}
Free Atom Cursors at www.totallyfreecursors.com
Setelah itu copy kod JieZunaE: Good and Clean Governance

Sabtu, 12 Mei 2012

Good and Clean Governance


BAB I
PENDAHULUAN

Citra pemerintahan buruk yang ditandai dengan saratnya tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah melahirkan reformasi, salah satu isu reformasi yang diwacanakan adalah Good Governance. Istilah ini secara berangsur menjadi populer baik di kalangan pemerintah, swasta maupun masyarakat secara umum.
Istilah Good and Clean Governance atau tata pemerintahan yang baik dan bersih merupakan wacana yang mengiringi gerakan reformasi. Wacana Good and Clean Governance sering kali dikaitkan dengan tuntutan atau pengelolaan yang profesional akuntabel dan bebas korupsi, kolusi  dan nepotisme. Sebuah kritik terhadap pengelolaan pemerintahan Orde Baru yang sarat KKN yang berakhir krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Dalam makalah ini akan dibahas pengertian dan prinsip-prinsip Good and Clean Governance, kontrol sosial gerakan anti korupsi, pemerintahan yang baik, birokrasi dan pelayanan publik.














BAB II
PEMBAHASAN
GOOD AND CLEAN GOVERNANCE

A.       Pengertian Good and Clean Governance
Istilah Good and Clean Governance merupakan wacana baru dalam kosa kata ilmu politik. Secara umum istilah Good and Clean Governance memiliki pengertian segala hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Andi Faisal Bakti, Good and Clean Governance memiliki pengertian pengejawantahan nilai-nilai luhur dalam mengarahkan warga negara (citizens) kepada masyarakat dan pemerintahan yang berkeadaban melalui wujud pemerintahan yang suci dan damai. Dalam konteks Indonesia substansi, wacana Good and Clean Governance dapat dipadakan dengan istilah pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Bakti menyatakan bahwa pemerintahan yang baik adalah sikap dimana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai lever pemerintah negara yang berkaitan dengan sumber-sumber sosial, budaya, politik serta ekonomi. Pemerintahan yang bersih adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan dan bertanggung jawab.[1]
Menurut Santosa sebagaimana didefinisikan UNDP Good and Clean Governance adalah pelaksanaan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Pelaksanaan kewenangan tersebut, bisa dikatakan baik jika dilakukan dengan efektif, efisien, responsif terhadap kebutuhan rakyat dalam suasana demokratis, akuntabel dan transparan.[2]
Prinsip demokrasi yang bertumpu pada peran sentral warga negara dalam proses sosial politik bertemu dengan prinsip-prinsip dasar governance, yaitu pengelolaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang dirumuskan bersama oleh pemerintah dan komponen masyarakat madani. Pemerintahan dikatakan baik jika pembangunan dapat dilakukan dengan biaya yang sangat minimal namun dengan hasil yang maksimal.
Good and Clean Governance dapat terwujud maksimal jika ditopang oleh 2 unsur yang saling terkait negara dan masyarakat madani yang di dalamnya terdapat sektor swasta.

B.       Prinsip-prinsip Pokok Good and Clean Governance
Untuk merealisasikan pemerintahan yang profesional dan akuntabel yang berdasarkan pada prinsip-prinsip Good and Clean Governance. Lembaga Administrasi Negara merumuskan 9 aspek fundamental, yaitu :[3]
a.        Partisipasi
Semua warga negara mempunyai suara dalam pengambilan keputusan baik secara langsung, maupun melalui Lembaga Perwakilan yang sah. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. [4] Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa warga negara dijamin kebebasannya berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, menyatakan pikiran melalui tulisan maupun lisan. Dalam pasal 1 ayat 1, PP. No. 71 Tahun 2000 disebutkan peran serta masyarakat adalah peran aktif perseorangan, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya bahwa setiap orang, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum atau komisi yang menangani perkara tindak pidana korupsi seperti juga tercantum dalam pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah.


b.        Penegakan Hukum
Pelaksanaan kenegaraan dan pemerintahharus ditata oleh sebuah aturan hukum yang kuar dan memiliki kepastian hukum. Sehubungan dengan itu, Santosa menegaskan harus diimbangi dengan komitmen penegakan hukum dengan karakter-karakter antara lain :
1.    Supermasi Hukum (The Supermacy of Law)
Supermasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindak penguasa atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan  pada kekuasaan yang dimilikinya).
2.    Kepastian Hukum (Legal Certainty)
Bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara itu diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan anatara satu dengan lainnya. Pada tataran praktis, hukum itu berjalan secara independen tidak dipengaruhi oleh kekuatan kekuasaan, sehingga masyarakat merasa aman karena pelanggar hukum tidak akan memiliki peluang untuk hidup apalagi berkembang.
3.    Hukum Yang Responsif
Yakni aturan-aturan hukum itu disusun berdasarkan aspirasi masyarajat luas dan mampu mengakomodir berbagai kebutuhan publik, sehingga tidak hanya mewakili kepentingan segelintir elit kekuasaan atau kelompok tertentu.
4.    Penegakan Hukum yang Konsisten dan Non-Diskriminatif
Yakni penegakan hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk itu, diperlukan penegak hukum yang memiliki intregitas dan bertanggung jawab terhadap kebenaran hukum.
5.    Independensi Peradilan
Yakni peradilan itu harus indepedensi, tidak dipengaruhi oleh penguasa atau oleh lainnya. Kunci utama dalam penegakan Rule of Law adalah penegakan hukum dalam proses peradilan.[5]
c.         Transparasi (Transparency)
Transparasi (keterbukaan untuk umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya Good and Clean Governance yang akan menghasilkan pemerintahan yang bersih (Good Governance). Akibat tidak adanya prinsip ini, Indonesia telah terjerembab dalam kubangan korupsi yang berkepanjangan an parah. Prinsip ini mutlak dilakukan dalam rangka menghilangkan budaya korupsi di kalangan pelaksana pemerintahan baik pusat maupun yang di bawahnya.
Mengutip kesimpulan Syed Husain Alatas, Kumorotomo menyimpulkan ada 7 macam korupsi yang biasa dilakukan oleh kalangan birokrasi di Indonesia :
1.         Transactive Corruption yaitu korupsi yang dilakukan saat transaksi  dan kedua belah pihak mengambil keuntungan dari transaksi dengan merugikan negara.
2.         Extortive Corruption yaitu korupsi pemasaran pihak tertentu memeras pelaksana pekerjaan sehingga hasilnya tidak optimal.
3.         Investive Corruption yaitu tindakan korupsi dimana terjadi kesalahan dalam kebijakan, yakni investasi yang belum memiliki kepastian dalam perolehan keuntungannya.
4.         Nepotistive Corruption yaitu korupsi nepotisme yakni pemberian pekerjaan pada lingkaran keluarga sehingga mengurangi efektivitas kontrol.
5.         Defensive Corruption yaitu korupsi untuk mempertahankan diri, yakni pihak korban memberikan sesuatu kepada pihak lain untuk mempertahankan diri dan perilaku pemberiannya itu merugikan negara.
6.         Autogenic Corruption yaitu korupsi yang dilakukan oleh seseorang dan tidak melibatkan orang lain, seperti anggota DPR melahirkan UU yang dapat menguntungkan dirinya.
7.         Supportive Corruption yaitu korupsi untuk melindungi kegiatan korupsi lain yang telah dilakukannya.[6]
Menurut Gaffar terdapat 8 aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu :
·      Penetrapan posisi jabatan atau kedudukan
·      Kekayaan pejabat publik
·      Pemberian penghargaan
·      Penetapan kebijakan
·      Kesehatan
·      Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik
·      Keamanan dan ketertiban
·      Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat

d.        Responsif (Responsive)
Asas responsif adalah bahwa pemerintah harus responsif terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Affan menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan  masyarakatnya jangan menunggu mereka menyampaikan keinginan-keinginannya, tapi mereka secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum.
Setiap asas responsif, setiap unsur pemerintahan harus memiliki 2 etika, yaitu :
1.         Etika individual yaitu kualifikasi etika individual menuntut pelaksanaan birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional.
2.         Etika sosial yaitu menuntut pelaksanaan birokrasi pemerintah agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik.
Menurut Kumorotomo, pemerintah dapat melakukan generalisasi terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat yang universal dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.         Kebahagiaan terbesar bagi jumlah besar.
b.         Mengangkat kondisi dasar kemasyarakatan terutama bagi mereka yang paling tidak beruntung.
c.         Melakukan segala sesuatu yang membuat semua orang menjadi lebih baik atau setidaknya tidak seorangpun menjadi lebih bruruk.[7]
Pemerintah dikatakan baik jika telah melahirkan kebijakan yang berdampak baik kepada sebagian negaranya. Sebaliknya, pemerintahan dikatakan  buruk jika membuat sebagian warganya hidup tidak selayaknya dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh elit bitokrasi. Terkait asas responsif adalah pemerintah harus terus merumuskan kabijakan-kebijakan pembangunan terhadap semua kelompok sosial dengan karakteristik budayanya. Hal ini karena masih sering dijumpai masyarakat yang hidup dalam kemiskinan dan terbelakang dari segi pendidikan, namun mereka menikmatinya. Hal ini bukan disebabkan karena tidak adanya program yang dilakukan pemerintah tetapi secara cultural mereka menolak terhadap program-program pembangunan.

e.        Konsensus (Consensus)
Asas ini menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui konsensus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak juga akan menajdi keputusan yang mengikat dan milik bersama. Sehingga ia akan menjadi kekuatan memaksa (coersive power) bagi semua komponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.[8]
Paradigma ini perlu dikembangkan dalam konteks pelaksanaan pemerintahan karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan-persoalan publik yang harus dipertanggung jawabkan kepada rakyat. Untuk meningkatkan dinamika dan menjaga akuntabilitas dari proses pengelolaan tugas-tugas pemerintah dalam pengambilan berbagai kebijakan pemerintah harus mengembangkan beberapa sikap, yaitu :
1.         Optimistik, yakni sikap yang memperlihatkan bahwa setiap persoalan dapat diselelsaikan dengan baik dan benar. Peluang untuk mencari putusan-putusan yang arif selalu ada serta dalam koridor integritas, kejujuran berbasis kompetensi, serta dengan iktikad baik untuk memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat.
2.         Keberanian, yakni keberanian dalam pengambilan keputusan dan kebijakan dengan penuh integritas dan kejujuran sesuai dengan prosedur yang benar, dengan tetap tabah dan ulet dalam pelaksanaan kebijakannya itu, tidak takut dengan intimidasi, tekanan, desakan dari elit politik, elit penguasa, kelompok atau organisasi sosial tertentu.
3.         Keadilan yang berwatak kemurahan hati, yakni kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok dengan etik. Selain itu, melaksanakan pelayanan publik yang berbasis pada koridor integritas, kejujuran dan kesamaan.

f.          Kesetaraan (Equity)
Asas kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara pemerintahan di Indonesia baik pusat dan daerah  karena kenyataan sosiologis Indonesia sebagai bangsa yang majemuk baik etnis, agama maupun budaya.[9]

g.        Efektifitas (Effectiveness) dan Efisiensi (Effeciency)
Efektif dan efisien yakni berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektifitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan asas efisiensi diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat.
Agar pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat perancang dan pelaksana tugas-tugas pemerintahan harus mampu menyusun perencanaa-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat, dan disusun secara rasional dan terukur. Dengan perencanaan yang rasional tersebut, maka harapkan partisipasi masyarakat akan dapat digerakkan dengan mudah karena program-program itu menjadi bagian dari kebutuhan mereka.

h.        Akuntabilitas (Accountability)
Asas akuntabilitas adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Pengembangan akuntabilitas dalam rangka Good and Clean Governance bertujuan agar para pejabat atau unsur-unsur yang diberi kewenanan mengelola urusan publik senantiasa terkontrol dan tidak memiliki peluang untuk melakukan penyimpangan.
Secara teoritis akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yaitu :
1.         Akuntabilitas vertikal, menyangkut hubungan antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya antara pemerintah dan warganya. Rakyat melalui partai poliotik, LSM, institusi-institusi lainnya berhak meminta pertanggung jawaban kepada pemegang kekuasaan negara. Akuntabilitas vertikal ini memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggungjawabkan berbagai kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih tinggi.
2.         Akuntabilitas horizontal yaitu pertanggug jawaban pemegang jabatan publik pada lembaga yang setara seperti Gubernur dengan DPRD tingkat I, DPRD tingkat II dengan Bupati. Setiap anggota DPR harus mampu mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukannya terhadap konsituennya. Demikian pula dengan pejabat publik dalam struktur pemerintahan, harus mampu mempertanggung jawabkan kapabilitas dan loyalitas individualnya baik dalam lingkungan profesi setaranya maupun terhadap atasannya.

i.          Visi Strategi (Strategic Vision)
Yaitu pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang karena perubahan dunia dengan kemjuan teknologinya begitu cepat.  Seseorang yang menempati jabatan publik harus mempunyai kemampuan menganalisa persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya. Dalam tataran nasional, apa yang dihadapi dan di inginkan oleh bangsa pada 20 tahun mendatang misalnya, sudah harus di rumuskan dan disusun dalam rencana –rencana strategis.

C.       Good and Clean Governance dan Kontrol Sosial
Keteribatan masyarakat dalam proses pengelolaan lembaga pemerintahan pada akhirnya akan melahirkan kontrol masyarakat terhadap jalannya pengelolaan lembaga pemerintahan. Kontrol masyarakat akan berdampak pada pemerintahan yang baik dan bersih, bebas dari KKN. Untuk mewujudkan Good and Clean Governance berdasarkan prinsip-prinsip pokoknya, dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program, yaitu :
1.        Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan
Penguatan peran lembaga perwakilan rakyat MPR, DPR dan DPRD mutlak dilakukan dalam rangka peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya pemerintahan.
2.        Kemandirian lembaga peradilan
Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa berdasarkan prinsip Good and Clean Governance peningkatan profesionalitas aparat penegak hukum dan kemandirian lembag aperadilan mutlak dilakukan.
3.        Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah
Perubahan paradigma aparatur negar dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis (pelayanan rakyat) harus dibarengi dengan peningkatan profesionalitas dan integritas moral jajaran birokrasi pemerintah.
4.        Penguatan  lembaga peradilan
Penigkatan partisipasi masyarakat Madani ( civil society ) dalam merealisasikan pemerintahan  yang bersih dan berwibawa. Partisipasi masyarakat sipil dalam proses kebijakan publik mutlak harus dilakukan dan difasilitasi oleh negara ( pemerintah ).
5.        Perangkat kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah
Pengelolaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa dapat dilakukan di semua tingkatan, baik pusat maupun daerah untuk merealisasikan prinsip-prinsip Good and Clean Governance, kebijakan otonomi daerah dapat dijadikan sebagai media transformasi perwujudan model pemerintahan yang menopang tumbuhnya demokrasi di Indonesia.10
Dalam tata pemerintahan yang baru perlu dikembangkan hubungan yang sinergis antara warga negara dengan pemerintah. Hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan warga negara ikut serta dalam perumusan kebijakan dan implementasinya.[10]

D.      Tata Kelola Pemerintahan Yang Bersih (Clean Governance) dan Gerakan Anti KKN
Korupsi adalah suatu permasalahan besar yang merusak keberhasilan pembangunan nasional menjadikan ekonomi berbahaya tinggi, politik yang tidak sehat dan moralitas yang terus menerus melorot.
Beberapa hal yang menjadi akar masalah terjadinya korupsi antara lain :
·          Kemiskinan, kemiskinan telah menjadi sebuah mekanisme yang membuat korupsi menjadi sesuatu yang lumrah. Korupsi dengan latar belakang kemiskinan dapat dikatakan berasal dari kebutuhan.
·          Kekuasaan, hal ini menjadi alasan karena kekuasaan sering membuat orang berlaku semena-mena.
·          Budaya, Prof. Toshiko Kinoshita mengemukakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan sistem keluarga besar atau extended family.
·          Ketidaktahuan, hal ini menjadi alasan karena kadang dana yang diberikan sering kali tidak diketahui peruntukannya dan karena tidak tahu, maka ketika ada masalah, dana tersebut yang dijadikan sebagai korupsi.
·          Rendahnya kualitas moral masyarakat, disebabkan karena kemiskinan dan kualitas pendidikan dari masyarakat tersebut.
·          Lemahnya kelembagaan politik dari suatu negara. Kelembagaan adalah sistem hukum dan penerapannya, lembaga publik yang memang tidak dibentuk untuk siap memberikan insentif yang wajar.
·          Penyakit bersama, dengan cepat korupsi menular dari kawasan ke kawasan yang lain.

Beberapa hal yang diakibatkan dari perilaku korupsi, yaitu :
1.        Tindak korupsi mencerminkan kegagalan mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan pemerintah.
2.        Korupsi mencerminkan kenaikan harga administrasi (pembayar pajak harus ikut menyuap, karena membayar beberapa kali lipat untuk pelayanan yang sama).
3.        Korupsi dalam pemerintahan menurunkan rasa hormat kepada kekuasaan.
4.        Korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar.
5.        Korupsi menimbulkan perkara yang harus dibawa ke pengadilan dan tuduhan-tuduhan palsu yang digunakan pada pejabat yang jujur untuk tujuan pemerasan.
Jeremy Pope menawarkan strategi untuk memberantas korupsi yang mengedepankan kontrol kepada dua unsur paling berperan dalam tindak korupsi, peluang korupsi dan keinginan korupsi. Upaya-upaya penanggulangan korupsi antara lain :
1.        Pejabat negara dan pimpinan lembaga pemerintahan secara proaktif melakukan pencegahan dan pemberantasan perilaku dan tindak pidana korupsi.
2.        Penegakan hukum secara adil.
3.        Membangun lembaga-lembaga yang mendukung upaya pencegahan korupsi.
4.        Memberikan pendidikan anti korupsi, baik formal maupun non formal.
5.        Gerakan religiusitas yaitu gerakan membangun kesadaran keagamaan dan mengembangkan spiritualitas anti korupsi.

E.       Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) dan Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik
Pelayanan umum atau publik adalah pemberian jasa baik oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah ataupun swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat.
Ada beberapa alasan sebagaimana dikemukakan oleh Agus Dwiyanto, mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan dan penerapan Good Governance di Indonesia, yaitu :
1.        Pelayanan publik selama ini menjadi ranah (area) dimana negara yang diwakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga non pemerintah.
2.        Pelayanan publik adalah ranah dimana berbagai aspek Good Governance dapat diartikan dengan mudah.
3.        Pelayanan publik melibatkan kepantingan semua unsur Governance yaitu pemerintah masyarakat dan mekanisme pasar.[11]
Tujuan pembentukan organisasi publik atau birokrasi yaitu untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan dan pelayanan publik, maka kinerja birokrasi tersebut dinyatakan berhasil apabila mampu mewujudkan tujuannya yang dimaksud.
Kinerja birokrasi adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat percapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator sebagai berikut :
1.        Indikator masukan (imputs) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar birokrasi mampu menghasilkan produknya baik barang atau jasa yang meliputi SDM informasi, kebijakan.
2.        Indikator proses yaitu sesuatu yang berkaitan dengan proses pekerjaan berkaitan dengan kesesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik ataupun non fisik.
3.        Indikator keluaran yaitu sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik ataupun non fisik.
4.        Indikator hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).
5.        Indikator manfaat adalah segala sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan.
6.        Indikator dampak yaitu pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja birokrasi antara lain:
1.        Manajement organisasi dalam menerjemahkan dan menyelaraskan tujuan birokrasi
2.        Budaya kerja dan organisasi pada birokrasi
3.        Kualitas sumber daya manusia yang dimiliki birokrasi
4.        Kepemimpinan birokrasi yan efektif
5.        Koordinasi kerja pada birokrasi
Birokrasi publik di Indonesia disinyalir memiliki kualitas SDM yang diragukan untuk dapat berkarya secara optimal, sehingga pelayanan yang diberikan pun tidak akan optimal. SDM sebagai faktor penggerak birokrasi sekaligus sebagai instrumen hidup yang berhubungan dengan tingkat kinerja birokrasi. Oleh karena itu, SDM menjadi unsur penting dalam menyelaraskan semua unit birokrasi yang ada, memperlancar mekanisme kinerja dalam menyatukan tujuan birokrasi secara keseluruhan.




BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Good And Clean Governance adalah segala hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi urusan pulik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Peinsip-prinsip Good and Clean Governance antara lain : partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsif, orientasi kesepakatan, keadilan, efektivitas dan efesiensi, akuntabilitas visi strategis.
Kontrol masyarakat akan berdampak pada pemerintahan yang baik dan efektif. Untuk mewujudkannnya dilakukan melalui prioritas program: penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan, kemandirian lembaga peradilan, profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah, penguatan partisipasi masyarakat madani, peningkatan kesejahteraan rakyat dalam rangka otonomi daerah.
Tiga pilar penting pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan dan penerapan Good and Clean Governance : pelayanan publik menjadi ranah (area) dimana negara yang diwakili publik adalah ranah dimana berbagai aspek goog governance diartikulasikan secara lebih mudah, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance yaitu pemerintah, masyarakat dan mekanisme pasar, dengan demikian pelayanan publik menjadi titik pangkal efektif kerja birokrasi.








DAFTAR PUSTAKA

Azra, Prof. Dr. Azumard, MA. 2003. Demikrasi Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE Syarif Hidayatullah. Ibid.
Bakti, Andi Faisal. 2000. Good Governance a Workable Solution for Indonesia.  Jakarta : IAIN Press.
Billah, MM. 2001. Good Governace dan Kontrol Sosial. Jakarta : Jurnal Prisma.
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta : UGM Press.
Kumorotomo, Wahyu. 1999. Etika Administrasi Negara. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Rozak, Abdul dan Ubaidillah, A. 2006. Demokrasi, HAM, Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE Syarif Hidayatullah.
UNDP. 1997. Reconceptualising Governance, Paper of Management Development and Governance Bureau for Policy and Programme Support. Jakarta.
Ibid.


[1] Andi Faisal Bakti. Good Governance a Workable Solution for Indonesia.  Jakarta : IAIN Press. 2000
[2] UNDP. Reconceptualising Governance, Paper of Management Development and Governance Bureau for Policy and Programme Support. Jakarta. 1997.
[3] Prof. Dr. Azumardi  Azra, MA. Demikrasi Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE Syarif Hidayatullah. 2003
[4] Ibid.
[5] A. Ubaidillah dan Abdul Rozak. Demokrasi, HAM, Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE Syarif Hidayatullah. 2006
[6] Wahyu Kumorotomo. Etika Administrasi Negara. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1999.
[7] Ibid.
[8] A. Ubaidillah dan Abdul Rozak. Demokrasi, HAM, Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE Syarif Hidayatullah. 2006
[9] Ibid.
[10] MM. Billah . Good Governace dan Kontrol Sosial. Jakarta : Jurnal Prisma. 2001.
[11] Agus Dwiyanto. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta : UGM Press. 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar