PENDAHULUAN
Semestinya dalam dua peristiwa
yang penting ini (Ramadhan dan Idul Fitri) kami muslimin dapat secara serempak
memulai puasa dan merayakan Idul Fitri. Namun, kenyataannya kami melihat perbedaan
pendapat dalam hal penetapan masuk dan keluarnya (habis) bulan Ramadhan antara
satu negara dengan negara lain. Bahkan pernah saya jumpai dua negara
bertetangga (sama-sama negara kaum muslim) memiliki selisih selama tiga hari.
Peristiwa serupa terjadi pada
kali lain ketika mengahiri bulan
Ramadhan untuk memulai bulan Syawal dan menetapkan hari raya. Maka sebagian
berhari raya pada suatu hari dan sebagian yang lainnya berhari raya setelah dua
hari.
Maka dari itu, saya telah
membicarakan masalah penetapan masuknya bulan Ramadhan dan 1 Syawal dengan
menggunakan hisab falaki dalam dua buah kitab saya :
1. Fiqhush Shibyan
2. Kaifa Nata’aamalu Ma’a As
Sunnah An Nabawiyah
Semoga dengan dikajinya ilmu
hisab dalam kitab Fiqhush Shibyan dan kitab Kaifa Nata’aamalu Ma’a As Sunnah An
Nabawiyah tersebut bisa membuat umat Islam bersatu dalam menentukan awal
Ramadhan dan awal Syawal (Idul Fitri).
Aamiin ...
PEMBAHASAN
PENGGUNAAN HISAB UNTUK MENETUKAN
1 SYAWAL DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
HISAB
Hisab terbagi menjadi 3 macam :
a.
Hisab Urfi
b.
Hisab Taqribi
c.
Hisab Haqiqi
A. Hisab Urfi
Hisab urfi : kebiasaan atau
kelaziman.[1]
Hisab urfi artinya hisab
yang melandasi perhitungannya dengan kaidah-kaidah sederhana. Hisab urfi ini
telah digunakan sejak zaman khalifah kedua, (Umar bin Khattab r.a) tahun 17 H. Perhitungannya dengan bulan islamiyah
berdasarkan umur rata-rata bulan sehingga umur bulan dalam setahun qomariyah
berfariatif diantara 29 dan 30 hari.
Pada sistem hisab urfi ini,
bulan yang bernominal ganjil dimulai dari bulan Muharram berjumlah 30 hari
sedangkan bulan yang bernominal genap dimulai dari bulan Syawal berjumlah 29
hari.
Khusus kalua
bulan Dzulhijjah ( bulan ke 12 ) pada tahun kabisat berjumlah 30 hari.
Dalam hisab usfi ini punya
siklus 30 tahun ( 1 daur ) yang di dalamnya terdapat 11 tahun yang disebut
tahun kabisat (panjang) memiliki 355 hari pertahunnya dan 19 tahun yang disebut
tahun basithah (pendek) memilik 354 hari pertahunnya.
Menurut hisab urfi kalau dihitung rata-rata umur bulan (bulan
sinodis/lunasi) adalah (11 X 355 hari) + (19 X 354 hari) : (12 X 30 tahun) = 29
hari 12 jam 44 menit (menurut hitungan astronomis: 29 hari 12 jam 44 menit 2,88
detik ). Sistem hisab urfi ini
tidak dapat dijadikan acuan untuk penentuan awal bulan yang berkaitan dengan
ibadah misalnya :
1.
Bulan Ramadhan
2.
Bulan Syawal
3. Bulan Dzulhijjah.
B. Hisab Taqribi
Hisab
taqribi berarti dari “Taqrobu”
berarti berdekatan atau aprokmasi. Hisab taqribi adalah sistem hisab yang sudah
menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematis, namun masih menggunakan
rumus-rumus sederhana sehingga hasilnya kurang teliti.
System
hisab ini merupakan warisan dari para Ilmuan Falaq Islam masa lalu dan hingga
sekarang system hisab ini menjadi acuan pembelajaran hisab di berbagai
pesantren di Indonesia.
Hasil
hisab Taqribi akan mudah dikenali pada saat penentuan ijtima dan tinggi hilal
menjelang tanggal satu bulan qomariah, yaitu terlihatnya selisih yang cukup
besar apabila dibandingkan dengan perhitungan astronomis modern.
Kitab-kitab
ilmu falaq di Indonesia yang termasuk kategori hisab taqribi ini adalah Sullam An-Nayiroin, Ittifadzatilal-Banin, Fathul
Ar-rufdiul mannan, Al-qiwaid Al-falaqiyah.
C.
Hisab Haqiqi
Hisab Haqiqi
yaitu perhitungan posisi benda-benda langit serta memperhatikan hal-hal yang
terkait di dalamnya. Hisab haqiqi sering juga disebut Hisab yang sebenarnya,
yaitu hisab yang ditentukan berdasarkan waktu peredaran bulan mengelilingi bumi
yang sebenarnya. Umur bulan menurut hisab haqiqi ini tidak dapat dipatokkan,
bahkan bisa terjadi umur/jumlah hari pada suatu bulan ganjil dan bulan genap
adalah 29 atau 30 hari secara berurutan. Sistem hisab haqiqi ini sudah mulai
menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematis serta rumus-rumus terbaru
dilengkapi dengan data-data astronomis terbaru sehingga memiliki tingkat
ketelitian yang amat akurat.
Hisab haqiqi ini banyak diterima dan dipakai oleh kaum
Muslimin, tidak hanya untuk menghisab Hilal tetapi juga menghisab hal-hal
lainnya seperti menghisab jadwal shalat 5 waktu.
Hisab Haqiqi terbagi menjadi 2 macam :
(1)
Hisab Wujudul Hilal
(2)
Hisab Imkanur Rukyah
1. Hisab Wujudul Hilal[2]
Wujudul Hilal
adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua
prinsip:
(1)
Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum
Matahari terbenam (ijtima’ qablal
ghurub)
(2)
Bulan terbenam setelah Matahari terbenam
(moonset after sunset)
Pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal
bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) bulan saat Matahari terbenam.
Hisab Wujudul
Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin
dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul
Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus
bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum.
Hisab Wujudul Hilal ini sebenarnya merupakan bagian
dari apa yang disebut sebagai Rukyat Bil Ilmi, yaitu meru’yat dengan
menggunakan ilmu sebagai alat untuk melihat hilal.[3]
2.
Hisab Imkanur Rukyat
Awal bulan
qamariah, menurut hisab imkanur-rukyat, dimulai pada saat terbenam Matahari
setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah memenuhi syarat untuk
memungkinkan dapat dilihat. Untuk menentukan masuknya awal bulan qamariah
menurut aliran ini adalah terlebih dahulu ditetapkan suatu kaidah mengenai
posisi hilal dengan segala persyaratan yang telah ditetapkan, sehingga pada
saat atau beberapa saat setelah terbenam Matahari sesudah ijtima’ orang mungkin
dapat melihat hilal tersebut.
Selain jenis hisab tersebut di atas,ada juga “perhitungan melalui purnama”,[4] sebagai
patokan pada posisi sempurna bulan purnama. Dengan syarat bisa dilihat lewat
situs-situs. Setelah wujud purnama mencapai tingkat 100% , maka kemudian
dihitung mundur sebanyak 15 hari kebelakang untuk menentukan hilal.
Pakar astronomi LAPAN, Prof. Thomas Djamaluddin
mengatakan bahwa awal bulan mestinya didasarkan pada fenomena yang ada batas
awalnya. Hilal ada batas awalnya, karena hari sebelumnya tidak tampak, kemudian
tampak sebagai tanda awal bulan. Tampak bisa dalam arti fisik, terlihat, atau tampak
berdasarkan kriteria visibilitasnya. Purnama sulit menentukan batas awalnya.
Dari segi ketampakan, bulan tanggal 14 dan 15 hampir sama bentuknya, sama-sama
bulat.[5]
Peneliti pada Obsevatorium Bosscha, Moedji Raharto. Ia menegaskan :
purnama tak menunjukkan apa pun kecuali posisi bulan tersebut. Pada saat itu,
bujur ekliptika bulan dan matahari sudah mencapai 180 derajat. Kondisi itu pun
tak bisa dijadikan landasan menentukan awal bulan Hijriah. Pasalnya, dalam
perumusan kalender Hijriah, posisi hilal bisa lebih tua dari waktu konjungsi.
Bisa 20 hingga 26 jam bahkan ada yang mencapai 48 jam.
Imkanur Ru’yah dengan kriteria :
(1) irtifa minimal 5 derajat,
(2) sudut elongasi minimal 8
derajat.
Kriteria ini ditetapkan sebagai kesepakatan Istambul oleh beberapa ahli hisab pada
saat terjadinya konferensi kalender Islam di Turki pada tahun 1978.
Banyak ulama yang tetap ngotot untuk melihat hilal
dengan mata telanjang berdasarkan hadits berikut :
“Berpuasalah kalian jika melihat hilal dan berbukalah
kalian di saat melihat hilal. Dan jika hilal itu tertutup debu dari penglihatan
kalian maka sempurnakanlah bulan Sya’ban itu tiga puluh hari”. (HR. Bukhari dan Abu Hurairah)[6]
Hadits diatas jelas menunjukkan bahwa pada waktu itu
ilmu perhitungan (falak/hisab) untuk menentukan penampakan hilal belum begitu
maju. Ini sangat kelihatan dari kalimat terakhir yang mengatakan “Dan jika hilal itu tertutup debu…” artinya jika mata kita terganggu oleh “hanya
adanya debu”, maka untuk menentukan bulan baru harus
digenapkan menjadi 30 hari.
Hal tsb semakin jelas ketika Rasulullah mengatakan:
”Sesungguhnya umatku adalah umat yang
ummi. tidak dapat membaca, dan tidak dapat berhitung,
bulan itu sekian dan sekian (yakni kadang-kadang berumur 29 hari dan
kadang-kadang berumur 30 hari)” (H.R. Imam Bukhari, Muslim, Abu
Dawud dan Nasai)
“Sesungguhya kami adalah umat yang
ummi tidak menulis dan tidak
menghitung bulan itu
seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada
ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni
sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Umar)
Maka dari itu, dalam hadits lain dikatakan :
“Sesungguhnya satu bulan itu ada 29
hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihatnya (hilal). Dan jika
hilal itu tertutup awan atau mendung dari (penglihatan) kalian, maka
perkirakanlah.” (HR. Bukhari)
Hadits diatas menyiratkan bahwa pada waktu itu ilmu
hisab sudah cukup mumpuni. Ini terlihat dari kalimat terakhir, maka perkirakanlah ia. Diperkirakan pakai
apa? Apakah dengan memakai teleskop? Jelas tidak mungkin, karena pada saat itu,
alat semacam ini belum ada. Apakah pakai insting atau ilmu raba-raba dengan
bantuan paranormal? Jelas mustahil, karena Rasulullah tidak suka dengan hal-hal
yang demikian! Maka alasan paling logis dan memungkinkan adalah dengan memakai
perhitungan (hisab). Jadi untuk melihat bulan baru (hilal) dalam keadaan cuaca
yang kurang baik, maka Rasulullah menyuruh kita untuk memperkirakannya dengan
melakukan hisab.
Hal ini semakin jelas ketika Rasulullah bersabda,:
“Jika kalian melihat Hilal, maka
shaumlah kalian. Dan jika kalian melihat Hilal (Syawwal), maka berbukalah
kalian. Jika awan menyelimuti kalian, maka hendaklah kalian menghitungnya!.”
Dari pemaparan diatas, kita dapat memetik hikmah bahwa
dalam menentukan 1 Syawal kita harus menggunakan hasil pemikiran dan sumber
daya terbaik yang kita miliki.
Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa menghendaki kebahagiaan
di dunia maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek), dan Barangsiapa
menghendaki kebahagiaan di akhirat maka raihlah dengan ilmu pengetahuan
(iptek), dan barangsiapa menghendaki kebahagiaan kedua-duanya (dunia-akkhirat)
maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek).”
Menurut pendapat saya, saya sepakat bahwa untuk menentukan
hilal adalah dengan hisab, dan pendapat ini tidak bid’ah serta sesuai dengan
hadits-hadits di atas dan diperbolehkannya. Maka dengan adanya ilmu hisab, jadwal shalat bisa
dibuat dengan suatu metode hisab tertentu untuk seluruh tempat di dunia yang
selanjutnya bisa digunakan tanpa harus melihat posisi matahari lagi.
Nah, bahwa
saat ini sudah jelas bahwa menurut
ketarangan di atas : “cara
terbaik adalah dengan menggunakan metode hisab haqiqi wujudul hilal”.
Akan tetapi
yang dijadikan acuan oleh Pemerintah RI (yang diwakili oleh Menteri
Agama) dalam Sidang Isbat adalah “hisab imkanur rukyat”. Menurut pendapat saya, hal
ini tidak perlu dipermasalahkan, sebab kita sebagai umat diantara kewajiban
kita adalah Pemerintah
adalah Ulil Amri, selagi dalam hal yang baik dan saya percaya Insya Allah
pemerintah yang didampingi Menteri Agama maka dalam menentukan sesuatu tidak asal-asal saja atau sewenang-wenang.
Dengan
kemajuan teknologi dan ilmu hisab saat ini, para ilmuwan bisa mengkalkulasikan
posisi matahari dengan tepat, presisi dan akurasinya. Kemudian, dibuatlah
jadwal shalat yang semua itu berdasarkan perhitungan (hisab). Bahkan tidak lagi kita temui perbedaan yang
mencolok antara Muhammadiyah, NU, maupun ormas lain. Semua sepakat menggunakan
waktu berdasarkan perhitungan tadi.
Hisab
secara harfiah “perhitungan”. Dalam dunia Islam istilah
hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan bulan
terhadap bumi. Posisi Matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat
Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan
diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode
bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan
awal Ramadhan
saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah
saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha
(10 Dzulhijjah).
Dalam
Al-Qur'an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Tuhan memang
sengaja menjadikan Matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan
perhitungan lainnya.[7] Juga
dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa Matahari
dan bulan beredar menurut perhitungan.
Karena
ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit
(khususnya Matahari dan bulan) maka sejak awal peradaban Islam menaruh
perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim ternama yang telah mengembangkan
metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi,
Al Batani, dan Habash.
Dewasa
ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi
yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada.
Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab
adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat Matahari, bulan, dan bumi berada
dalam posisi sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi
geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan
berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi
29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.
Tiga Cara
Penetapan Masuknya Ramadhan Dan Idul Fitri
Metode pertama : melihat bulan
Para fuqaha berbeda pendapat :
cukup dengan penglihatan yang adil, dua orang yang adil atau hasil penglihatan
orang banyak.
Metode kedua : dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban
menjadi tiga puluh hari.
Metode ketiga : memperkirakan terbitnya hilal ketika langit
mendung atau tertutup awan.
Rasulullah pernah tidak
mengisyaratkan kata menggunakan hisab hanya mengunakan rukyat dikarenakan :
1.
waktu itu umat belum bisa menulis dan menghisab, dan tentu waktu itu sunah
tidak melarangnya.
2.
Sunah mengisyaratkannya karena waktu mendung.
Menurut keterangan lain mengatakan bahwa hisab falaqi yang qoth’i bisa
untuk mempersempit perbedaan yang biasa terjadi setiap tahun dalam memulai
puasa dan Idul Fitri yang selisihnya mencapai 3 hari antara satu negara dengan
negara lain.
Menurut keadaan sekarang yang semakin canggih teknologi, maka hisab bisa
digunakan untuk menentukan awal Ramadhan maupun awal Idul Fitri.
Setelah penggunaan hisab dikuatkan waktu posisi bulan negatif (di bawah
ufuk pada waktu terbenam matahari) bukan positif (di atas ufuk pada waktu
terbenam matahari), maka perlu kita sepakati tiga hal :
1.
Dalam hal yang berhubungan dengan penetapan masuknya bulan Ramadhan /
Syawal.
2.
Kekhilafan pada masalah-masalah seperti ini dimaafkan.
3.
Berusaha untuk mempersatukan kaum muslimin mengenai pelaksanaan Ramadhan
dan hari raya.[8]
Golongan yang berpendapat
bolehnya kesaksian seseorang yang adil, berdalil Ibnu Umar, Dia berkata :
تَرَائَ النَّاسُ الْهَلاَلَ فَأَخْبَرْتُ النَّبِيِّ صّلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمّ أّنِّيْ رَاّيْتُهَ, فَصّامَ رَسُوْلَ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمّ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ (رواه ابو داود والدارقطنى)
“Orang-orang sama melihat bulan,
lalu aku kabarkan kepada Rasulullah SAW. Bahwasanya aku melihatnya, maka
berpuasalah beliau dan menyuruh orang berpuasa juga”.
Sedangkan Islam yang
mengisyaratkan dengan dua orang adil berdalil hadits riwayat Al Husein bin
Harits Al Jadali : Amir Makkah, Al
Harits bin Hathib, pernah berkhutbah kepada kami :
اَمَرَنَا
رَسُوْلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمّ اَنْ
نَنْسُكَ لِرُؤْيَتِهِ, فَإِنْ لَمْ نَرَهُ فَشَهِدَ شَاهِدَانِ عَدْلاَنِ
نَسَكْنَا بِشَهَادَتَيْهِمَا (رواه ابو داود)
“Rasulullah SAW pernah menuruh
kami beribadah (puasa) karena telah melihat beliau, tetapi jika kami tidak
melihatnya, sedangkan ada dua orang saksi adil yang menyaksikan bulan tersebut.
Kami pun beribadah (puasa) lantaran kesaksian dua orang saksi tersebut. [9]
Adapun yang mengisyaratkan
saksi harus banyak adalah golongan Hanafi, bila langit cerah.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/11/cara-tepat-menetapkan-1-syawal-idul-adha/
3. http://kesehatan.kompasiana.com/alternatif/2011/09/04/memperkirakan-pergerakan-bulan-dalam-perjam/
4. http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat
5.
Ruskanda, Farid. 1995 : 17
6.
Sullam An Nayiroin, Ittijadyatital Banin,
Fathul Ar Sujduil Manan, Al Quwaid Al Falaqiyah
7.
Pakar astronomi LAPAN, Prof. Thomas
Djamaluddin
8.
Observatarium Boscha, Maedji Raharto
9.
Hadits Riwayat :
a.
Abu Daud dan Darul Quthni
b.
Abu Daud
10. Tafsir Al Qur’an :
- QS. Yunus : 5
- QS. Ar Rahman : 5
BIODATA
Nama :
Zuhriyah, A. Ma
NIM :
2021310112
NIP :
196205121982012008
Alamat dulu / kecil : Setono Gg. VII Pekalongan Timur
Alamat sekarang :
Warungasem Gg. 1 Batang
Pekerjaan :
Guru Pendidikan Agama Islam
Alamat Pekerjaan :
SDN Duwet Pekalongan Selatan
Sebelumnya :
SDN Kertoharjo 02, SDN Degayu 01 membantu mengajar :
Nahwu / Sharaf / Aqidah Akhlak di Majelis Ta’lim Setono (Pengasuh : KH.
Sanusi Nor Salim)
Pendidikan :
1. SDI Setono 02 Lulus Tahun 1974
2. SMP Salafiyah Kauman
Pekalongan Lulus Tahun 1977
3. PGAN Pekalongan Lulus Tahun
1981
4. D. II IAIN Walisongo
Semarang Lulus Tahun 1995
5. S. I Tarbiyah STAIN
Pekalongan Baru Semester VIII
Suami :
Khaerun
Pekerjaan :
Wiraswasta
Anak :
1. Umi Masruroh : STAIN Pekalongan baru Semester IV
(Syari’ah / hukum)
2. Rosyidah Hastuti : STAIN Pekalongan baru Semester II
(Syari’ah)
Keduanya mengambil S. I
3. Dewi Khafsah Setyawati : SDLB Pekalongan
4. Siti ‘Aisyah Sulistyawati
(Almh) (anak kembar dengan Dewi Khafsah Setyawati)
Mohon maaf bila Bapak Ali Trigiatno, M. Ag tidak
keberatan, mohon salam kepada Bapak H. Sudaryo Elkamali karena beliau dulu di
SMP Salafiyah telah memberi bekal ilmu kepada saya sehingga saya sekarang
menjadi Guru PAI dan mohon do’a restunya dari beliau.
[1]http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/11/cara-tepat-menetapkan-1-syawal-idul-adha/
[5]
Pakar astronomi LAPAN, Prof. Thomas Djamaluddin
[6]
HR. Bukhari dan Abu Hurairah
[8]
Maksudnya tidak boleh mengingkari
hasil-hasil ijtihad dalam masalah-masalah ijtihadiyah.
[9]
HR. Abu Dawud dan beliau tidak
mengomentarinya. Demikian pula Al Mundhori perawi-perawinya shohih, kecuali
Husein bin Harits, sedangkan Dia itu sangat jujur. Disaksikan juga oleh Abdarul
Quthni dalam Nailul Authar 4 : 261. terbitan Darul Jalil Bairut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar