}
Free Atom Cursors at www.totallyfreecursors.com
Setelah itu copy kod JieZunaE: MAKALAH SUNAN GUNUNG JATI

Sabtu, 12 Mei 2012

MAKALAH SUNAN GUNUNG JATI


BAB I
PENDAHULUAN

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.


BAB II
PEMBAHASAN

1.        Biografi Syarif Hidayatullah
Pangeran Walangsungsang yang selanjutnya bergelar Sri Manggana raja pertama daerah Cirebon Larang, memiliki adik bernama Rara Santang. Ketika Walangsungsang menunaikan ibadah Haji, Rara Santang juga ikut serta untuk berhaji. Diceritakan ketika sampai di pelabuhan Jedah, Samadullah alias Walangsungsang dan Rara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, penguasa (walikota) di negeri Mesir. Syarif Abdullah adalah keturunan Bani Hasyim yang pernah berkuasa di tanah Palestina. Di kota Mekah, Rara Santang dipersunting oleh Syarif Abdullah yang selanjutnya setelah menunaikan ibadah Haji, Rara Santang diboyong ke negeri Mesir. Dari perkawinan Syarif Abdullah dan Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) di karuniai seorang putera bernama Syarif Hidayatullah, lahir tahun 1448 M.
Ketika Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) kembali ke Cirebon 1475 M, ia disertai suaminya dan puteranya Syarif Hidayatullah tinggal dan menetap di Cirebon Larang yang telah diperintah oleh pamannya Pangeran Cakrabuana alias Haji Abdullah Iman.



2.        Kontribusi
Sebelum menjadi Susuhunan Jati, Syarif Hidayatullah melakukan kegiatan Dakwah di Banten Pesisir yang saat itu dirajai oleh Sang Surasowan. Menurut cerita lain sebelum ke Banten Pesisir, Syarif Hidayatullah pergi ke Demak menemui Sunan Ampel untuk bersilaturahmi, dimungkinkan perginya Syarif Hidayatullah ke Banten Pesisir atas perintah dari Sunan Ampel. Untuk kepentingan dakwahnya, Syarif Hidayatullah menikahi Nyi Ratu Kawunganten putri Sang Surasowan penguasa Banten Pesisir. Ia diakuniai dua orang putra-putri yaitu Hasanuddin yang selanjutnya menjadi pelanjut dakwah ayahnya di Banten dan Ratu Winahon alias Ratu Ayu yang dinikahkan kepada Fachrullah Khan alias Fadhillah Khan alias Faletehan seorang Panglima perang tentara Demak.
Empat tahun kemudian atau 1479 M (setahun setelah berdirinya Negara Islam Demak) Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasaanya kepada Syarif Hidayatullah (saat usia 31 th),  sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya Ratu Pakungwati.
Atas dukungan para wali, Syarif Hidayatullah memutuskan Cirebon menjadi Negara Islam yang merdeka terlepas dari pemerintahan pusat Pakuan Padjadjaran.
Upacara penobatan Syarif Hidayatullah yang bergelar Susuhunan Jati, di hadiri oleh Dewan Wali dan Pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh Raden Fatah. Ketika Raden Fatah pulang ke Demak, sebagian pasukannya ditinggalkan untuk menjadi pengawal dan melindungi Susuhunan Jati.
Posisi Syarif Hidayatullah yang selanjutnya dikenal dengan Sunan Gunung Jati bukan hanya sebagai Susuhunan Jati Negara Islam Cirebon, tetapi dalam Dewan Wali menempati posisi yang sentral. Beliau memangku jabatan Khatib Agung Masjid Demak. Pada masa pemerintahan Demak beralih kepada  Pangeran Treggono (setelah  Raden Fatah wafat digantikan Pati Unus lalu Pangeran Trenggono), Sunan Bonang memerintahkan Sultan Demak baru untuk mengunjungi Sunan Gunung Jati, pada kesempatan itu Sunan menganugrahkan gelar kepada Pangeran Trenggono sebagai Sultan Ahmad Abdul-Arifin. Pemberian gelar tersebut mengandung arti legitimasi bagi Pangeran Trenggono untuk memimpin Negara Islam Demak. Perintah Sunan Bonang kepada Pangeran Trenggono untuk menemui Sunan Gunung Jati memberikan petunjuk pada posisi Sunan Gunung Jati saat itu sebagai ketua Dewan Wali setelah Sunan Ampel dan Sunan Giri wafat.
Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang putra yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking.[1]
Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.[2]
Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja. [3]

3.        Pendidikan
Pada masa remajanya Syarif Hidayatullah berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf. Pada usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut Ilmu.
Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.

4.        Pemikiran
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.[4]
Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif Hidayayullah.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan harta benda yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh seorang senopati. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat.
Selesai membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat. Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama. Raja Galuh ini bernama Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam peperangan itu.
Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan.
Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati.
Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.[5]




DAFTAR PUSTAKA
·           Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
·           Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera.
·           _________. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
·           Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
·           Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
·           Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung: Pustaka.
·           http://serbasejarah.wordpress.com/2008/12/19/syarif-hidayatullah-sunan-gunung-jati/
·           Suryadi, Didi. 1977. Babad Limbangan. Hal : 46.
·           Apipudin. 2010. Penyebaran Islam di Daerah Galuh Sampai Abad ke 17. Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama.
·           http://sundaislam.wordpress.com/2008/04/04/cakrabuana-syarif-hidayatullah-dan-kian-santang/
·           http://tokohsejarah.blogspot.com/2009/10/perjuangan-sunan-gunung-jati.html
·           http://tokohsejarah.blogspot.com/2009/10/perjuangan-sunan-gunung-jati.html


[1] http://serbasejarah.wordpress.com/2008/12/19/syarif-hidayatullah-sunan-gunung-jati/
[2]http://sundaislam.wordpress.com/2008/04/04/cakrabuana-syarif-hidayatullah-dan-kian-santang/

[3]Suryadi, Didi. 1977. Babad Limbangan. Hal : 46.
[4] http://atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/sunan-gunung-jati/
[5] http://tokohsejarah.blogspot.com/2009/10/perjuangan-sunan-gunung-jati.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar