BAB
I
PENDAHULUAN
Arti memimpin adalah bagaimana bisa menggerakkan orang menuju tujuan
organisasi. Pentingnya pemimpin sudah tidak diragukan lagi kebutuhannya. Secara syar’i dan sosial adanya
pemimpin sangat penting untuk keberlangsungan suatu lembaga, komunitas,
masyarakat, bangsa dan negara.
Memimpin adalah seni. Banyak orang yang berkata seperti itu. Dan banyak
definisi berkaitan dengan itu. Sehingga teori tentang kepemimpinan banyak
sekali. Tinggal memilih yang mana. Hanya saja disini akan dikemukakan tiga alat
pendekatan dalam memimpin yang bisa ditemui dalam keseharian kita.
Uang sebagai alat tukar banyak sekali fungsinya. Diantaranya untuk
membeli barang kebutuhan. Juga bisa digunakan untuk membeli kekuasaan dan
jabatan. Memang benar dengan uang bisa memiliki segala sesuatu. Sehingga ada
anekdot uanglah yang berkuasa. Strategi apapun bisa buyar bila uang sudah
berbicara. Namun uang sifatnya temporer. Dalam arti jangka waktunya tidak lama.
Memang ada orang yang loyal selama masih ada uang. Jadi kepemimpinan atau
jabatan berhasil karena uang tidak bisa bertahan lama. Dan semakin butuh banyak
modal pada periode berikutnya. Ada pilihan lain yakni memimpin dengan hati.
Pemimpin dalam menjalankan tugasnya disamping terikat dengan aturan birokrasi
yang ada tetap bisa mencurahkan kasih sayang kepada anak buahnya, menjalin
persaudaraan, melapangkan hatinya, diberi penghargaan, ditempatkan pada posisi
terhormat sehingga bisa berkarya dengan maksimal, bila sudah waktunya naik
pangkat dipermudah tentu saja sesuai dengan peraturan, bila ada kesulitan
empati untuk bisa membantu memecahkan. Suasana seperti ini sangat kondusif
untuk berkembang. Hanya saja untuk mencari pemimpin tipe terakhir ini yang bisa
dibilang sulit. Ada 1000 pemimpin, yang bertipe seperti ini mungkin satu atau
bahkan tidak ada. Namun tidak berarti tidak ada. Karena kalau melihat jumlah
penduduk di negeri kita yang berlimpah pastilah banyak yang ingin memajukan
lembaga pendidikan kita. Apalagi secara kualitas SDM banyak sekali generasi
muda yang sudah menyiapkan diri untuk hal tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
Hadits Tentang Pentingnya Pemimpin
Pengertian
Pemimpin
Di dalam konsep (manhaj) Islam,
pemimpin merupakan hal yang sangat final
dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam
bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjamaah, pemimpin ibarat
kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki perananyang strategis dalam
pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah).
Kecakapannya dalam memimpin akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin
dicapai, yaitu kejayaan dan kesejahteraan ummat dengan iringan ridho Allah (Qs. 2 : 207).
Kepemimpinan dalam islam berarti al-imamah, ar-roisah dan al- imaroh. Al imamah
asalkatanyaImam, ar-riasah berasal dari kata rois, al-imaroh berasal dari
kalimat amir. Semuanya bermakna pemimpin yang membedakan adalah dalam
penggunaannya. Ar-riasah digunakan dalam kepemimpinan apa saja seperti pemimpin
yayasan, pesantren atau lembaga. Sedangkan, alimamah hanya digunakan untuk
Negara, seperti kepemimpinan Negara, kerajaan oleh karena ituada Negara yang
disebut emirat yang dipimpin oleh amir-amir. Oleh karena itu pemimpin dalam
Islam dikenal dengan amir dan imam. Adapun imamah jarang sekali digunakaan.[1]
Pada hakikatnya setiap manusia adalah seorang pemimpin dan setiap orang
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Manusia sebagai pemimpin
minimal harus mampu memimpin dirinya sendiri. Kepemimpinan dapat terjadi
melalui dua bentuk, yaitu: kepemimpinan formal (formal leadership) dan
kepemimpinan informal (informal leadership). Kepemimpinan formal terjadi
apabila dilingkungan organisasi jabatan otoritas formal dalam organisasi
tersebut diisi oleh orang-orang yang ditunjuk atau dipilih melalui proses
seleksi, sedang kepemimpinan informal terjadi, di mana kedudukan pemimpin dalam
suatu organisasi diisi oleh orang-orang yang muncul dan berpengaruh terhadap
orang lain karena kecakapan khusus atau berbagai sumber yang dimilikinya
dirasakan mampu memecahkan persoalan organisasi serta memenuhi kebutuhan dari
anggota organisasi yang bersangkutan.
Dari beberapa teori yang ada
Stogdill menghimpun sebelas definisi kepemimpinan, yaitu kepemimpinan sebagai pusat proses
kelompok, kepribadian yang berakibat, seni menciptakan kesepakatan, kemampuan
mempengaruhi, tindakan perilaku, suatu bentuk bujukan, suatu hubungan
kekuasaan, sarana pencapaian tujuan, hasil interaksi, pemisahan peranan dan
awal struktur.[2]
Tanggung
jawab seorang pemimpin
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar
rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta
pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan
ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah
tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang
pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya
juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan
akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya.
(buchary, muslim)
Penjelasan:
Pada
dasarnya, hadis di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam Islam. Dalam hadis ini dijelaskan
bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang
yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai
pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap
dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak
bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada
pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang
presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya,
dst.
Akan
tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas
lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan
lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya
seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin.
Karena kata ra ‘a sendiri
secara bahasa bermakna gembala dan kata ra-‘in
berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat, memberi makan dan
mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, seorang penggembala
bertanggung jawab untuk mensejahterakan binatang gembalanya.[3]
Kewajiban
Pemimpin
Salah satu hadis
Rasulullah yang driwayatkan oleh al-Bukhari dari Abdullah ibn Umar, yaitu:[4]
عن عبد الله بن عمر رضي
الله عنهما: أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: ألا كلكم راع وكلكم مسؤول عن
رعيته فالإمام الاعظم الذي على الناس راع وهو مسؤول عن رعيته والرجل راع على أهل
بيته وهو مسؤول عن رعيته والمرأة راعية على أهل بيت زوجها وولده وهي مسؤولة عنهم
وعبد الرجل راع على مال سيده وهو مسؤول عنه ألا فكلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته
"……
Abdullah bin Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda,
“Ketahuilah: kalian semua adalah pemimpin (pemelihara) dan bertanggung jawab
terhadap rakyatnya. Pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya tentang rakyat
yang dipimmpinnya. Suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai
pertanggungjawabannya tentang keluarga yang dipimpinnya. Isteri adalah
pemelihara rumah suami dan anak-anaknya. Budak adalah pemelihara harta tuannya
dan ia bertanggung jawab mengenai hal itu. Maka camkanlah bahwa kalian semua
adalah pemimpin dan akan dituntut (diminta pertanggungjawaban) tentang hal yang
dipimpinnya”[5]
Kewajiban pemimpin kepada pengikut : [6]
1.
Menyampaikan amanat dengan adil :
Bersabda Nabi
saw. : Tujuh macam orang yang bakal dinaungi Allah di bawah naungan-Nya, pada
hari tiada naungan kecuali naungan Allah; (1) Pemimpin (raja) yang adil. (2)
Pemuda yang rajin dalam ibadat kepada Allah. (3) Seorang yang selalu gandrung
hatinya pada masjid. (4) Dua orang yang kasih sayang karena Allah, baik di
waktu berkumpul atau berpisah. (5) Seorang lelaki yang diajak berzina oleh
wanita bangsawan cantik kemudian ia berkata: Saya takut kepada Allah. (6)
Seorang bersedekah dengan diam-diam sehingga tangan yang sebelah kanan tidak
tahu apa yang disedekahkan oleh tangan sebelah kirinya. (7) Seorang yang ingat
(berdzikir) pada Allah dengan sendirian, maka mencucurkan air mata. (HR.
Bukhari, Muslim)
2.
Menunjukkan ummatnya pada segala kebaikan yang ia ketahui dan memperingatkan
mereka dari bahaya yang ia ketahui.
“Tiada seorang Nabi sebelumku melainkan ia
berkewajiban menunjukkan ummatnya pada segala kebaikan yang ia ketahui dan
memperingatkan mereka dari bahaya yang ia ketahui.” (HR. Muslim)
3. Tugas
utama seorang pemimpin :
·
Sebagai penengah
·
Sebagai pengawas
·
Sebagai koordinator
·
Sebagai pengambil kebijakan
·
Sebagai penanggung jawab
·
Sebagai motivator
Fungsi
Pemimpin[7]
Fungsi pokok
pimpinan adalah:
·
Memberikan kerangka pokok yang jelas
yang dapat dijadikan pegangan oleh anggotanya.
·
Mengawasi, mengendalikan dan menyalurkan perilaku anggota yang dipimpin
·
Bertindak sebagai wakil kelompok dalam berhubungan dengan dunia luar
Fungsi kepemimpinan itu pada pokoknya adalah menjalankan wewenang kepemimpinan, yaitu menyediakan suatu sistem komunikasi, memelihara kesediaan bekerja sama dan menjamin kelancaran serta keutuhan organisasi atau perusahaan.
Fungsi kepemimpinan itu pada pokoknya adalah menjalankan wewenang kepemimpinan, yaitu menyediakan suatu sistem komunikasi, memelihara kesediaan bekerja sama dan menjamin kelancaran serta keutuhan organisasi atau perusahaan.
Fungsi-fungsi
kepemimpinan meliputi kegiatan dan tindakan sebagai berikut:
1.
Pengambilan keputusan
2.
Pengembangan imajinasi
3.
Pendelegasian wewenang kepada bawahan
4.
Pengembangan kesetiaan para bawahan
5.
Pemrakarsaan, penggiatan dan pengendalian
rencana-rencana
6.
Pemanfaatan sumber daya manusia dan
sumber-sumber lainnya
7.
Pelaksanaan keputusan dan pemberian dorongan
kepada para pelaksana
8.
Pelaksanaan kontrol dan perbaikan
kesalahan-kesalahan
9.
Pemberian tanda penghargaan kepada
bawahan yang berprestasi
10.
Pertanggungjawaban semua tindakan
II. Taat Kepada
Pemimpin
1205
حَدِيْثُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا،
عَنِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، قَالَ: اَلسَّمْعُ وَ الطَّاعَةُ
عَلَى الْمَرْاِ الْمُسْلِمِ فيما أحب و كره، مالم يؤمر بمعصية، فإذا أمر بمعصية
فلا سمع و لا طاعة.أخرجه البخاري)
Artinya:
Abdullah bin Umar ra berkata: Nabi saw bersabda: mendengar
dan taat itu wajib bagi seorang dalam apa yang ia suka atau benci, selama ia
tidak diperintah berbuat maksiat, maka jika diperintah maksiat maka tidak wajib
mendengar dan tidak wajib taat (Bukhari, Muslim)
1206 حَدِيْثُ عَلِيٍّ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ، قَالَ: بَعَثَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَرِيَّةً
وَ أَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلاً مِنَ اْلأَنْصَارِ وَ أَمَرَهُمْ أَنْ
يُطِيْعُوْهُ. فَغَضَبَ عَلَيْهِمْ، وَ قَالَ: أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَ النَّبِي
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ تَطِيْعُوْنِي؟ قَالُوْا: بَلَى. قَالَ:
عَزَمْتَ عَلَيْكُمْ لَمَا جَمَعْتُمْ حَطَبًا وَ أَوْقَدْتُمْ نَارًا ثُمَّ
دَخَلْتُمْ فِيْهَا. فَجَمَعُوْا حَطَبًا، فَأَوْقَدُوْا. فَلَمَّا هَمُّوْا
باِلدُّخُوْلِ، فَقَامَ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ، قَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّمَا
تَبِعْنَا النَّبِي صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِرَارًا مِنَ النَّارِ،
أَفَنَدْخُلُهَا؟ فَبَيْنَمَا هُمْ كَذلِكَ اِذْ خَمَدَتِ النَّارِ، وَ سَكَنَ
غَضْبُهُ. فَذُكِرَ لِلنَّبِي صلي الله عليه سلم فَقَالَ: لَوْ دَخَلُوْهَا مَا
خَرَجُوْا مِنْهَا أَبَدًا، إِنَّمَا الطّاَعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ. (أخرجه
البخاري)
Artinya:
Ali ra berkata: Rasulullah saw mengirim pasukan dan
diserahkan pimpinannya kepada sekorang sahabat Anshar, tiba-tiba ia marah
kepada mereka dan berkata: Tidakkah Nabi saw telah menyuruh kalian menurut
kepadaku? Jawab mereka Benar. Kini aku perintahkan kalian supaya mengumpulkan
kayu dan menyalakan api kemudian kalian masuk ke dalamnya. Maka mereka
mengumpulkan kayu dan menyalakan api, dan ketika akan masuk ke dalam api satu
sama lain pandang memandang dan berkata: Kami mengikuti Nabi saw, hanya karena
takut kepada api, apakah kami akan memasukinya. Kemudian tidak lama padamlah
api dan reda juga marah pemimpin itu, kemudian kejadian itu diberitakan kepada
Nabi saw maka sabda Nabi saw: Andaikan mereka masuk api itu niscaya tidak akan
keluar selamanya. Sesungguhnya wajib taat hanya dalam kebaikan (Bukhari Muslim)
1207 حَدِيْثُ عُبَادَةَ بْنِ
الصَّامَنِ، عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ، قَالَ: دَخَلْنَا عَلَى
عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيْضٌ، قُلْنَا: أَصْلَحَكَ الله، حَدِّثْ
بِحَدِيْثٍ يَنْفَعُكَ اللهُ بِهِ، سَمِعْتَهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمْ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا، أَنْ
بَايَعَنَا عَلىَ السَّمْعِ وَ الطَّاعَةَ فِيْ مَنْشَطِنَا وَ مَكْرَهِنَا وَ
عُسْرِناَ وَ يُسْرِنَا وَ أَثْرَةٍ صَلَيْنَا، وَ أَنْ لاَ نُنَارِعَ اْلأَمْرِ
أَهْلَهُ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيهِ
بُرْهَانً. (أخرجه البخاري)
Artinya:
Junadah bin Abi Umayyah berkata: Kami masuk kepada Ubadah
Abi Ash Shamit ketika ia saki, maka kami berkata: Semoga Allah menyembuhkan
engkau, ceritakan kepada kami hadits yang mungkin berguna yang pernah engkau
mendengarnya dari Nabi saw. Maka berkata Ubadah: Nabi saw memanggil kami, maka
kami berbaiat kepadanya, dan diantara yang kami baiat itu: Harus mendengar dan
taat di dalam suka, duka, ringan dan berat, sukar dan mudah atau bersaiangan
(monopoli kekuasaan) dan supaya kami tidak menentang suatu urusan dari yang
berhak kecuali jika melihat kekafiran terang-terangan ada bukti nyata dari
ajaran Allah (Bukhari Muslim).[8]
KEWAJIBAN TAAT
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْع وَلَا طَاعَةَ
Artinya: Dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW bersabda:”
Atas setiap muslim harus mendengar dan taat terhadap sesuatu yang ia cintai
atau benci, kecuali jika diperintah berbuat maksiat. Jika diperintah bermaksiat
maka tidak ada mendengar dan taat”(Muttafaqun alaihi)
عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ
زَبِيبَةٌ
Artinya: Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda:”
Dengar dan taatlah kalian walaupun dipimpin oleh seorang budak Habsyi dan
kepalanya seperti buah anggur kering” (HR Bukhari)
Dari Abu Hurairah ra berkata:Rasulullah saw bersabda:” Hendaknya kamu mendengar dan taat pada saat engkau
susah dan mudah, ketika engkau semangat atau tidak suka atau dalam keadaan
punya kepentingan sendiri” (HR Muslim). Hadits-hadits yang membahas tentang
taat itu banyak sekali dan begitu juga yang disebutkan dalam Al-Qur’an juga
banyak diantaranya;
Allah Swt berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya .
LANDASAN
HUKUM TAAT KEPADA PEMIMPIN
Sesuai dengan nash yang telah dikemukakan diatas baik
dari Al-Qur’an maupun sunnah, menyimpulkan bahwa Islam mewajibkan taat umat
Islam untuk taat kepada pemimpin dan haram bagi umat Islam menyimpang dari
ketaatan kepada pemimpin Islam. Nash lain yang mendukung perintah taat dan
larangan menyimpang adalah:
Rasulullah saw bersabda: Dari Abu Hunaidah Wa’il bin Hajar ra berkata: Salamah
bin Yazid Aj-Ja’fi bertanya pada Rasulullah saw dan berkata:” Wahai nabi Allah
bagaimana pendapatmu jika pemimpin kami meminta kepada kami hak mereka dan
tidak melaksanakan haknya (kewajibannya)?”. Rasulullah saw berpaling darinya,
tetapi ia bertanya lagi, maka Rasulullah saw menjawab:” dengar dan taatilah
(pemimpin tersebut) karena sesungguhnya mereka akan menanggung beban
tanggung-jawab yang harus dilaksanakannya dan kamu juga akan bertanggung-jawab
terhadap yang kamu perbuat“ (HR
Muslim)
III. Jabatan Adalah Amanah
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ
بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي
أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ
حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ الْأَكْبَرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Abu dzar berkata : ya rasulallah tidakkah kau memberi
jabatan apa-apa kepadaku? Maka rasulullah memukul bahuku sambil berkata : hai
abu dzar kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai amanat yang pada
hari qiyamat hanya akan menjadi kemenyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang
yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya, dan memenuhi tanggung jawabnya.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ
حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ
بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ
الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ الْأَكْبَرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Abu hurairah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda :
kamu akan berebut pemerintahan, dan akan menjadi kemenyasalan pada hari
qiyamat. (buchary)
Penjelasan:
Hadis
ini tidak jauh berbeda dengan hadis sebelumnya di atas. Bila hadis sebelumnya
melarang kita agar tidak berambisi untuk meraih jabatan, maka hadis ini lebih
menekankan betapa beratnya amanat dalam sebuah jabatan. Dan saking
beratnya hingga rasul s.a.w mengatakan bahwa kelak di hari qiamat kita
merasakan penyesalan yang begitu dahsyat karena kita telah bersedia mengemban
amanat itu. Janganlah kita mengira bahwa menjadi seorang peimimpin dengan
sendirinya akan bergelimang harta dan kehormatan. Padahal, harta dan
kehormatan itu justru menjadi batu sandungan yang bisa mengakibatkan seseorang
terjerumus ke dalam jurang kenistaan.
Lihatlah
misalnya, seorang presiden dengan tanggung jawab yang begitu besar untuk
mensejahterakan rakyatnya, atau seorang suami yang begitu besar tanggung
jawabnya untuk menafkahi istrinya, atau seorang bapak yang memikul amanat untuk
mebesarkan anak-anaknya. Semua itu merupakan amanat yang harus dijaga dan
dilaksanakan sebaik-baiknya. Apabila kita tidak bisa berbuat adil dan tidak
mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi pihak yang kita pimpin, maka
janganlah sekali-kali kita mencoba-coba untuk mengemban amanat tersebut.
Apabila seorang presiden tidak mampu mengemban amanat untuk membawa kehidupan
bangsanya dari keterpurukan menuju kesejahteraan dan keadilan, maka janganlah
kita kembali memilih presiden atau pemimpin itu untuk kedua kalinya. Karena
itu, amanat adalah ringan dikatakan namun berat untuk dilaksanakan. Barang
siapa hanya bisa mengatakan namun tidak bisa melaksanakan, maka ia tidak layak
untuk dijadikan pemimpin.[9]
Pada dasarnya,
kepemimpinan itu adalah amanah yang membutuhkan karakter dan sifat-sifat
tertentu. Dengan karakter dan sifat tersebut seseorang akan dinilai layak untuk
memegang amanah kepemimpinan. Atas dasar itu, tidak semua orang mampu memikul
amanah kepemimpinan, kecuali bagi mereka yang memiliki sifat-sifat
kepemimpinan. Sifat-sifat kepemimpinan yang paling menonjol ada tiga.
Pertama,
al-quwwah (kuat). Seorang
pemimpin harus memiliki kekuatan ketika ia memegang amanah kepemimpinan.
Kedua,
al-taqwa (ketaqwaan). Ketaqwaan adalah salah satu sifat penting
yang harus dimiliki seorang pemimpin maupun penguasa.
Ketiga,
al-rifq (lemah lembut) tatkala
bergaul dengan rakyatnya. Sifat ini juga sangat ditekankan oleh Rasulullah Saw.
[10]
IV. Larangan Ambisi Menjadi Pemimpin
Allah
Membenci Pemimpin Yang Mengejar Jabatan
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا
يُونُسُ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ ابو
سعيدابْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ
الْإِمَارَةَ فَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ
إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ
عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ
غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
وَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ
Abu said (abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata:
rasulullah saw telah bersabda kepada saya : ya abdurrahman bin samurah, jangan
menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa
minta, kau akan dibantu oleh allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat
jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau
kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian
ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan
kerjakan apa yang lebih baik itu. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Dalam
hadis lain rasul s.a.w juga pernah bersabda: “barang siapa telah menyerahkan
sebuah jabatan atau amanat kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat
kehancurannya”. Kedua hadis di atas sebenarnya mengajarkan kepada kita bahwa
amanat itu tidak perlu dicari dan jabatan itu tidak perlu dikejar. Karena bila
kita mencari dan mengejar amanat dan jabatan itu, maka niscaya allah tidak akan
memabntu kita. Akan tetapi bila kita tidak menuntut dan tidak mencari amanat
itu, maka justru allah akan membantu untuk meringankan beban amanat itu
sendiri.
Hadis
di atas sebenarnya mengajarkan tentang etika politik. Seoarang politisi tidak
serta-merta bebas dari etika, sebagaimana ditunjukkan oleh para politisi kita
selama ini. Melainkan seorang politisi dan kehidupan politik itu sendiri harus
berdasarkan sebuah kode etik. Bila kehidupan politik tidak berasarkan etika,
maka kesan yang muncul kemudian bahwa politik itu kotor. Padahal, tidak selamanya
politik itu kotor, nabi muhammad s.a.w sendiri pernah menjadi seorang politisi,
tapi tidak pernah bermain kotor.
Bila
kita mencermati hadis di atas, maka akan kita temukan bahwa citra “ke-kotoran”
dari politik itu sebenarnya bersumber dari sikap para pelakuknya yang
ambisius. Dalam hal ini, ambisi menjadi salah satu faktor uatama dalam
membentuk sikap dan pandangan politik eseorang sehingga menjadi kotor. Betapa
tidak, dari ambisi itu, seseorang bisa saja membunuh orang lain yang menjadi
pesaing politiknya. Dan dari ambisi itu pula seseorang bisa melakukan apa aja
untuk meraih jabatan politik yang diinginkannya, baik melalui korupsi,
penipuan, pembunuhan, ke dukun, dsb. Oleh sebab itu, “menjaga ambsi” adalah
sebuah etika politik yang diajarkan islam kepada umatnya, terutama bagi
mereka yang berkiprah di dunia politik.
Pandangan Islam Tentang Ambisi Menjadi Pemimpin
Rasulullah SAW bersabda: 'Demi Allah, saya tidak akan
menyerahkan jabatan kepada orang yang meminta dan tidak pula kepada orang yang berharap-harap
untuk diangkat'. (HR. Bukhari dan Muslim). Senada dengan hadits ini, Nabi
Muhammad SAW berkata kepada Abdur Rahman Ibnu Samurah ra.: 'Wahai Abdur Rahman,
Janganlah engkau meminta untuk diangkat menjadi pemimpin. Sebab, jika engkau
menjadi pemimpin karena permintaanmu sendiri, tanggung jawabmu akan besar
sekali. Dan jika engkau diangkat tanpa permintaanmu sendiri engkau akan
ditolong orang dalam tugasmu.' (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain
dijelaskan, Abu Dzar ra. Pernah berkata: 'Aku bertanya kepada Rasulullah
SAW, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak hendak mengangkatku memegang suatu
jabatan?' Rasulullah SAW menepuk bahuku dan berkata: 'Wahai Abu Dzar, engkau
ini lemah sedangkan jabatan itu amanah yang pada hari kiamat kelak harus
dipertanggung jawabkan dengan resiko penuh penghinaan dan penyesalan, kecuali
orang yang memenuhi syarat dan dapat memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya
dengan baik'. (HR. Muslim)
Dari keterangan-keterangan hadits di atas, maka dapat
disimpulkan, mengajukan diri untuk diangkat menjadi pemimpin adalah sesuatu
yang tercela apalagi tidak dibarengi dengan kelayakan diri menjadi pemimpin.
Namun sebaliknya, apabila seseorang diangkat menjadi pemimpin karena dukungan
atau permintaan umat, memenuhi syarat dan mampu menjalankan tugas dengan amanah
maka yang seperti ini tidaklah tercela.Jika Islam memandang, berharap
atau meminta diangkat menjadi pemimpin atau pejabat itu tercela, lalu bagaimana
dengan apa yang pernah dilakukan Nabi Yusuf AS. yang meminta jabatan dan
menonjolkan dirinya agar diberikan jabatan itu? Sebagaimana dikisahkan dalam Al
Quran: 'Jadikanlah aku bendaharawan Negara (Mesir). Sesungguhnya aku pandai
menjaga lagi berpengetahuan.' (Q.S. Yusuf: 55).
Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Quran: '(Di
antara sifat hamba Allah yang mendapatkan kemulian) adalah orang-orang yang
berkata: Wahai Tuhan kami anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan
kami sebagai penyenang hati dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi
orang-orang yang bertaqwa.' (Q.S. al-Furqan : 75).[11]
Faktor-Faktor
Penyebab Ambisi Terhadap Kepemimpinan dan Jabatan.
Diantaranya,
keinginan agar bebas dari kekuasaan orang lain. Faktor ini dapat mendorong
seseorang berambisi terhadap kepemimpinan dan jabatan, yaitu agar dia dapat melepaskan
diri dari kekuasaan orang lain.
Umumnya,
orang yang semacam itu sejak kecil tidak terbiasa menjadi orang bawahan.
Sebaliknya, dia selalu dipromosikan oleh kedua orang tuanya atau masyarakat
sekitarnya untuk menjadi seorang pemimpin, kendati mungkin tidak memiliki
kemampuan apapun. Orang semacam ini jika diterjunkan dalam lingkup jama'ah
(kelompok) akan berbahaya, karena ia akan selalu berusaha memuliakan serta
menyombongkan dirinya serta tidak akan pernah dapat menerma orang lain yang
menjadi pemimpin diatasnya. Karena itulah ia akan sangat berambisi menduduki
posisi kepemimpinan, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun secara
terang-terangan.
Larangan
berambisi terhadap jabatan
Jabatan
adalah suatu amanah yang wajib dilaksanakan oleh siapa-siapa yang memegangnya
oleh karena dilarang berambisi kepada jabatan karena jabatan merupakan hal yang
berat dalam melaksanakanya. Tentang seseorang yang berambisi jadi pemimpin
adalah perbuatan yang di benci oleh Allah SWT. Hal ini di karenakan tamak
kepada jabatan bukan hanya berdampak buruk bagi diri melainkan juga bagi orang
lain hanya demi memuaska hawa nafsu. Hadist dari Nabi Muhammad SAW adalah
sebagai berikut :
يَا عَبْدَ الرَّحْمنِ بن سَمُرَةَ لاَ تَسْألِ الإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَها عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأََلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْها
Artinya
Diriwayatkan dari Abdurrahman Ibnu Samurah ra. Beliau berkata” Telah bersabda oleh Nabi SAW : wahai Abdurrahman ibnu Samurah’’ janganlah engkau meminta diangkat jadi penguasa karena, jika kanmu diberi kekuasaan lantaran permintaan , niscaya engkau dibiarkan ( yakni tidak diberi pertolongan ) Namun, jika kamu diberi kekuasaan bukan karena permintaan niscaya kamu di beri pertolongan untuk melaksanakannya ( Al-Bukhari mentakhrij hadist ini dalam kitab’’sumpah dan nadzar ). Dalam hadits diatas menyatakan larangan rasulullah atas Abdurahman ibnu Samurah untuk berambisi kepada jabatan dikarenakan jabatan yang terlalu dikehendaki kelak akan membuat seseorang akan terbebani untuk melaksanakannya, sebaliknya apabila jabatan tersebut tidak dipinta maka akan mudah menyelesaikan semua masalah yang ada di dalamnya.(Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 7146).
Dan
ada pula hadits nabi yang berbunyi;
Masih
berkaitan dengan pemasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar
al-Ghifari radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “ Wahai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar
permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:[12][3]
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ،
وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا
بِحَقِّهَا، وَأَدَى الَّذِيْ عَلَيْهِ فِيْهَ
“Ya Abu Dzar, engkau seorang yang
lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia
akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya
dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut”.
(HR. Muslim)
Dua
hadit di atas memperkuat tentang larangan untuk berambisi terhadap jabatan
karena selain merugikan diri sendiri juga dapat merugikan orang lain.karena
sebuah jabatan yang menurut hawa nafsu akan membawa kepada kehancuran.
V.
Pengertian
Suap dan Gratifikasi
Suap, disebut juga dengan sogok atau memberi uang
pelicin. Adapun dalam bahasa syariat disebut dengan risywah. Secara istilah
adalah memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan
mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan.
Dalam Undang-Undang No. 11 Th. 1980 tentang tindak
pidana suap dijelaskan bahwa tindak pidana suap memiliki dua pengertian, yaitu:
1.
Memberi atau
menjanjikan sesuatu dengan maksud membujuk agar seseorang berlawanan dengan
kewenangan/kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum.
2.
Menerima sesuatu
atau janji yang diketahui dimaksudkan agar si penerima melawan
kewenangan/kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum.
Suap adalah pemberian yang diharamkan syariat, dan
ia termasuk pemasukan yang haram dan kotor. Suap pemberiannya dilakukan secara
sembunyi, dibangun berdasarkan saling tuntut-menuntut, biasanya diberikan
dengan berat hati. Adapun pemberian suap ini dilakukan melalui tiga cara, yaitu
:
1.
Uang dibayar setelah
selesai keperluan dengan sempurna, dengan hati senang, tanpa penundaan
pemalsuan, penambahan atau pengurangan, atau pengutamaan seseorang atas yang
lainnya.
2.
Uang dibayar melalui
permintaan, baik langsung maupun dengan isyarat atau dengan berbagai macam cara
lainnya yang dapat dipahami bahwa si pemberi menginginkan sesuatu.
3.
Uang dibayar sebagai
hasil dari selesainya pekerjaan resmi yang ditentukan si pemberi uang.
Dasar Hukum Tindak Pidana Suap
Dan
dalam syariat islam, perkara suap-menyuap ini ini sangat ditentang dan diancam
dengan ancaman yang mengerikan, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , beliau bersabda :
لعنة الله على الراشي
والمرتشي
“Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang
menerima suap” (HR. Ahmad dan selainnya dari Abdullah bin
Amr’ Rhadiyallahu ‘anhuma)”.[13]
Maka
hadits ini bagi orang-orang beriman akan membuat mereka akan menjauhi perbuatan
ini, dan ditambah lagi para ulama mengatakan bahwa hadits-hadits yang semisal
seperti ini, yaitu lafadz “Allah melaknat” menunjukkan bahwa perbuatan tersebut
adalah termasuk kategori dosa besar yang tidak akan diampuni kecuali dia
bertaubat, adapun ketika dia mati dalam keadaan belum bertaubat maka di bawah
kehendak Allah apakah akan mengadzabnya atau tidak.
Akan
tetapi manusia pengejar dunia akan selalu mendengar bisikan setan dan hawa
nafsunya, mereka akan mencari seribu satu cara pembenaran agar seakan-akan
perbuatan mereka itu dapat dibenarkan. Begitu juga dengan riswah ini, mereka mempunyai seribu satu
alasan untuk membenarkan pemberian kepada mereka, diantara alasan mereka yang
paling sering dinukil adalah :
- Ini adalah uang lelah, uang tips atau hadiah
- Tidak ada pihak yang dirugikan, semua pekerjaan telah diselesaikan sesuai aturan
- Kami hanya diberi, kami tidak pernah meminta.
Maka
pemberian inilah yang sekarang dikenal dengan istilah Gratifikasi
, yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. (Wikipedia)
Maka
sekarang kembali ke hukum syariatnya, benarkah pemberian kepada pagawai adalah
sesuatu yang diperbolehkan untuk diterima ??
Telah
datang hadits dari Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wassallam yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
حَدِيْثُ أَبِيْ حُمَيْدِ
السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَعْمَلَ عَامِلاً فَجَاءَهُ
الْعَامِلُ حِيْنَ فَرَغَ مِنْ عَمَلِهِ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ هـذَا لَكُمْ وهـذَا أُهْدِيَ لِيْ. فَقَالَ لَهُ:
أَفَلاَ قَعَدْتَ فِى بَيْتِ أَبِيْكَ
وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لاَ ؟ ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشِيَّةً بَعْدَ الصَّلاَةِ فَتَشَهَّدَ وَأَثْنَى عَلَى اللهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ فَيَأْتِـيْنَا فَيَقُوْلُ: هـذَا مِنْ عَمَلِكُمْ وَهـذَا أُهْدِيَ لِيْ أَفَلاَ قَعَدَ فِيْ بَيْتِ أَبِيْهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ؟ فَوَ الَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَيَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْـأً إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيْرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا خُوْارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ فَقَدْ بَلَّغْتُ فَقَالَ أَبُوْ حُمَيْدٍ:
ثُمَّ رَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَدَهُ حَتَّى
إِنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى عُفْرَةِ إِبْطَيْهِ
Abu
Humaidi Assa’idy Rhadiyallahu
‘anhu . berkata, “Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassallam . mengangkat seorang pegawai untuk menerima
sedekah/zakat kemudian sesudah selesai, ia datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . dan
berkata, “Ini untukmu dan yang ini untuk hadiah yang diberikan orang padaku.”
Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam
. bersabda kepadanya, “Mengapakah engaku tidak duduk saja di rumah
ayah atau ibumu apakah di beri hadiah atau tidak (oleh orang)?” Kemudian
sesudah shalat, NabiShalallahu ‘alaihi
wassallam . berdiri, setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya,
lalu bersabda. “Amma ba’du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian
ia datang lalu berkata, “Ini hasil untuk kamu dan ini aku berikan hadiah,
mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk menunggu apakah ia
diberi hadiah atau tidak?. Demi Allah yang jiwa Muhamad di tangan-Nya tiada
seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di
hari kiamat memikul di atas lehernya. Jika berupa onta bersuara, atau lembu
yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan.”
Abu Humaidi berkata, “kemudian Nabi Shalallahu
‘alaihi wassallam ., mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat
melihat putih kedua ketiaknya.”[14]
Rasulullah saw bersabda:
ﻤﻥ ﺍﺴﺗﻌﻤﻟﻨﺎﻩ ﻋﻟﻰ ﻋﻤﻞ ﻔﺭﺯﻗﻧﺎﻩ ﺭﺯﻗﺎ ﻔﻤﺎ ﺃﺨﺬ ﺑﻌﺪ ﺬﻠﻙ ﻔﻬﻭﻏﻟﻭﻞ
“Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan
kepadanya telah kami berikan rizki (gaji) maka yang diambil olehnya selain itu
adalah kecurangan” (HR Abu Dawud)
VI. Larangan Korupsi
Ghulûl (Korupsi)
adalah isim masdar dari kata ghalla,
yaghullu, ghallan, wa ghullan, wa ghulûlan (Ibnu Manzur, Lisânul ‘Arab) yang secara leksikal dimaknai akhadza al-syai’a fi khufyatin wa dassahu fi matâ’thî
(mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dan memasukkan ke dalam hartanya)
(M. Rawwas, Mu’jam
Lughât al-Fuqahâ) dan khâna (khianat
atau curang).
Mayoritas umat Islam sepakat bahwa hadis adalah merupakan sumber hukum
yang sangat penting sebagai pedoman utama ajaran Islam setelah al-Qur’an.
Dengan kata lain bahwa, al-qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang pertama,
sedangkan hadis Nabi saw. adalah merupakan sumber ajaran Islam yang kedua.[1]
Hal ini sebagaimana di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hasyr : 7 ;
وماا تا كم ا لر سـو ل فخـد و ه و ما نها كم عـنه فا نتهـو ا و
ا تقـو ا لله ا ن ا لله شـد يد ا لعقا ب
“ Apa yang
di berikan rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang di larangnya bagimu
maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya”.
Berdasarkan petunjuk ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa untuk
mengetahui petunjuk hukum yang benar dalam ajaran Islam, di samping harus
berpegang teguh pada al-Qur’an juga harus berpegang teguh pada hadis Nabi Saw.
Dalam hal ini Nabi saw. sendiri telah menginformasikan kepada umatnya bahwa, di
samping al-Qur’an masih terdapat satu pedoman yang sejenis dengan al-Qur’an,
yakni al-hadis. Sebagaimana sabdanya mengatakan: ا لا
و ا نى اء تيت ا لقـر اء ن و
مـثـلـه ( رواه ا بو دا ود واحمد والتر مدى
)
“ Wahai Umatku,
sungguh aku telah di beri al-Qur’an dan yang menyamainya”. (HR. Abu Dawud,
Ahmad, dan Turmuziy ).
Jadi tidak di ragukan lagi bahwa yang di maksud dengan “menyamai” atau
semisal al-Qur’an dalam matan hadis di atas adalah hadis Nabi saw. Mengingat
peran hadis yang begitu penting sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an,
mengharuskan adanya penelitian yang mendalam sebagai upaya menjaga kualitas
kemurnian, keotentikan, dan kesahihannya. Sehingga secara legal hadis-hadis
yang telah terseleksi keotentikannya dapat di pertanggung jawabkan sebagai
hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Langkah penelitian terhadap kualitas hadis
menjadi sangat penting, mengingat bahwa latar belakang sejarah penghimpunan
hadis baru terjadi pada akhir tahun 100 H. (awal akhir abad ke II H.), atas
perintah Khalifah Umar Ibn ‘Abd al-Azis yang memerintah sekitar tahun 717-720
M.
Dengan melihat jauhnya jarak antara masa kehidupan Nabi saw. dengan masa
perhimpunan hadis-hadis tersebut, tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai
manipulasi, pemalsuan, dan penyimpangan terhadap matan hadis dan lain
sebagainya. Sehingga menyebabkan kualitas hadis menjadi berbagai macam
bentuknya, ada yang di anggap sahih, hasan maupun da’if. Perlu di jelaskan di
sini bahwa terjadinya kualitas hadis hasan adalah merupakan pecahan dari
kualitas hadis da’if yang di pergunakan sebelum masanya al-Turmuziy.[15]
VII.
Pemimpin Yang Adil
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ
لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ
فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ
فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Artinya
:
Dari
Abu Hurairah ra., dari Nabi Saw., beliau bersabda : “Ada tujuh golongan yang
akan mendapat naungan Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya,
yaitu : Pemimpin yang adil, Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala,
Seseorang yang hatinya senantiasa digantungkan (dipertautkan)” dengan masjid,
Dua orang saling mencintai karena Allah, yang keduanya berkumpul dan berpisah
karena-Nya. Seorang laki-laki yang ketika diajak [dirayu] oleh seorang wanita
bangsawan yang cantik lalu ia menjawab :”Sesungguhnya saya takut kepada
Allah.”Seorang yang mengeluarkan sedekah sedang ia merahasiakanny,
sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan
kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di tempat yang sepi sampai
meneteskan air mata.”
Setiap
orang berhak mengeluarkan pendapatnya dan seorang pemimpin berkewajiban
mendengarkan. Ia wajib menjalankan hasil musyawarah. Setiap keputusan yang
telah disepakati bersama wajib dilaksanakan karena itu merupakan amanat yang
dibebankan kepadanya. Dalam hadits diatas diungkapkan keutamaan seorang
pemimpin yang adil sehingga mendapatkan posisi pertama orang yang mendapatkan
naungan dari Allah pada hari kiamat. Hal ini menunjukkan begitu beratnya
menjadi seorang pemimpin untuk selalu adil dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan.[16]
Rasulullah
saw bersabda:
قالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ
عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا
يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ
وَمَا وَلُوا
“Sesungguhnya
orang-orang yang berbuat adil di mata Allah berada di atas mimbar yang terbuat
dari cahaya, berada di sebelah kanan Ar-Rahman Azza wa Jalla. Yaitu mereka yang
berbuat adil ketika menetapkan putusan hukum, dan adil terhadap pengikut dan
rakyanya.” (HR. Muslim)
Sahih
Muslim, Hadits ke 3406, Jilid 9, hal 349.
Pemimpin
yang adil juga mendapat jaminan istimewa dari Allah SWT. Hadits sahih riwayat
Imam Bukhari menyebutkan, tujuh jenis manusia akan mendapat naungan keteduhan
dari Allah SWT pada saat menempuh alam Mahsyar kelak, yang panasnya tak
terperikan. Yang pertama kali mendapat kehormatan tertinggi itu, adalah imamun
’adilun, pemimpin yang adil. Baru enam jenis yang lainnya.[17]
Pemimpin
harus bersikap adil
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَّامٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ
اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ
حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ
عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ
ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ
تَحَابَّا فِي اللَّهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ
وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ
Abu hurairah r.a: berkata: bersabda nabi saw: ada
tujuh macam orang yang bakal bernaung di bawah naungan allah, pada hati tiada
naungan kecuali naungan allah:
Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda yang rajin
ibadah kepada allah. Dan orang yang hatinya selalu gandrung kepada masjid. Dan
dua orang yang saling kasih sayang karena allah, baik waktu berkumpul atau
berpisah. Dan orang laki yang diajak berzina oleh wanita bangsawan nan cantik,
maka menolak dengan kata: saya takut kepada allah. Dan orang yang sedekah dengan
sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan
oleh tangan kanannya. Dan orang berdzikir ingat pada allah sendirian hingga
mencucurkan air matanya. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Meski
hadis ini menjelaskan tentang tujuh macam karakter orang yang dijamin
keselamatannya oleh allah nanti pada hari kiamat, namun yang sangat ditekankan
oleh hadis ini adalah karakter orang yang pertama, yaitu pemimpin yang adil.
Bukannya kita menyepelekan enam karakter sesudahnya, akan tetapi karakter
pemimpin yang adil memang menjadi tonggak bagi kemaslahatan seluruh umat
manusia. Tanpa pemimpin yang adil maka kehidupan ini akan terjebak ke dalam
jurang penderitaan yang cukup dalam.
Untuk
melihat sejauh mana seorang peimimpin itu telah berlaku adil terhadap rakyatnya
adalah melalui keputusan-keputuasan dan kebijakan yang dikeluarkannya. Bila
seorang pemimpin menerapkan hukum secara sama dan setara kepada semua warganya
yang berbuat salah atau melanggar hukum, tanpa tebang pilih, maka pemimpin itu
bisa dikatakan telah berbuat adil. Namun sebaliknya, bila pemimpin itu hanya
menghukum sebagian orang (rakyat kecil) tapi melindungi sebagian yang lain
(elit/konglomerat), padahal mereka sama-ama melanggar hukum, maka pemimpin itu
telah berbuat dzalim dan jauh dari perilaku yang adil.
Jaminan
bagi pemimpin yang adil
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ
دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرٍو قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Abdullah bin ‘amru bin al ‘ash r.a berkata:
rasulullah saw bersabda: sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, kelak
disisi allah ditempatkan diatas mimbar dari cahaya, ialah mereka yang adil
dalam hokum terhadap keluarga dan apa saja yang diserahkan (dikuasakan) kepada
mereka. (muslim)
Penjelasan:
Bila
hadis sebelumnya berbicara tentang “garansi” allah atas pemimpin yang berbuat
adil, maka hadis ini lebih mengulas tentang “imbalan” bagi seorang pemimpin
yang adil. Dalam hadis ini disebutkan bahwa imbalan bagi pemimpin yang adil
adalah kelak di sisi allah akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya. Secara
harfiyah, mimbar berarti sebuah tempat khusus untuk orang-orang yang hendak
berdakwah atau berceramah di hadapan umum. Karenanya, mimbar jum’at biasanya
mengacu pada sebuah tempat khusus yang disediakan masjid untuk kepentingan
khotib. Sementara cahaya adalah sebuah sinar yang menerangi sebuah
kehidupan. Kata cahaya biasanya mengacu pada matahari sebagai penerang bumi,
lampu sebagai penerang dari kegelapan, dsb. Oleh sebab itu, kata mimbar dari
cahaya di dalam hadis di atas tentu tidak serta merta dimaknai secara harfiyah
seperti mimbar yang dipenuhi hiasan lampu-lampu yang bersinar terang, melainkan
mimbar cahaya adalah sebuah metafor yang menggambarkan sebuah posisi yang
sangat terhormat di mata allah. Posisi itu mencrminkan sebuah ketinggian status
setinggi cahaya matahari.
Ciri
Pemimpin yang Baik.
Ada
beberapa ciri pemimpin yang baik, yang akan berhasil dalam kepemimpinannya.
Þ
Senantiasa bersikap adil dan
menjunjung tinggi kebenaran. Begitu pentingnya masalah ini sampai-sampai
Rasulullah menyatakan sejamnya keadilan pemimpin jauh lebih baik dibandingkan
dengan seribu rakaat shalat sunnah (al-hadits). Pemimpin yang adil, disamping
ilmunya para ulama, kepemurahannya kaum kaya, dan doanya kaum dhuafa akan
menjadi pilar utama.
Þ
Senantiasa menjadi pengayom dan
pembela masyarakat, sehingga masyarakat merasa aman dan terlindungi. Kehidupan
menjadi tenteram dan bahagia. Kebijakan yang dikeluarkan pun tidak akan menjadi
kebijakan yang merugikan rakyat. Ketika terjadi konflik antara kepentingan
rakyat kecil, maka ia akan lebih memilih untuk membela kepentingan rakyat
kecil.
Þ
Berpihak dan berorientasi pada
kesejahteraan rakyat. Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu adalah
contoh pemimpin yang selalu berpatroli setiap malam, memastikan bahwa rakyatnya
tidak ada yang kelaparan. Demikian pula dengan khalifah Umar bin Abdul Azis, yang
mampu mengentaskan kemiskinan melalui instrumen zakat, hanya dalam waktu kurang
dari 2 tahun. Inilah model kepemimpinan yang selalu didambakan kehadirannya
oleh seluruh masyarakat kapan dan dimanapun, termasuk Negara yang kita cintai
ini. Mudah-mudahan melalui pemimpin yang demikianlah, Indonesia akan menjadi
bangsa yang lebih baik dan sejahtera.[18]
VIII.
Pemimpin Yang Sewenang-Wenang
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «
الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ». متّفق عليه
Dari Ibnu ‘Umar
–radhiallaahu 'anhuma- dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
bersabda: “Kezhaliman adalah kegelapan (yang berlipat) di hari Kiamat”.
(Muttafaqun ‘alaih)
2. عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللّهِ أَنّ رَسُولَ اللّهَ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
«اتَّقُوا الظُّلْمَ. فَإِنّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. وَاتَّقُوا
الشُّحَّ. فَإِنّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ». رواه مسلم
Dari Jâbir bin
‘Abdillah bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
“berhati-hatilah terhadap kezhaliman, sebab kezhaliman adalah kegelapan (yang
berlipat) di hari Kiamat. Dan jauhilah kebakhilan/kekikiran karena kekikiran
itu telah mencelakakan umat sebelum kamu”. (H.R.Muslim)
Pemimpin
dzalim dibenci allah
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ
الْمُنْذِرِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ
إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ
جَائِرٌ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ
حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا
الْوَجْهِ
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya manusia yang
paling dicintai allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di
sisi allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci
allah dan sangat jauh dari allah adalah seorang pemimpin yang zalim. (hr.
Turmudzi)
Penjelasan:
Hadis
ini sekali lagi menekankan bahwa kriteria adil sangat penting bagi seorang
pemimpin. Tanpa nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi oleh seorang pemimpin,
maka sebuah kepemimpinan tidak akan berhasil mengangkat kesejahteraan umatnya.
Karena itu, bisa kita fahami mengapa rasul berkali-kali menekankan akan
pentingnya seorang pemimpin yang adil. Dalam hadis ini, seorang pemimpin yang
adil akan ditempatkan sangat dekat sekali kedudukannya dengan allah, sedangkan
pemimpin yang dzalim adalah sangat dibenci sekali oleh allah. Kedua balasan
(imbalan dan ancaman) ini tentunya mencerminkan sebuah penghargaan allah yang
begitu besar kepada pemimpin yang mampu berbuat adil kepada rakyatnya.
Kedzaliman
pemimpin mempercepat datangnya kiamat
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي عَمْرٌو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ الْأَشْهَلِ عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتُلُوا إِمَامَكُمْ وَتَجْتَلِدُوا
بِأَسْيَافِكُمْ وَيَرِثُ دِيَارَكُمْ شِرَارُكُمْ
Rasulullah saw bersabda: kiamat tidak akan terjadi
sampai kalian membunuh para pemimpin kalian, pedang-pedang kalian banyak sekali
meminum darah, dan agama kalian diwarisi (dikuasai) oleh orang-orang yang
paling buruk di antara kalian. (hr. Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Hadis
ini mengilustarikan sebuah zaman dimana bila seorang pemimpin bertindak sangat
lalim dan rakyat melawannya hingga membunuh pemimpin lalim itu, maka itu
pertanda kiamat sudah dekat. Logikanya, bila dalam sebuah zaman muncul
perlawanan rakyat terhadap pemimpin, maka di zaman itu berarti terdapat
pemimpin yang dzalim nan lalim. Karena bila sebuah kepemimpinan itu baik dan
tidak ada kedzaliman, maka niscaya tidak mungkin akan muncul perlawanan rakyat.
Oleh sebab itu, pesan pokok yang hendak disampaikan oleh hadis ini adalah bahwa
bila terjadi kedzaliman pemimpin di mana-mana, maka itu berarti pertanda kiamat
sudah dekat.
Lalu
bagaiman dengan zaman kita saat ini, dimana sebagian besar pemimpin sedikit
sekali yang berbuat adil dan banyak sekali yang berbuat dzalim, serta
perlawanan rakayat begitu dahsyata hingga ada pemimpin yang dibunuh oleh
rakyatnya, apakah zaman kita sudah termasuk tanda-tanda kiamat ? Pertanyaan ini
memang tidak bisa kita jawab “ya” atau “tidak”. Karena yang maha mengetahui
kapan kiamat itu terjadi adalah allah. Akan tetapi, bila kita melihat kondisi
kepemimpinan kita di zaman ini akan nampak sekali tanda-tanda kiamat sebagaiman
telah diseritakan rasul dalam hadis di atas.[19]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Perihal mengenai kepemimpinan dalam Islam merupakan suatu
wacana yang selalu menarik untuk didiskusikan. Wacana kepemimpinan dalam Islam
ini sudah ada dan berkembang, tepatnya pasca Rasulullah SAW wafat. Wacana
kepemimpinan ini timbul karena sudah tidak ada lagi Rasul atau nabi setelah
Nabi Muhammad SAW wafat.
Dalam firman Allah SWT dikatakan bahwa Al-qur’an itu sudah
bersifat final dan tidak dapat diubah-ubah lagi. Sehingga Rasulullah SAW adalah
pembawa risalah terakhir dan penyempurna dari risalah-risalah sebelumnya.
“ Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-qur’an) sebagai
kalimat yang benar dan adil. Tak ada yang dapat mengubah
kalimat-kalimat-Nya.”(Q.S Al-An’am:115).
Hukum-hukum Allah adalah suatu
keniscayaan yang mengatur ummat manusia, yang membantu manusia dalam mencapai
realitas kebahagiaan. Hukum-hukum Allah ditegakkan agar keadilan dan kebenaran
dapat terjamah oleh orang-orang yang tertindas dan terdzalimi. Sekarang ini
untuk terjaganya hukum-hukum Illahiah yang mengatur kehidupan umat manusia dan masyarakat,
maka di butuhkan seorang pemimpin yang memiliki pengetahuan luas tentang hukum
Allah dan keadilan, akhlak yang mulia, matang secara kejiwaan dan ruhani,
kemampuan mengatur (mengorganisasi), dan memiliki pola hidup yang sederhana.
Intinya pemimpin haruslah wujud dari hukum Islam itu.
[1]
http://www.scribd.com/doc/79816307/Pemimpin-Dan-Kepemimpinan-Menurut-Islam
[2]
http://www.asrori.com/2011/04/pengertian-kepemimpinan-menurut-islam.html
[3]
http://zunlynadia.wordpress.com/2010/12/28/hadis-hadis-tentang-pemimpin/
[4]
http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/05/tanggung-jawab-seorang-pemimpin.html
[5] Abu 'Abdillah Muhammad ibn Isma'il
al-Bukhari, al-Jami' al-Sahih} al-Musnad min Hadis Rasulillah SAW wa Sunanihi
wa Ayyamihi, jil. III (Kairo: al-Matba'ah al-Salafiyyah, 1403 H), h. 328.
[6]http://contohskripsiptkpgsdkumpulanrppbaru.blogspot.com/2011/10/kewajiban-pemimpin-kepada-pengikut.html
[8]
http://blog.sunan-ampel.ac.id/nurlaila/2011/05/31/hadis-tentang-taat-kepada-pemimpin-ivsja/
[9] http://pemimpin%20amanah.htm
[10]
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/05/23/kepemimpinan-dalam-islam/Larangan
[11]
http://munawaroh-gp.blogspot.com/2012/01/ambisi-menjadi-pemimpin-menurut-islam.html
[13]
Dishohihkan Al-Albani dalam Shohihul
Jami’ 5114 dan dalam kitab-kitab beliau lainnya
[14] http://assamarindy.com/?p=1054
[15] Lihat Taqiy al-Din Ahmad Ibn ‘Abd al-Halim Ibn Taymiyah, Majmu’ Fatawa
Li Ibn Taymiyah, Juz I (T.t.: Matabi’ Dar al-Arabiyyah, 1398 H.), h. 252.
[16] http://nazhroul.wordpress.com/2010/05/21/beberapa-hadits-tentang-kepemimpinan-dalam-kitab-riyadhus-shalihin/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar