BAB I
PENDAHULUAN
Sunan Gunung Jati
atau Syarif Hidayatullah
diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri
dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif
Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14
tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul
berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia
mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan
Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin
pemerintahan. Sunan Gunung Jati
memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam
dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang
lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa
jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120
tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung
Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Biografi Syarif Hidayatullah
Pangeran Walangsungsang yang selanjutnya bergelar Sri
Manggana raja pertama daerah Cirebon Larang, memiliki adik bernama Rara
Santang. Ketika Walangsungsang menunaikan ibadah Haji, Rara Santang juga ikut
serta untuk berhaji. Diceritakan ketika sampai di pelabuhan Jedah, Samadullah
alias Walangsungsang dan Rara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah,
penguasa (walikota) di negeri Mesir. Syarif Abdullah adalah keturunan Bani
Hasyim yang pernah berkuasa di tanah Palestina. Di kota Mekah, Rara
Santang dipersunting oleh Syarif Abdullah yang selanjutnya setelah
menunaikan ibadah Haji, Rara Santang diboyong ke negeri Mesir. Dari perkawinan
Syarif Abdullah dan Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) di karuniai
seorang putera bernama Syarif Hidayatullah, lahir tahun 1448 M.
Ketika Rara
Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) kembali ke Cirebon 1475 M, ia disertai
suaminya dan puteranya Syarif Hidayatullah tinggal dan menetap di
Cirebon Larang yang telah diperintah oleh pamannya Pangeran Cakrabuana alias
Haji Abdullah Iman.
2.
Kontribusi
Sebelum menjadi
Susuhunan Jati, Syarif Hidayatullah melakukan kegiatan Dakwah di Banten Pesisir
yang saat itu dirajai oleh Sang Surasowan. Menurut cerita lain sebelum
ke Banten Pesisir, Syarif Hidayatullah pergi ke Demak menemui Sunan Ampel untuk
bersilaturahmi, dimungkinkan perginya Syarif Hidayatullah ke Banten Pesisir
atas perintah dari Sunan Ampel. Untuk kepentingan dakwahnya, Syarif Hidayatullah
menikahi Nyi Ratu Kawunganten putri Sang Surasowan penguasa Banten Pesisir. Ia
diakuniai dua orang putra-putri yaitu Hasanuddin yang selanjutnya menjadi
pelanjut dakwah ayahnya di Banten dan Ratu Winahon alias Ratu Ayu yang
dinikahkan kepada Fachrullah Khan alias Fadhillah Khan alias Faletehan seorang
Panglima perang tentara Demak.
Empat tahun kemudian atau 1479 M (setahun setelah berdirinya
Negara Islam Demak) Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasaanya kepada Syarif
Hidayatullah (saat usia 31 th), sebelumnya menikahkan Syarif
Hidayatullah dengan putrinya Ratu Pakungwati.
Atas dukungan para wali, Syarif Hidayatullah memutuskan
Cirebon menjadi Negara Islam yang merdeka terlepas dari pemerintahan pusat
Pakuan Padjadjaran.
Upacara penobatan Syarif Hidayatullah yang bergelar Susuhunan
Jati, di hadiri oleh Dewan Wali dan Pasukan Demak yang dipimpin langsung
oleh Raden Fatah. Ketika Raden Fatah pulang ke Demak, sebagian pasukannya
ditinggalkan untuk menjadi pengawal dan melindungi Susuhunan Jati.
Posisi Syarif Hidayatullah yang selanjutnya dikenal dengan
Sunan Gunung Jati bukan hanya sebagai Susuhunan Jati Negara Islam Cirebon,
tetapi dalam Dewan Wali menempati posisi yang sentral. Beliau memangku jabatan
Khatib Agung Masjid Demak. Pada masa pemerintahan Demak beralih kepada
Pangeran Treggono (setelah Raden Fatah wafat digantikan Pati Unus lalu
Pangeran Trenggono), Sunan Bonang memerintahkan Sultan Demak baru untuk
mengunjungi Sunan Gunung Jati, pada kesempatan itu Sunan menganugrahkan gelar
kepada Pangeran Trenggono sebagai Sultan Ahmad Abdul-Arifin. Pemberian gelar
tersebut mengandung arti legitimasi bagi Pangeran Trenggono untuk memimpin
Negara Islam Demak. Perintah Sunan Bonang kepada Pangeran Trenggono untuk
menemui Sunan Gunung Jati memberikan petunjuk pada posisi Sunan Gunung Jati
saat itu sebagai ketua Dewan Wali setelah Sunan Ampel dan Sunan Giri wafat.
Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan
anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada
tahun 1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan
kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan
artinya orang yang dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama
pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi
kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi
tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi
cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah
kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk
Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah
ke tempat itu.
Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati
Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang
bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di
karuniai orang putra yaitu Nyi
Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking.[1]
Selama di perjalanan menujuk kerajaan
Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk
singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah
selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia
mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati
Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun
sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua
tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten
ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat,
atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.[2]
Sesampainya
di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh
Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah
kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah
kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena
itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di
Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di
Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon.
Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah
selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah,
kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak
di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih
merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya
Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan
bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan
mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa
Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti
namanya menjadi Sri Baduga Maharaja. [3]
3.
Pendidikan
Pada masa remajanya
Syarif Hidayatullah berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh
Ataullahi Sadzili di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf.
Pada usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut Ilmu.
Syarif
Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di
antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh
Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam,
masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya,
ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya
(Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan
Islam Pakungwati.
4.
Pemikiran
Dalam
berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga
mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang
menghubungkan antar wilayah.
Bersama
putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan
Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa
setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut
yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada
usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati
mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya
kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia
120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung,
Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.[4]
Dalam menyebarkan agama islam di Tanah
Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau
sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan
disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya
dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah
mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang
pertama dengan gelar Sultan.
Dengan
berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada
Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap
sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang
berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit
pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif
Hidayatullah yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan
Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah
tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif
Hidayayullah.
Dengan
bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah
besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti :
Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi
wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara
Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang
besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri
Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari
negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara
Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan
Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar
Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti
Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat
hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan
bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah
kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu
Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan harta
benda yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong
Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan
di tempat yang aman. Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas
lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang
Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri
Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak,
diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh seorang senopati. Dalam pembangunan itu
Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai
lambang persatuan ummat.
Selesai
membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang
menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas
pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa
menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan
wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi
Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya
untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat. Berturut-turut
Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai
raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang hendak
meneruskan kebesaran Pajajaran lama. Raja Galuh ini bernama Prabu Cakraningrat
dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat membendung
kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam peperangan itu.
Kemenangan
demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil
ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan
Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta
kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah
semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai
Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di
Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat
sang Sultan.
Sunan
Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau
Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran
Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan
kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana
Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap
digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu
Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat
sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati.
Adapun
nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.[5]
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.[5]
DAFTAR PUSTAKA
·
Didi Suryadi. 1977. Babad
Limbangan.
·
Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah
Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera.
·
_________. 1995. Kebudayaan
Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
·
Hamka. 1960. Sejarah Umat
Islam. Jakarta: Nusantara.
·
Pemerintahan Propinsi Jawa Barat.
1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
·
Yuyus Suherman. 1995. Sejarah
Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung: Pustaka.
·
http://serbasejarah.wordpress.com/2008/12/19/syarif-hidayatullah-sunan-gunung-jati/
·
Suryadi, Didi. 1977. Babad
Limbangan. Hal : 46.
·
Apipudin. 2010. Penyebaran Islam di Daerah Galuh Sampai Abad ke 17.
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama.
·
http://sundaislam.wordpress.com/2008/04/04/cakrabuana-syarif-hidayatullah-dan-kian-santang/
·
http://tokohsejarah.blogspot.com/2009/10/perjuangan-sunan-gunung-jati.html
·
http://tokohsejarah.blogspot.com/2009/10/perjuangan-sunan-gunung-jati.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar