BAB I
PENDAHULUAN
Citra pemerintahan buruk yang
ditandai dengan saratnya tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah
melahirkan reformasi, salah satu isu reformasi yang diwacanakan adalah Good
Governance. Istilah ini secara berangsur menjadi populer baik di kalangan
pemerintah, swasta maupun masyarakat secara umum.
Istilah Good and Clean
Governance atau tata pemerintahan yang baik dan bersih merupakan wacana yang
mengiringi gerakan reformasi. Wacana Good and Clean Governance sering kali
dikaitkan dengan tuntutan atau pengelolaan yang profesional akuntabel dan bebas
korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebuah
kritik terhadap pengelolaan pemerintahan Orde Baru yang sarat KKN yang berakhir
krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Dalam makalah ini akan dibahas
pengertian dan prinsip-prinsip Good and Clean Governance, kontrol sosial
gerakan anti korupsi, pemerintahan yang baik, birokrasi dan pelayanan publik.
BAB II
PEMBAHASAN
GOOD AND CLEAN GOVERNANCE
A. Pengertian Good
and Clean Governance
Istilah Good and Clean Governance merupakan wacana
baru dalam kosa kata ilmu politik. Secara umum istilah Good and Clean
Governance memiliki pengertian segala hal yang terkait dengan tindakan atau
tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi urusan
publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Andi Faisal Bakti, Good and Clean
Governance memiliki pengertian pengejawantahan nilai-nilai luhur dalam
mengarahkan warga negara (citizens) kepada masyarakat dan pemerintahan yang
berkeadaban melalui wujud pemerintahan yang suci dan damai. Dalam konteks
Indonesia substansi, wacana Good and Clean Governance dapat dipadakan dengan
istilah pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Bakti menyatakan bahwa
pemerintahan yang baik adalah sikap dimana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat
yang diatur oleh berbagai lever pemerintah negara yang berkaitan dengan
sumber-sumber sosial, budaya, politik serta ekonomi. Pemerintahan yang bersih
adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan dan
bertanggung jawab.[1]
Menurut Santosa sebagaimana didefinisikan UNDP
Good and Clean Governance adalah pelaksanaan politik, ekonomi dan administrasi
dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Pelaksanaan kewenangan tersebut, bisa
dikatakan baik jika dilakukan dengan efektif, efisien, responsif terhadap
kebutuhan rakyat dalam suasana demokratis, akuntabel dan transparan.[2]
Prinsip demokrasi yang bertumpu pada peran sentral
warga negara dalam proses sosial politik bertemu dengan prinsip-prinsip dasar
governance, yaitu pengelolaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang
dirumuskan bersama oleh pemerintah dan komponen masyarakat madani. Pemerintahan
dikatakan baik jika pembangunan dapat dilakukan dengan biaya yang sangat
minimal namun dengan hasil yang maksimal.
Good and Clean Governance dapat terwujud maksimal
jika ditopang oleh 2 unsur yang saling terkait negara dan masyarakat madani
yang di dalamnya terdapat sektor swasta.
B. Prinsip-prinsip
Pokok Good and Clean Governance
Untuk merealisasikan pemerintahan yang profesional
dan akuntabel yang berdasarkan pada prinsip-prinsip Good and Clean Governance.
Lembaga Administrasi Negara merumuskan 9 aspek fundamental, yaitu :[3]
a.
Partisipasi
Semua warga negara mempunyai suara dalam
pengambilan keputusan baik secara langsung, maupun melalui Lembaga Perwakilan
yang sah. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip
demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara
konstruktif. [4]
Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa warga negara dijamin kebebasannya berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat, menyatakan pikiran melalui tulisan maupun
lisan. Dalam pasal 1 ayat 1, PP. No. 71 Tahun 2000 disebutkan peran serta
masyarakat adalah peran aktif perseorangan, organisasi masyarakat atau lembaga
swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Artinya bahwa setiap orang, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya
masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan
telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat
kepada penegak hukum atau komisi yang menangani perkara tindak pidana korupsi
seperti juga tercantum dalam pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah.
b.
Penegakan Hukum
Pelaksanaan kenegaraan dan pemerintahharus ditata
oleh sebuah aturan hukum yang kuar dan memiliki kepastian hukum. Sehubungan
dengan itu, Santosa menegaskan harus diimbangi dengan komitmen penegakan hukum
dengan karakter-karakter antara lain :
1.
Supermasi Hukum (The Supermacy of Law)
Supermasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindak penguasa atas dasar
diskresi (tindakan sepihak berdasarkan
pada kekuasaan yang dimilikinya).
2.
Kepastian Hukum (Legal Certainty)
Bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara itu diatur oleh hukum yang
jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan anatara satu dengan
lainnya. Pada tataran praktis, hukum itu berjalan secara independen tidak
dipengaruhi oleh kekuatan kekuasaan, sehingga masyarakat merasa aman karena
pelanggar hukum tidak akan memiliki peluang untuk hidup apalagi berkembang.
3.
Hukum Yang Responsif
Yakni aturan-aturan hukum itu disusun berdasarkan aspirasi masyarajat luas
dan mampu mengakomodir berbagai kebutuhan publik, sehingga tidak hanya mewakili
kepentingan segelintir elit kekuasaan atau kelompok tertentu.
4.
Penegakan Hukum yang Konsisten dan
Non-Diskriminatif
Yakni penegakan hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk
itu, diperlukan penegak hukum yang memiliki intregitas dan bertanggung jawab
terhadap kebenaran hukum.
5.
Independensi Peradilan
Yakni peradilan itu harus indepedensi, tidak dipengaruhi oleh penguasa atau
oleh lainnya. Kunci utama dalam penegakan Rule of Law adalah penegakan hukum
dalam proses peradilan.[5]
c.
Transparasi (Transparency)
Transparasi (keterbukaan untuk umum) adalah unsur
lain yang menopang terwujudnya Good and Clean Governance yang akan menghasilkan
pemerintahan yang bersih (Good Governance). Akibat tidak adanya prinsip ini,
Indonesia telah terjerembab dalam kubangan korupsi yang berkepanjangan an
parah. Prinsip ini mutlak dilakukan dalam rangka menghilangkan budaya korupsi
di kalangan pelaksana pemerintahan baik pusat maupun yang di bawahnya.
Mengutip kesimpulan Syed Husain Alatas, Kumorotomo
menyimpulkan ada 7 macam korupsi yang biasa dilakukan oleh kalangan birokrasi
di Indonesia :
1.
Transactive Corruption yaitu korupsi yang dilakukan
saat transaksi dan kedua belah pihak
mengambil keuntungan dari transaksi dengan merugikan negara.
2.
Extortive Corruption yaitu korupsi pemasaran pihak
tertentu memeras pelaksana pekerjaan sehingga hasilnya tidak optimal.
3.
Investive Corruption yaitu tindakan korupsi dimana
terjadi kesalahan dalam kebijakan, yakni investasi yang belum memiliki
kepastian dalam perolehan keuntungannya.
4.
Nepotistive Corruption yaitu korupsi nepotisme
yakni pemberian pekerjaan pada lingkaran keluarga sehingga mengurangi efektivitas
kontrol.
5.
Defensive Corruption yaitu korupsi untuk
mempertahankan diri, yakni pihak korban memberikan sesuatu kepada pihak lain
untuk mempertahankan diri dan perilaku pemberiannya itu merugikan negara.
6.
Autogenic Corruption yaitu korupsi yang dilakukan
oleh seseorang dan tidak melibatkan orang lain, seperti anggota DPR melahirkan
UU yang dapat menguntungkan dirinya.
7.
Supportive Corruption yaitu korupsi untuk
melindungi kegiatan korupsi lain yang telah dilakukannya.[6]
Menurut Gaffar terdapat 8 aspek mekanisme
pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu :
·
Penetrapan posisi jabatan atau kedudukan
·
Kekayaan pejabat publik
·
Pemberian penghargaan
·
Penetapan kebijakan
·
Kesehatan
·
Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan
publik
·
Keamanan dan ketertiban
·
Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan
masyarakat
d.
Responsif (Responsive)
Asas responsif adalah bahwa pemerintah harus
responsif terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Affan menegaskan bahwa
pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakatnya
jangan menunggu mereka menyampaikan keinginan-keinginannya, tapi mereka secara
proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk
kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan
umum.
Setiap asas responsif, setiap unsur pemerintahan
harus memiliki 2 etika, yaitu :
1.
Etika individual yaitu kualifikasi etika
individual menuntut pelaksanaan birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria
kapabilitas dan loyalitas profesional.
2.
Etika sosial yaitu menuntut pelaksanaan birokrasi
pemerintah agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik.
Menurut Kumorotomo, pemerintah dapat melakukan generalisasi terhadap
kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat yang universal dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut :
a.
Kebahagiaan terbesar bagi jumlah besar.
b.
Mengangkat kondisi dasar kemasyarakatan terutama
bagi mereka yang paling tidak beruntung.
c.
Melakukan segala sesuatu yang membuat semua orang
menjadi lebih baik atau setidaknya tidak seorangpun menjadi lebih bruruk.[7]
Pemerintah dikatakan baik jika telah melahirkan
kebijakan yang berdampak baik kepada sebagian negaranya. Sebaliknya,
pemerintahan dikatakan buruk jika
membuat sebagian warganya hidup tidak selayaknya dan kesejahteraan hanya
dinikmati oleh elit bitokrasi. Terkait asas responsif adalah pemerintah harus
terus merumuskan kabijakan-kebijakan pembangunan terhadap semua kelompok sosial
dengan karakteristik budayanya. Hal ini karena masih sering dijumpai masyarakat
yang hidup dalam kemiskinan dan terbelakang dari segi pendidikan, namun mereka
menikmatinya. Hal ini bukan disebabkan karena tidak adanya program yang
dilakukan pemerintah tetapi secara cultural mereka menolak terhadap
program-program pembangunan.
e.
Konsensus (Consensus)
Asas ini menyatakan bahwa keputusan apapun harus
dilakukan melalui proses musyawarah melalui konsensus. Model pengambilan
keputusan tersebut, selain dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar
pihak juga akan menajdi keputusan yang mengikat dan milik bersama. Sehingga ia
akan menjadi kekuatan memaksa (coersive power) bagi semua komponen yang
terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.[8]
Paradigma ini perlu dikembangkan dalam konteks
pelaksanaan pemerintahan karena urusan yang mereka kelola adalah
persoalan-persoalan publik yang harus dipertanggung jawabkan kepada rakyat.
Untuk meningkatkan dinamika dan menjaga akuntabilitas dari proses pengelolaan
tugas-tugas pemerintah dalam pengambilan berbagai kebijakan pemerintah harus
mengembangkan beberapa sikap, yaitu :
1.
Optimistik, yakni sikap yang memperlihatkan bahwa
setiap persoalan dapat diselelsaikan dengan baik dan benar. Peluang untuk
mencari putusan-putusan yang arif selalu ada serta dalam koridor integritas,
kejujuran berbasis kompetensi, serta dengan iktikad baik untuk memberikan
pelayanan terbaik bagi rakyat.
2.
Keberanian, yakni keberanian dalam pengambilan
keputusan dan kebijakan dengan penuh integritas dan kejujuran sesuai dengan
prosedur yang benar, dengan tetap tabah dan ulet dalam pelaksanaan kebijakannya
itu, tidak takut dengan intimidasi, tekanan, desakan dari elit politik, elit
penguasa, kelompok atau organisasi sosial tertentu.
3.
Keadilan yang berwatak kemurahan hati, yakni
kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok dengan etik.
Selain itu, melaksanakan pelayanan publik yang berbasis pada koridor
integritas, kejujuran dan kesamaan.
f.
Kesetaraan (Equity)
Asas kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan dan
pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua
penyelenggara pemerintahan di Indonesia baik pusat dan daerah karena kenyataan sosiologis Indonesia sebagai
bangsa yang majemuk baik etnis, agama maupun budaya.[9]
g.
Efektifitas (Effectiveness) dan Efisiensi
(Effeciency)
Efektif dan efisien yakni berdaya guna dan
berhasil guna. Kriteria efektifitas biasanya diukur dengan parameter produk
yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai
kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan asas efisiensi diukur dengan
rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat.
Agar pemerintahan itu efektif dan efisien, maka
para pejabat perancang dan pelaksana tugas-tugas pemerintahan harus mampu
menyusun perencanaa-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat,
dan disusun secara rasional dan terukur. Dengan perencanaan yang rasional
tersebut, maka harapkan partisipasi masyarakat akan dapat digerakkan dengan
mudah karena program-program itu menjadi bagian dari kebutuhan mereka.
h.
Akuntabilitas (Accountability)
Asas akuntabilitas adalah pertanggung jawaban
pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi
kepentingan mereka. Pengembangan akuntabilitas dalam rangka Good and Clean
Governance bertujuan agar para pejabat atau unsur-unsur yang diberi kewenanan
mengelola urusan publik senantiasa terkontrol dan tidak memiliki peluang untuk
melakukan penyimpangan.
Secara teoritis akuntabilitas menyangkut dua
dimensi, yaitu :
1.
Akuntabilitas vertikal, menyangkut hubungan antara
pemegang kekuasaan dengan rakyatnya antara pemerintah dan warganya. Rakyat
melalui partai poliotik, LSM, institusi-institusi lainnya berhak meminta
pertanggung jawaban kepada pemegang kekuasaan negara. Akuntabilitas vertikal
ini memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggungjawabkan
berbagai kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih
tinggi.
2.
Akuntabilitas horizontal yaitu pertanggug jawaban
pemegang jabatan publik pada lembaga yang setara seperti Gubernur dengan DPRD
tingkat I, DPRD tingkat II dengan Bupati. Setiap anggota DPR harus mampu
mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukannya terhadap konsituennya.
Demikian pula dengan pejabat publik dalam struktur pemerintahan, harus mampu
mempertanggung jawabkan kapabilitas dan loyalitas individualnya baik dalam
lingkungan profesi setaranya maupun terhadap atasannya.
i.
Visi Strategi (Strategic Vision)
Yaitu
pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang karena perubahan
dunia dengan kemjuan teknologinya begitu cepat.
Seseorang yang menempati jabatan publik harus mempunyai kemampuan
menganalisa persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang
dipimpinnya. Dalam tataran nasional, apa yang dihadapi dan di inginkan oleh
bangsa pada 20 tahun mendatang misalnya, sudah harus di rumuskan dan disusun
dalam rencana –rencana strategis.
C. Good and Clean
Governance dan Kontrol Sosial
Keteribatan masyarakat dalam proses pengelolaan
lembaga pemerintahan pada akhirnya akan melahirkan kontrol masyarakat terhadap
jalannya pengelolaan lembaga pemerintahan. Kontrol masyarakat akan berdampak
pada pemerintahan yang baik dan bersih, bebas dari KKN. Untuk mewujudkan Good
and Clean Governance berdasarkan prinsip-prinsip pokoknya, dapat dilakukan
melalui pelaksanaan prioritas program, yaitu :
1.
Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan
Penguatan
peran lembaga perwakilan rakyat MPR, DPR dan DPRD mutlak dilakukan dalam rangka
peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya pemerintahan.
2.
Kemandirian lembaga peradilan
Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa berdasarkan prinsip Good and Clean Governance peningkatan
profesionalitas aparat penegak hukum dan kemandirian lembag aperadilan mutlak
dilakukan.
3.
Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah
Perubahan
paradigma aparatur negar dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis
(pelayanan rakyat) harus dibarengi dengan peningkatan profesionalitas dan
integritas moral jajaran birokrasi pemerintah.
4.
Penguatan lembaga
peradilan
Penigkatan partisipasi masyarakat Madani ( civil
society ) dalam merealisasikan pemerintahan
yang bersih dan berwibawa. Partisipasi masyarakat sipil dalam proses
kebijakan publik mutlak harus dilakukan dan difasilitasi oleh negara (
pemerintah ).
5.
Perangkat kesejahteraan rakyat dalam kerangka
otonomi daerah
Pengelolaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa
dapat dilakukan di semua tingkatan, baik pusat maupun daerah untuk
merealisasikan prinsip-prinsip Good and Clean Governance, kebijakan otonomi
daerah dapat dijadikan sebagai media transformasi perwujudan model pemerintahan
yang menopang tumbuhnya demokrasi di Indonesia.10
Dalam tata pemerintahan yang baru perlu
dikembangkan hubungan yang sinergis antara warga negara dengan pemerintah. Hal
ini bisa dilakukan dengan melibatkan warga negara ikut serta dalam perumusan
kebijakan dan implementasinya.[10]
D. Tata Kelola Pemerintahan
Yang Bersih (Clean Governance) dan Gerakan Anti KKN
Korupsi adalah suatu permasalahan besar yang
merusak keberhasilan pembangunan nasional menjadikan ekonomi berbahaya tinggi,
politik yang tidak sehat dan moralitas yang terus menerus melorot.
Beberapa hal yang menjadi akar masalah terjadinya
korupsi antara lain :
·
Kemiskinan, kemiskinan telah menjadi sebuah mekanisme yang
membuat korupsi menjadi sesuatu yang lumrah. Korupsi dengan latar belakang
kemiskinan dapat dikatakan berasal dari kebutuhan.
·
Kekuasaan, hal ini menjadi alasan karena kekuasaan sering
membuat orang berlaku semena-mena.
·
Budaya, Prof. Toshiko Kinoshita mengemukakan bahwa masyarakat Indonesia adalah
masyarakat dengan sistem keluarga besar atau extended family.
·
Ketidaktahuan, hal ini menjadi alasan karena kadang dana yang
diberikan sering kali tidak diketahui peruntukannya dan karena tidak tahu, maka
ketika ada masalah, dana tersebut yang dijadikan sebagai korupsi.
·
Rendahnya kualitas moral masyarakat, disebabkan karena kemiskinan dan
kualitas pendidikan dari masyarakat tersebut.
·
Lemahnya kelembagaan politik dari suatu negara. Kelembagaan adalah sistem hukum dan
penerapannya, lembaga publik yang memang tidak dibentuk untuk siap memberikan
insentif yang wajar.
·
Penyakit bersama, dengan cepat korupsi menular dari kawasan ke
kawasan yang lain.
Beberapa hal yang diakibatkan dari
perilaku korupsi, yaitu :
1.
Tindak korupsi mencerminkan kegagalan mencapai
tujuan-tujuan yang ditetapkan pemerintah.
2.
Korupsi mencerminkan kenaikan harga administrasi
(pembayar pajak harus ikut menyuap, karena membayar beberapa kali lipat untuk
pelayanan yang sama).
3.
Korupsi dalam pemerintahan menurunkan rasa hormat
kepada kekuasaan.
4.
Korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar.
5.
Korupsi menimbulkan perkara yang harus dibawa ke
pengadilan dan tuduhan-tuduhan palsu yang digunakan pada pejabat yang jujur
untuk tujuan pemerasan.
Jeremy Pope menawarkan
strategi untuk memberantas korupsi yang mengedepankan kontrol kepada dua unsur
paling berperan dalam tindak korupsi, peluang korupsi dan keinginan korupsi.
Upaya-upaya penanggulangan korupsi antara lain :
1.
Pejabat negara dan pimpinan lembaga pemerintahan
secara proaktif melakukan pencegahan dan pemberantasan perilaku dan tindak pidana
korupsi.
2.
Penegakan hukum secara adil.
3.
Membangun lembaga-lembaga yang mendukung upaya
pencegahan korupsi.
4.
Memberikan pendidikan anti korupsi, baik formal
maupun non formal.
5.
Gerakan religiusitas yaitu gerakan membangun
kesadaran keagamaan dan mengembangkan spiritualitas anti korupsi.
E. Tata Kelola
Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) dan Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik
Pelayanan umum atau publik adalah pemberian jasa
baik oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah ataupun swasta kepada masyarakat,
dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan atau kepentingan
masyarakat.
Ada beberapa alasan sebagaimana dikemukakan oleh
Agus Dwiyanto, mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai
pengembangan dan penerapan Good Governance di Indonesia, yaitu :
1.
Pelayanan publik selama ini menjadi ranah (area)
dimana negara yang diwakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga non
pemerintah.
2.
Pelayanan publik adalah ranah dimana berbagai
aspek Good Governance dapat diartikan dengan mudah.
3.
Pelayanan publik melibatkan kepantingan semua
unsur Governance yaitu pemerintah masyarakat dan mekanisme pasar.[11]
Tujuan
pembentukan organisasi publik atau birokrasi yaitu untuk memenuhi kebutuhan dan
melindungi kepentingan dan pelayanan publik, maka kinerja birokrasi tersebut
dinyatakan berhasil apabila mampu mewujudkan tujuannya yang dimaksud.
Kinerja birokrasi adalah
ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat percapaian sasaran
dan tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator
sebagai berikut :
1.
Indikator masukan (imputs) adalah segala sesuatu
yang dibutuhkan agar birokrasi mampu menghasilkan produknya baik barang atau
jasa yang meliputi SDM informasi, kebijakan.
2.
Indikator proses yaitu sesuatu yang berkaitan
dengan proses pekerjaan berkaitan dengan kesesuaian antara perencanaan dengan
pelaksanaan yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa
fisik ataupun non fisik.
3.
Indikator keluaran yaitu sesuatu yang diharapkan
langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik ataupun non fisik.
4.
Indikator hasil adalah segala sesuatu yang
mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek
langsung).
5.
Indikator manfaat adalah segala sesuatu yang
terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan.
6.
Indikator dampak yaitu pengaruh yang ditimbulkan
baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi kinerja birokrasi antara lain:
1.
Manajement organisasi dalam menerjemahkan dan
menyelaraskan tujuan birokrasi
2.
Budaya kerja dan organisasi pada birokrasi
3.
Kualitas sumber daya manusia yang dimiliki
birokrasi
4.
Kepemimpinan birokrasi yan efektif
5.
Koordinasi kerja pada birokrasi
Birokrasi publik di Indonesia disinyalir memiliki
kualitas SDM yang diragukan untuk dapat berkarya secara optimal, sehingga
pelayanan yang diberikan pun tidak akan optimal. SDM sebagai faktor penggerak
birokrasi sekaligus sebagai instrumen hidup yang berhubungan dengan tingkat
kinerja birokrasi. Oleh karena itu, SDM menjadi unsur penting dalam
menyelaraskan semua unit birokrasi yang ada, memperlancar mekanisme kinerja
dalam menyatukan tujuan birokrasi secara keseluruhan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Good And Clean Governance adalah
segala hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan,
mengendalikan atau mempengaruhi urusan pulik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut
dalam kehidupan sehari-hari.
Peinsip-prinsip Good and Clean
Governance antara lain : partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsif,
orientasi kesepakatan, keadilan, efektivitas dan efesiensi, akuntabilitas visi
strategis.
Kontrol masyarakat akan
berdampak pada pemerintahan yang baik dan efektif. Untuk mewujudkannnya
dilakukan melalui prioritas program: penguatan fungsi dan peran lembaga
perwakilan, kemandirian lembaga peradilan, profesionalitas dan integritas
aparatur pemerintah, penguatan partisipasi masyarakat madani, peningkatan
kesejahteraan rakyat dalam rangka otonomi daerah.
Tiga pilar penting pelayanan
publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan dan penerapan Good
and Clean Governance : pelayanan publik menjadi ranah (area) dimana negara yang
diwakili publik adalah ranah dimana berbagai aspek goog governance diartikulasikan
secara lebih mudah, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur
governance yaitu pemerintah, masyarakat dan mekanisme pasar, dengan demikian
pelayanan publik menjadi titik pangkal efektif kerja birokrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Prof. Dr. Azumard, MA. 2003.
Demikrasi Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE Syarif Hidayatullah. Ibid.
Bakti, Andi Faisal. 2000. Good
Governance a Workable Solution for Indonesia. Jakarta : IAIN Press.
Billah, MM. 2001. Good Governace dan
Kontrol Sosial. Jakarta : Jurnal Prisma.
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good
Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta : UGM Press.
Kumorotomo, Wahyu. 1999. Etika
Administrasi Negara. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Rozak, Abdul dan Ubaidillah, A. 2006. Demokrasi,
HAM, Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE Syarif Hidayatullah.
UNDP. 1997. Reconceptualising
Governance, Paper of Management Development and Governance Bureau for Policy
and Programme Support. Jakarta.
Ibid.
[1] Andi Faisal Bakti. Good Governance a
Workable Solution for Indonesia. Jakarta
: IAIN Press. 2000
[2] UNDP. Reconceptualising Governance,
Paper of Management Development and Governance Bureau for Policy and Programme
Support. Jakarta. 1997.
[3] Prof. Dr. Azumardi Azra, MA. Demikrasi Masyarakat Madani.
Jakarta : ICCE Syarif Hidayatullah. 2003
[4] Ibid.
[5] A. Ubaidillah dan Abdul Rozak. Demokrasi,
HAM, Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE Syarif Hidayatullah. 2006
[6] Wahyu Kumorotomo. Etika Administrasi Negara.
Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1999.
[7] Ibid.
[8] A. Ubaidillah dan Abdul Rozak. Demokrasi,
HAM, Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE Syarif Hidayatullah. 2006
[9] Ibid.
[10] MM. Billah . Good Governace dan Kontrol
Sosial. Jakarta : Jurnal Prisma. 2001.
[11] Agus Dwiyanto. Mewujudkan Good
Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta : UGM Press. 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar