-nama julukannya, sebagaimana
telah disebutkan di atas. Sifatnya yang paling menonjol adalah adil, sabar,
jujur, taat terhadap ajaran agama, penuh percaya diri, dan berani
berspekulasi. Kesaktian Yudistira dalam Mahabharata terutama dalam hal
memainkan senjata tombak. Sementara itu, versi pewayangan Jawa lebih menekankan pada
kesaktian batin, misalnya ia pernah dikisahkan menjinakkan hewan-hewan buas di
hutan Wanamarta dengan hanya meraba kepala mereka.
Yudistira dalam pewayangan beberapa pusaka, antara lain Jamus Kalimasada, Tunggulnaga, dan Robyong
Mustikawarih. Kalimasada berupa kitab, sedangkan Tunggulnaga
berupa payung. Keduanya menjadi pusaka utama kerajaan Amarta. Sementara itu, Robyong
Mustikawarih berwujud kalung yang terdapat di dalam kulit
Yudistira. Pusaka
ini adalah pemberian Gandamana, yaitu patih kerajaan Hastina pada zaman pemerintahan
Pandu. Apabila kesabaran Yudistira
sampai pada batasnya, ia pun meraba kalung tersebut dan seketika itu pula ia
pun berubah menjadi raksasa besar berkulit putih bersih.
Kelahiran
Yudistira adalah putera tertua pasangan Pandu dan Kunti. Kitab Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa mengisahkan tentang
kutukan yang dialami Pandu setelah membunuh brahmana bernama Resi Kindama
tanpa sengaja. Brahmana itu terkena panah Pandu ketika ia dan istrinya sedang bersanggama dalam wujud sepasang rusa. Menjelang ajalnya
tiba, Resi Kindama sempat mengutuk Pandu bahwa kelak ia akan mati ketika
mengawini istrinya. Dengan penuh penyesalan, Pandu meninggalkan tahta Hastinapura dan memulai hidup
sebagai pertapa di hutan demi untuk mengurangi hawa nafsu. Kedua istrinya,
yaitu Kunti dan Madri dengan setia mengikutinya.
Pada suatu hari, Pandu mengutarakan niatnya ingin memiliki anak. Kunti
yang menguasai mantra Adityahredaya segera mewujudkan
keinginan suaminya itu. Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil dewa untuk mendapatkan
putera. Dengan menggunakan mantra itu, Kunti berhasil mendatangkan Dewa Dharma dan mendapatkan
anugerah putera darinya tanpa melalui persetubuhan. Putera pertama itu diberi nama Yudistira. Dengan
demikian, Yudistira menjadi putera sulung Pandu, sebagai hasil
pemberian Dharma, yaitu dewa keadilan dan
kebijaksanaan. Sifat Dharma itulah yang kemudian diwarisi oleh Yudistira
sepanjang hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar