Nama Suku
|
:
|
Betawi
|
Tokoh
|
:
|
|
:
|
||
Kawasan dengan jumlah penduduk
yang signifikan
|
:
|
Jakarta:
2.3 juta
|
:
|
||
:
|
||
Kelompok etnis terdekat
|
:
|
A.
Pengertian
Suku Betawi
berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada masa lalu. Secara
biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum
berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang
disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di
Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain
yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Melayu serta
suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.
Kata Betawi
digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang
digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi berasal dari
kata "Batavia," yaitu nama lama
Jakarta pada masa Hindia Belanda.
B.
Sejarah
Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad
ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda,
terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau
Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Selain itu, perjanjian
antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512
yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa
mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis
yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik
keroncong.
Setelah VOC menjadikan Batavia
sebagai pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk
membuka lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu
VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih
berlangsung praktik perbudakan.[1] Itulah penyebab masih tersisanya kosa
kata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan
Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok,
Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing
tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab
dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah
mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia; Kampung Melayu, Kampung Bali,
Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di
daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini
masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis
Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi
sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda,
pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau
golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari
berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis
Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah
golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Bali, Jawa, Sunda,
orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu.
Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke
dalam kesatuan penduduk pribumi (Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian
terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.
Suku Betawi
Pada tahun 1930, kategori orang Betawi
yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data
sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi
mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia
lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran
sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum
mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri
berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya
orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan
politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem
Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan
sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat
bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng
Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng
tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng
Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di
Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Setelah kemerdekaan
Sejak akhir abad yang lalu
dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari
seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal
sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih
22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka
semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar
Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini
terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di
bumi Nusantara.
C.
Rumah Adat
Di bidang
asrsitektur, pengaruh Tionghoa juga cukup kuat mempengaruhi orang Betawi ketika
membangun rumah. Bagian depan rumah Betawi diberi hiasan pembatas berupa
langkan (China: lan-kan, red). Lalu agar tampak indah dan tidak kusam, pintu
dan jendela harus dicat (chat) ulang setiap tahun.
Di dinding
tergantung lonceng (lo-ceng). Penghuni rumah tidur di pangkeng (pang-keng)
‘kamar tidur’. Sebelum tidur orang tentunya ingin kongko (kong-kou) atau
‘mengobrol’ terlebih dahulu sambil minum teh (te) dan makan kuaci (koa-ci).
Sementara Ta’pang (tah-pang) ‘balai-balai’ atau ‘dipan’ dipakai untuk
rebah-rebahan sambil bersantai.
Untuk memasak di
dapur ada langseng (lang-sng) yang artinya kurang lebih ‘dandang’, anglo
(hang-lou) ‘perapian dengan arang’. Meja bisa dibersihkan dengan topo’ (toh-pou)
atau ‘lap meja’, atau pakai kemoceng (ke-mo-cheng) ‘bulu ayam’ untuk
menghilangkan debunya. Untuk mengumpulkan sampah yang sudah disapu ada pengki
(pun-ki). Sementara di tempat-tempat becek dulu orang suka memakai bakiak
(bak-kiah).
D.
Seni dan kebudayaan
Budaya Betawi merupakan
budaya mestizo, atau sebuah campuran
budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Hindia Belanda, Batavia (kini Jakarta)
merupakan ibu kota Hindia Belanda yang menarik pendatang dari dalam dan luar
Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk
Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya
Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai
penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar
dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun
tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk
melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ
Babakan.
·
Bahasa
Sifat
campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan
dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai
macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun
kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku
bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan
sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan
Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan
ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran
kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah
menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian
dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang
digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang
yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai
etnis Betawi (kata turunan dari
Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih
tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol,
Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian
berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih
sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[2] yang saat ini disimpan di
perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan
di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau
bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri
terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir.
Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi
pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali
dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya
kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah
Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan
di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke
Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir
selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin
S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah
Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran
adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan
kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan
"é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati
seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.
·
Musik
Dalam bidang kesenian, misalnya,
orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni
musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi
musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi
terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.
·
Tari
Seni tari di Jakarta merupakan
perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya
tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain. Pada
awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti
tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat
dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni
tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
·
Drama
Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini
biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi
lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat
berinteraksi langsung dengan penonton.
·
Cerita
rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di
Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita
rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang
mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang
dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia
persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan
kehidupan zaman kolonial. creita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
·
Senjata
tradisional
Senjata
khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari
kayu.
Senjata
Tradisional Betawi Genre Awal
1. Golok
Golok merupakan jenis senjata tajam
masyarakat Melayu yang paling umum ditemukan, walaupun dengan penamaan yang
berlainan berdasarkan daerahnya. Sebagian besar masyarakat di pulau Jawa
sepakat menamakan senjata tajam jenis “bacok” ini dengan golok.
Pada masyarakat Betawi keberadaan
golok sangat dipengaruhi kebudayaan Jawa Barat yang melingkupinya. Perbedaan
diantara keduanya dapat dilihat dari model bentuk dan penamaannya, sedangkan
kualitas dari kedua daerah ini memiliki kesamaan mengingat kerucut dari sumber
pande besi masyarakat Betawi mengacu pada tempat-tempat Jawa Barat, seperti
Ciomas di Banten dan Cibatu di Sukabumi.
2. Rotan
Rotan adalah jenis senjata
tradisional Betawi yang digunakan pada permainan Seni Ketangasan Ujungan,
termasuk kategori senjata alat pemukul. Disinyalir dari Seni Ujungan inilah
awal beladiri berkembang. Pada masa awal terbentuknya Seni Ketangkasan Ujungan,
rotan yang digunakan mencapai panjang 70-100cm. Pada ujung rotan disisipkan
benda-benda tajam seperti paku atau pecahan logam, yang difungsikan untuk
melukai lawan.
Pada
perkembangannya rotan yang digunakan hanya berkisar 70-80cm, selanjutnya paku
dan pecahan logam di ujung rotanpun tidak lagi digunakan untuk pertandingan
yang sifatnya hiburan, rotan jenis ini dipakai hanya ketika berperang
menghadapi musuh sesungguhnya. Tubuh lawan yang menjadi sasaranpun dibatasi hanya sebatas
pinggang ke bawah, utamanya tulang kering dan mata kaki.
3. Punta
Punta adalah senjata tajam jenis
tusuk, dengan panjang sekitar 15-20cm. Senjata ini lebih berfungsi sebagai
senjata pusaka yang menjadi simbol strata sosial pada waktu itu, karena senjata
tajam ini tidak pernah digunakan untuk bertarung. Di Jawa Barat mungkin dikenal
sebagai Kujang, namun Kujang lebih variatif dari segi bentuk dan motif ciung.
4. Beliung Gigi Gledek
Beliung adalah sejenis kapak dengan
mata menyilang kearah gagang pegangan, umumnya digunakan sebagai perkakas untuk
membuat kayu. Beliung Gigi Gledek merupakan jenis kapak dengan mata kapak
terbuat dari batu, merupakan teknik pembuatan senjata sisa peninggalan zaman
batu baru di Betawi yang masih tersisa antara abad 1-3M. Beberapa tokoh yang
diketahui pernah menggunakan ini sebagai senjata andalannya adalah Batara
Katong (Wak Item) dan Salihun pemimpin kelompok Si Pitung. Beliung digunakan
Salihun sebagai sarana dalam melakukan aksi perampokan maupun pelarian dengan
memanjat pagar tembok.
5. Cunrik (Keris Kecil Tusuk Konde)
Cunrik merupakan senjata tradisional
para perempuan Betawi, biasa digunakan oleh para resi perempuan yang tidak
ingin menonjolkan kekerasan dalam pembelaan dirinya, terbuat dari besi kuningan
dengan panjang kurang dari 10cm. Salah seorang resi perempuan yang terkenal
menggunakan cunrik ini adalah Buyut Nyai Dawit, pengarang Kitab Sanghyang
Shikshakanda Ng Karesiyan (1518). Dimakamkan di Pager Resi Cibinong.
Senjata Tradisional Betawi yang
dipakai dalam Maenpukulan
6. Kerakel (Kerak Keling) / Blangkas
Kerakel (Kerak Keling) merupakan
jenis senjata pemukul, merupakan perkembangan dari senjata rotan Ujungan. Orang
Betawi Rawa Belong lebih mengenalnya dengan sebutan Blangkas.
Batang pemukul pipih memiliki panjang
lebih pendek dari rotan (40-60cm), terbuat dari hasil sisa pembakaran baja
hitam (kerak keling) yang dicor. Ujung gagang lancip yang difungsikan juga
sebagai alat penusuk. Pada gagang dibuat lebih ringan dengan bahan terbuat dari
timah. Agar tidak licin para jawara zaman dulu melapisinya dengan kain. Sekilas
bentuk Kerakel mirip dengan Kikir, sejenis perkakas yang difungsikan sebagai
pengerut besi.
Pada akhir abad 17 orang-orang
peranakan cina di luar kota memodifikasi kerakel menjadi sebuah bilah dengan
dua mata tajam, di sebut Ji-Sau (Ji, berarti dua-Sau, berarti bilah). Seiring
dengan perkembangan waktu, lidah masyarakat Betawi memetaforkan kata ji-sau
menjadi pi-sau, sekalipun pi-sau hanya bermata satu.
7. Golok Gobang
Golok Gobang, adalah golok yang
berbahan tembaga, dengan bentuk yang pendek. Panjang tidak lebih dari panjang
lengan (sekitar 30cm) dan diameter 7cm. Bentuk Golok Gobang yang pada ujung
(rata) dan perut melengkung ke arah punggung golok, murni digunakan sebagai
senjata bacok. Di Jawa Barat model Golok Gobang ini dinamakan Golok Candung.
Bentuk gagang pegangan umumnya tidak menggunakan motif ukiran hewan, hanya
melengkung polos terbuat dari kayu rengas. Masyarakat Betawi tengah menyebutnya
dengan istilah “Gagang Jantuk”.
Bilah golok gobang polos tanpa pamor
atau wafak yang umum dipakai sebagai golok para jawara, dengan diameter 6cm
yang tampak lebih lebar dari golok lainnya
8. Golok Ujung Turun
Golok jenis ini adalah golok tanding
dengan ujung yang lancip, panjang bilah sekitar 40cm, dengan diameter 5-6cm.
Umumnya golok Ujung Turun ini menggunakan wafak pada bilah dan motif ukiran
hewan pada gagangnya. Gagang dan warangka golok lebih sering menggunakan
tanduk, hal ini dimaksudkan sebagai sarana mengurangi beban golok ketika
bertarung. Di Jawa Barat golok jenis ini merupakan perpaduan antara jenis Salam
Nunggal dan Mamancungan.
9. Golok Betok & Badik Badik
Golok Betok
adalah golok pendek yang difungsikan sebagai senjata pusaka yang menyertai
Golok Jawara, begitupun Badik Badik yang berfungsi hanya sebagai pisau serut
pengasah Golok Jawara. Kedua senjata tajam ini digunakan paling terakhir manakala
sudah tidak ada senjata lagi di tangan.
10. Siku
Orang Betawi menyebutnya sebagai
Siku, karena bentuknya yang terdiri dari dua batang besi baja yang saling
menyiku atau menyilang. Ujung tajam menghadap ke lawan. Dalam setiap permainan
siku selalu digunakan berpasangan. Dalam istilah lain senjata tajam jenis ini
disebut Cabang atau Trisula.
E.
Pakaian
Adat
Pun demikian dengan busana,
terutama busana tradisional Betawi. Busana tradisional kaum pria Betawi,
menurut Ridwan Saidi, terdiri dari celana batik, baju tikim warna putih, kain
plekat yang disampirkan di bahu, penutup kepala atau ikat batik. Baju tikim
itulah yg berasal dari Tionghoa. Pakaian pengantin tradisional Betawi juga
demikian, banyak dipengaruhi kebudayaan Tionghoa.
F.
Kepercayaan
Sebagian besar Orang
Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya
sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang
menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan
bangsa Portugis. Hal ini wajar karena
pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan
Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda
Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas
Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
G.
Profesi
Di Jakarta, orang Betawi sebelum era
pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah
(kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran
Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan
lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal
K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni
oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang sekarang
lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung
Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat
banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong.
Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman
Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru,
pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah
orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya Bung Karno
menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk
"terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno
yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah
multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan
lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan
etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
H.
Perilaku
dan sifat
Asumsi kebanyakan orang
tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi,
pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil.
Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang
menjadi Gubernur Jakarta saat ini .
Ada beberapa hal yang
positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun
kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius.
Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran
orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi
sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara
masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi sangat
menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga
yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa
seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak bisa
dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak
terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta).
Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru
akan menopang modernisasi tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar