}
Free Atom Cursors at www.totallyfreecursors.com
Setelah itu copy kod JieZunaE: Tari Bedhaya

Rabu, 07 Mei 2014

Tari Bedhaya



Tari Bedhaya Ketawang adalah sebuah tari yang amat disakralkan dan hanya digelar dalam setahun sekali. Konon di dalamnya sang Ratu Kidul ikut menari sebagai tanda penghormatan kepada raja-raja penerus dinasti Mataram.
Perbendaharaan beksan (tarian) tradisi keraton Surakarta Hadiningrat terdiri dari berbagai ragam. Dilihat dari fungsinya, tarian itu bisa dibagi dalam 3 macam. Yaitu tari yang punya sifat magis religius, tari yang menggambarkan peperangan, dan tari yang mengandung cerita (drama).
Masing-masing tari tercipta karena ada sejarahnya yang dipengaruhi oleh suasana saat itu. Berbagai macam jenis tari yang diciptakan oleh pengramu keraton bukan asal buat, melainkan dipadu dengan masukan dari kalangan lelembut yang punya hubungan baik dengan keluarga keraton. Sehingga ada muatan mistis dan gaib.
Tari yang punya sifat magis-religius ini, seperti Bedhaya biasanya diperagakan oleh kaum putri yang berjumlah 7 atau 9 orang, sedang yang diperagakan oleh 4 putri biasa disebut Tari Srimpi.
Contoh tarian :
Pemburu Kidang, Joko Tarub, Batik, Rara ngigel, Wirapertiwi, Soyong, Candik Ayu, Yapong, Terang Wulan, Karapan Sapi, Keris Cirebon dll.
Sebuah tari yang amat disakralkan dan hanya digelar setahun sekali. Konon di dalamnya sang Ratu Kidul ikut menari sebagai tanda penghormatan kepada raja-raja penerus Dinasti Mataram.
Perbendaharaan beksan (tarian) tradisi keraton Surakarta terdiri dari berbagai ragam. Dilihat dari fungsinya, tarian itu bisa dibagi dalam 3 macam. Yaitu tari yang punya sifat magis religius, tari yang menggambarkan peperangan, dan tari yang mengandung cerita (drama).
Masing-masing tari tercipta karena ada sejarahnya yang dipengaruhi oleh suasana saat itu. Berbagai macam jenis tari yang diciptakan oleh pengramu keraton bukan asal bikin, melainkan dipadu dengan masukan dari kalangan lelembut yang punya hubungan baik dengan keluarga keraton. Sehingga ada muatan mitis dan gaib.
Tari yang punya sifat magis-religius ini, seperti Bedhaya biasanya diperagakan oleh kaum putri yang berjumlah 7 atau 9, sedang yang diperagakan oleh 4 putri biasa disebut Tari Srimpi.


Asal-usul Tari Bedhaya Ketawang
Asal mulanya tari Bedhaya Ketawang hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Dalam perkembangan selanjutnya, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang.
Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan)
Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati) Bedhaya Gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya.
Siapa sebenarnya pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang memang masih simpang siur.
Bedoyo Ketawang misalnya menurut Sinuhun Paku Buwono X menggambarkan lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati, segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samodera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan) dan terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus.
Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati-Raja Mataram pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Penembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Panembahan Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan. Ceritanya, ketika Sultan Agung sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar alunan sebuah gending. Kemudian Sultan Agung berinisatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan kemudian dinamakan tari Bedhaya Ketawang.

Tari Bedoyo Ketawang tarian murni melambangkan cinta asmara Kangjeng Ratu Kidul kepada Sultan Agung

Sembilan penari perempuan, berbusana dodot ageng dengan batik corak bangun tulak alas-alasan menarikan tarian kraton, Bedhoyo Ketawang selama 2,5 jam. Iringan gending Kethawang Gedhe membuat suasana di Pendopo Ageng Sasanasewaka nampak makin sakral dan religius. Konon, gending ini menjadi lebih terasa religius dan sacral ketika Sunan Kalijogo ikut dalam proses pembuatannya. Tari ini biasanya dipagelarkan hanya acara Tinggalan dalem Jumenengan atau pada acara hari jadi penobatan raja dan hanya boleh dilihat oleh para pejabat dan kerabat keraton. Di jaman sekarang, tarian Bedhoyo dipagelarkan dan dapat dilihat secara bebas oleh khalayak pada tiap bulan Sya'ban.
Sebelum menarikan tarian ini, sembilan penari Bedhoyo Ketawang haruslah melakukan ritual puasa, menyucikan diri lahir dan bathin tidak dalam keadaan 'berhalangan bulanan' ketika menarikan (hal ini membuat adanya penari cadangan yang dipersiapkan untuk saat-saat tak terduga). Namun lebih dari itu, hal yang paling menarik adalah sembilan penari ini haruslah menari dalam keadaan masih perawan. Terkait dengan masalah keperawanan ini, karena sering kejadian sang raja merasa 'kesengsem' pada salah satu penari dan menginginkan untuk menemani sang penguasa melewati malam.
Kembali ke masalah Bedhoyo Ketawang, jika dikatakan sensualitas para penari Bedhoyo nampak jelas terlihat, hal itu bukanlah hal yang aneh. Dilihat dari sisi filosofis Bedhoyo Ketawang sendiri, melambangkan curahan cinta asmara Kanjeng Ratu Kidul kepada Sultan Agung.
Hal ini terlukiskan dalam setiap gerak tangan, gerakan tubuh, dan juga cara memegang sondher. Semua gerak merayu dan mencumbu dalam Bedhoyo itu dirangkum sedemikian halusnya, hingga seringkali mata awam sangat sukar memahaminya. Jelas, dengan 2,5 jam pagelaran dan melihat tari yang sangat lamban, bagi yang tak berkepentingan tak lebih hanya menciptakan kejenuhan. Ada satu hal yang mungkin mudah dipahami oleh orang awam bahwa tarian ini adalah tarian lambang percintaan antara Ratu Kidul dengan Sultan Agung adalah, sembilan penari ini memakai busana dodot ageng dan paes ageng yang lazim digunakan oleh pasangan pengantin.
Tarian ini murni melambangkan cinta asmara Kangjeng Ratu Kidul kepada Sultan Agung. Memang upaya tersebut selalu dapat dielakkan oleh Sultan Agung, bahkan Ratu Kidul meminta agar Sinuhun ikut menetap di samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana, Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Ramawijaya di dasar lautan.
Namun demikian, Sultan Agung tidak menuruti kehendak Ratu Kidul karena masih ingin mencapai Sangkan Paran. Selanjutnya, begitu Sultan Agung bersedia memperistri Ratu Kidul, maka konsewensi secara turun temurun, setiap keturunannya yang bertahta di pulau Jawa akan terikat janji dengan Kangjeng Ratu Kidul pada hari peresmian kenaikan tahtanya.
Berdasarkan kitab Wedhapradangga, tarian Bedhoyo Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung, dan Kangjeng Ratu Kidul sendirilah yang diminta hadir ke daratan untuk mengajarkan secara langsung tarian Bedhaya Ketawang pada para penari kesayangan Sinuhun. Hal ini memang terlaksana, pelajaran tari ini dilakukan setiap hari Anggorokasih atau hari Selasa Kliwon. Sampai hari inipun, para penari kraton yang bertugas menarikan Bedhoyo Ketawang masih melakukan latihan pada hari yang ditentukan ini. Mengingat bahwa tari ini dipandang sebagai satu tarian ciptaan Ratunya seluruh mahluk halus, seringkali dipercaya bahwa sang penciptanya hadir setiap kali Bedhoyo Kethawang ditarikan.
Berbeda dari istana Yogyakarta yang sudah lama meninggalkan tari upacara magis sebagai aktualisasi "perkawinan" raja Jawa dengan Ratu Selatan (yang di Keraton Yogya dinamakan tari Bedhaya Semang), Keraton Kasunanan Surakarta hingga kini setiap tahun masih mempergelarkan tari upacara yang berfungsi sama, yang bernama Bedhaya Ketawang. Perbedaan penyikapan terhadap warisan budaya di antara kedua keraton utama Jawa itu menunjukkan bahwa yang satu lebih memberi tekanan pada aspek budaya yang magis-ritual, sedangkan yang lain lebih mementingkan nilai astetik dan upaya pemasyarakatan.
TARI BEDHAYA ANGLIR MENDHUNG
Menrut kepercayaan versi kraton Surakarta Hadiningrat tari ini merupakan ciptaan Kanjeng Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul ( kanjeng Ratu kencana Sari ) Anggapan ini bersumber dari kraton Surakarta Hadiningrat . tari srimpi sebagai hadiah berdirinya ibukota Mataram setelah peleret pindah.
Jumlah penari bedhaya ini disesuaikan dengan bedhaya Ka-sapta pada zaman hendran. Artinya tujuh penariremaja bibar pinjung ( remaja putrid yang berusia 18 tahun keatas ) . Sejak Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma sampai dengan Paku Buwana III ini tidak pernah dipergelarkan . Pada zaman Susuhunan Paku Buwana IV di Surakarta mulai bedhaya diingatkan adanya daya keramat bedhaya srimpi Anglirmendhung . Maka dalam pementasan Bedhaya Anglir mendhung seluruh sesajidan beberapa pantangan tidak boleh terlupakan . hal ini demi keselamatan Pada Zaman Susuhunan Paku Buwana V pernah mengubah jumlah penaridari tujuh menjadi empat penari putrid remaja ,dengan alasan keselamatan. Itupunhanya terselenggara sekalilengkap dengan segala sesaji Pada masa Paku Buana VI danVII, srimpi tersebut tidak pernah digelarkan.. Baru pada zaman Paku Buwana VIII jumlah penari srimpi tersebut dikembalikan menjadi tujuh remaja putri. Tetapi mulai Pakubuwana IX penari ditetapkan menjadi empat orang dengan catatan : hanya digelarkan pada saat dibutuhkan . menurut osiking sasmita.Bisikan Kalbu, Dengandemikian Srimpi Anglirmendhung bagi kraton Surakarta hanya diselenggarakn sebagaipendorong sugesti Hal-hal yang dapat diketahui dalam tarian ini meliputi :bunyi lkalaimat pada cakepan kalimatyang mengingatkan kepada tata cara dan tujuan mangestiseorang raja . Adapun sesaji dan kukusing ( asap) dupa tidakkah diabaikan sedangkan nama gending sebagai pengiringnya ialah; Gending Srimpi anglirMendung, Kethuk Kalih Kerep, MinggahKetawang Gending Kemanak , Suwuk,BukaSri Narendra, Dhawah Ketawang Lengen –gita,pelog pathet Barang.
Didala istana sultan jawa (keraton jogjakarta dan kraton solo) secara periodik diadaka sebuah tarian sakral yang bernama tarian bedoyo ketawang atau di sebut juga tarian langit, yaitu suatu upacara yang berupa tarian dengan tujuan pemujaan dan persembahan kepadaSang Pencipta Allah SWT
Pada awal mulanya tari Bedhaya Ketawang di Keraton Surakarta Cuma diperagakan oleh tujuh wanita saja. Namun dalam perkembangan selanjutnya, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang penari.
dari kesembilan penari tersebut 8 penari diperankan oleh putri-putri yang masih ada hubungan darah dan kekerabatan dari keraton dan seorang penari gaib yag dipercaya sebagai sosok Nyai Roro Kidul
Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan).
Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati) Bedhaya Gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya.
Tentang siapa pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang memang masih rancu.
Bedoyo Ketawang misalnya menurut Sinuhun Paku Buwono X menggambarkan lambang cinta birahi Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati, segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samodera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan) dan terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh Raja-Raja Jawa yang Turun Temurun atau Raja-Raja Penerus.
Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati-Raja Mataram pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Penembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Panembahan Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan. Ceritanya, ketika Sultan Agung sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar alunan sebuah gending. Kemudian Sultan Agung berinisatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan kemudian dinamakan tari Bedhaya Ketawang.
sebelum dilaksanakan tarian ini ada beberapa laku atau aturan atu yang disebut juga upacara ritus yang harus dipenuhi oleh kreton dan para penari tersebut yaitu:
Untuk Keraton harus melakukan upacara atau ritus Labuhan atau Larungan (persembahan korban) yang berupa sesaji di 4 titik ujung/titik mata angin disekitar keraton. Disini keraton diibaratkan sebagai pusat dari Kosmis dari dunia dan keempat titik penjuru melambangkan alam semesta,letak geografis dan mitologis keempat titik tersebut adalah:
1.                  Di Bagian Utara terdapat Gunung Merapi dengan penguasa Kanjeng ratu Sekar
2.                  Di Daerah Selatan terdapat Segoro Kidul atau laut kidul dengan penguasa Nyi Rara Kidul
3.                  Bagian Barat terdapat Tawang Sari kahyangan ndlpih dengan penguasa Sang Hyang Pramori (Durga di hutan Krendowahono)
4.                  Dibagian Timur terdapat Taawang Mangu dengan Argodalem Tirtomoyo sebagai penguasa dan Gunung Lawu dengan Kyai Sunan lawu sebagai penguasanya.
selain itu putri-putri yang ikut menari diwajibkan masih Perawan dan menjalankan pusa tertentu sebelum melakukan tarian.
Pada malam hari anggara kasih yaitu ke 9 penari termasuk nyai rara kidul yang diyakini memasuki sitihinggil dengan arah Pradaksina disekitar sultan/raja,mereka itu perlambang cakrawala dan membuat formasi nawagraha, perbintangan kartika : 2 + 5 + 2. atas irama gamelan para penari melambangkan peredaran tata tertip kosmis azali yang teratur : kemudian bagaimana tata tertip tersebut menjadi kacau dan kemudian dipuluhkan lagi. Tembang yang dinyanyikan melambangkan Re-integrasi tata dunia dalam tata asli transendia dan lama tarian yang dimainkan sekitar 5,5 jam kadang sampai jam 01:00 malam. Hadirin yang terpilih untuk melihat atau menyaksikan tarian ini harus dalam keadaan khusuk,semedi,hening dan heneng dalam artian hadirin selama tarian berlangsung tidak boleh berbicara, makan dan hanya boleh diam dan menyaksikan gerakan demi gerakan sang penari.
Tarian Bedhoyo Ketawang besar hanya di lakukan setiap 8 tahun sekali atau sewindu sekali sedangkan tarian bedhaya ketawang kecil dilakukan pada saat Penobatan raja atau sultan, pernikahan salah satu anggota keraton yang ditambah simbol-simbol yang sesuai dengan maksud dan tujuan Bedhaya ketawang di lakukan.
TARI BEDHOYO KADUK MANIS ,
Jenis tarian klasik Kraton Surakarta ciptaan Sri Susuhunan Paku Buwono IX dengan iringan Gending Kaduk Manis yang dilanjutkan dengan Ketawang Dhendha Gedhe laras polog pathet enem .Syair dalam gending tersebut melambangkan agar orang senantiasa bersikap manis berbudi luhur dan mempunyai tata susila yang tinggi .Jumlah penari sembilan orang gdis .Busana yang digunakan : kain batik ,dodot kembar ,bersanggul ukel ageng bangun tulak dan bercuduk sisir .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar