}
Free Atom Cursors at www.totallyfreecursors.com
Setelah itu copy kod JieZunaE: hiwalah

Minggu, 26 Februari 2012

hiwalah

BAB I
PENDAHULUAN
           
            Dalam kehidupan di dunia ini manusia tak pernah lepas dari manusia yang lain, antara lain manusia yang satu membutuhkan manusia yang lain dalam hal apapun bahkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sekalipun. Maka dari itu setiap manusia seharusnya mampu menjalin hubungan baik dengan manusia yang lain. Allah telah mengatur hubungan antara manusia dengan manusia agar tercipta keselamatan dunia dan akhirat. Hubungan yang mengatur manusia yang satu dengan manusia yang lain dapat kita temui dalam berbagai ilmu, salah satunya adalah fiqih muamalah. Fiqih muamalah ini memberikan manusia jalan atau cara dalam menyelesaikan persoalan hidup khususnya dalam hal harta agar manusia selalu berada di jalan yang diridhoi Allah SWT. Dalam fiqih muamalah ini membahas tentang jual-beli, riba, hutang piutang, gadai dll.
            Hutang piutang merupakan istilah yang tak asing lagi di telinga kita. Orang yang mampu memberikan hutangnya kepada orang yang membutuhkan, terkadang kegiatan hutang piutang tidak hanya dilakukan/melibatkan 2 orang saja namun lebih. Dalam kegiatang hutang piutang ini ada istilah hiwalah, yaitu pemindahan hutang, hiwalah ini dilakukan ketika seseorang yang berhutang tidak mampu memenuhi kewajiban membayar hutang tersebut. Namun pemindahan ini ada ketentuan-ketentuan yang harus diketahui bersama.
            Menimbang pentingnya masalah hiwalah ini maka penyusun makalah membahasnya di dalam makalah ini.








BAB II
PEMBAHASAN

HIWALAH (PEMINDAHAN HUTANG)
A.    Pengertian
Menurut bahasa yang dimaksud dengan hiwalah adalah al-intiqal dan al-tahwil artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdur Rahman Al Jaziri[1] berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah :
النقل من محل الى محل
“Pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain”.
Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah[2], para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya antara lain sebagai berikut :
1.      Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah adalah :
نقل مطالبة من ذمة المد يون الى ذمة الملتزم
“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula”[3]
2.      Menurut Syafi’I, Maliki dan Hanbali, hiwalah adalah :
“Pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak yang lain”.[4]
3.      Al Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah adalah :
Pernikahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain.
4.      Syihab Al Din Al Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah adalah :
عقد يقض انتقال دين من ذمة إلى ذمة
“Akad yang menetapkan pemindahan beban hutang dari seseorang kepada yang lain”.[5]
5.      Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hiwalah adalah pemindahan dari tanggungan muhil menjdai tanggungan muhal’alaihi.[6]
  1. Menurut Idris Ahmad, hiwalah adalah semacam akad (ijab Kabul) pemindahan hutang dari tanggungan seseorang yang berhutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkannya.

Dapat disimpulkan hiewalah merupakan pengalihan hutang dari tanggung jawab seseorang kepada tanggung jawab orang lain.

Muhil


Muhal’alaih                                         Muhal

B.     Dasar Hukum Hiwalah
Islam mensyari’atkan dan membolehkan hiwalah karena kebutuhan manusia.
a.      Sunnah
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda :

مطلع الغني ظلم فاذا اتبع احدكم ملي مليتبع
 “Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah.” [7]
Dalam hadits tersebut, Rosulullah memerintahkan kepada oran yang menghutangkan, apabila oran yang berhutang mengalihkan pembayarannya kepada orang kaya dan mampu, dianjurkan untuk menerima tawaran tersebut. Dan ia harus menagih orang yang mendapat pengalihan (muhal’alaih) agar haknya terpenuhi.[8]
b.      Ijma’
Ulama sepakat membolehkan hiwalah. Hiwalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang /  benda Karena hiwalah adalah perpindahan hutang. Oleh karena itu, harus pada uang atau kewajiban financial.[9]


C.    Rukun Hiwalah
Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan yang dilakukan hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan Kabul (pernyataan menerima hiwalah) dari muhal (pihak kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak ketiga).
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, rukun hiwalah ada 6 :
1.      Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan (memindahkan) utang
2.      Pihak kedua (muhal)
3.      Pihak ketiga (muhal ‘alaih)
4.      Ada piutang muhil kepada muhal
5.      Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil
6.      Ada sighat hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya, “Aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul dari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima hiwalah engkau”.
(Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iayah, hal. 57-58) [10]

D.    Syarat Sah Hiwalah
Semua Imam madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) menyatakan bahwa hiwalah menjadi sah apabila sudah terpenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan muhil (pihak pertama), muhal dan muhal ‘alih serta berkaitan dengan hutang tersebut.

·         Syarat bagi muhil :
a.       Baligh dan berakal
Hiwalah tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti (mumayyiz) ataupun dilakukan oleh orang gila.
b.      Ridha
Jika muhil (pihak pertama) dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad tersebut tidak sah.

·         Syarat bagi muhal  :
a.       Baligh dan berakal
b.      Ada persetujuan (ridha) dari muhal terhadap muhil yang melakukan hiwalah (madzhab Hanafi, sebagian besar madzhab Maliki dan Syafi’i)

·         Syarat bagi muhal ‘alaih :
a.       Baligh dan berakal
b.      Ada persetujuan dari muhal ‘alaih (madzhab Hanafi). Sedangkan menurut madzhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) tidak mensyaratkan hal ini sebab dalam akad hiwalah, muhal ‘alaih dipandang sebagai objek akad.

·         Syarat bagi hutang yang dialihkan :
a.       Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti.
b.      Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas dan kuantitasnya.[11]

Sementara itu, syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah sebagai beriokut :
1.      Relanya pihak muhil dan muhal tanpa adanya tekanan dari pihak muhal’alaih.
Bagi muhal’alaih rela maupun tidak rela, tidak akan memperngaruhi kesalahan hiwalah. Ada juga yang mengatakan bahwa muhal tidak disyaratkan rela, yang harus rela adalah muhil. Hal ini karena Rosulullah telah bersabda :
 “......dan jika salah seorang diantara kamu dihiwalahkan kepada orang kaya, maka terimalah”.
2.      Samanya hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas dan kuantitasnya.
3.      Stabilnya muhal’alaih, maka penghiwalahan kepada seorang yang tidak mampu membayar hutang adalah batal.
4.      Kedua belah pihak mengetahui hak tersebut secara jelas.

E.     Beban Muhil Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Jika muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil. Hal ini adalah pendapat Ulama Jumhur.
Menurut Madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal’alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar maka muhal boleh kembali kepada muhil. Menurut Imam Malik, orang yang menghiwalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Menurut Abu Hanifah,  Syarih dan Usman bahwa dalam keadaan muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil untuk menagih hutangnya.[12]

F.     Jenis-jenis Hiwalah
Akad Hiwalah, dalam praktiknya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok. Yang pertama adalah berdasarkan jenis pemindahannya. Dan yang kedua adalah berdasarkan rukun hiwalahnya.
Berdasarkan jenis pemindahannya, hiwalah dibagi menjadi 2 :
1.      Hiwalah Dayn : Pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain.
2.      Hiwalah haq : Pemindahan kewajiban piutang kepada orang lain.

Berdasarkan rukun hiwalah, hiwalah terdiri dari :
1.      Hiwalah Muqayyadah : Hiwalah yang terjadi dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal Alaih, dengan mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya.
2.      Hiwalah Muthlaqah : Hiwalah dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal alaih, tanpa mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya.[13]
Hiwalah Muthlaqah ini sesuai dengan konsep anjak piutang pada praktik Perbankan,

G.    Aplikasi Hiwalah dalam Institusi Keuangan

Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang.
Saat ini, akad hiwalah juga dapat diaplikasikan di Lembaga Keuangan Syari’ah, seperti anjak piutang maupun debt transfer. BMT BIF Gedongkuning sebagai salah satu Lembaga Keuangan Syari’ah juga menggunakan akad hiwalah sebagai salah satu produk pembiayaan. Akad hiwalah digunakan jika anggota mengajukan pinjaman untuk keperluan membayar biaya Rumah Sakit, sekolah atau membayar hutang anggota di pihak lain yang hampir jatuh tempo.
Transaksi berbentuk hiwalah ini dalam praktik sehari-hari sekarang berlaku pada pengiriman uang yang melalui pos atau bank, mengikuti cara hiwalah ini. Dalam cara ini, tidak diperlukan suatu akad, namun pihak-pihak harus melakukan sesuatu yang dapat dipahami bahwa usaha pengalihan hutang itu telah berjalan atas dasar suka sama suka.






BAB III
PENUTUP

Ø  KESIMPULAN

Hiwalah adalah memindahan hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).
Di dalam Islam kegiatan hiwalah ini diperbolehkan karena untuk kebutuhan manusia. Adapun dasar hukum hiwalah ini dapat dilihat pada hadits yang isinya Rosulullah memerintahkan kepada orang yang mengutangkan apabila yang berhutang mengalihkan pembayarannya kepada orang kaya dan mampu, dianjurkan untuk menerima tawaran tersebut. Salain hadits, hukum yang lain adalah ijma’. Agar hiwalah dilksanakan dengan sah maka harus dipenuhi rukun dan syarat sahnya akad hiwalah. Adapun rukun akad hiwalah adalah muhil, muhal, muhal’alaih, muhal bih 1, muhal bih 2 dan akad. Sedangkan syarat sahnya adalah pelaku hiwalah yang baligh dan berakal, ridha, sesuatu yang dialihkan itu jelas dan sama baik jenis, kuantitas, kualitas dan tempo waktu penyelesaiannya.
Jika akad hiwalah berjalan dengan sah, maka dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur.












DAFTAR PUSTAKA

·         Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani Press.
·         Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafi.
·         Suhendi, Hendi. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta : Rajawali Pers.
·         Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta : Prenada Media.
·         Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah. Jakarta : Pena Pundi Aksara.
·         Sabiq, Sayyid. 2007. Akad dan Produk Bank Syari’ah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
·         Pasar Islam Bandung. Diambil tanggal 15 September 2011 dari http://warungghuroba.wordpress.com/2010/09/23/bab-10-hiwalah pemindahan-hutang/
·         Yogaswara Rhesa. Diambil tanggal 15 September 2011 dari  http://viewislam.wordpress.com/2009/3/konsep-akad-hiwalah-dalam-fiqh-muamalah/


[1] Al-fiqh ‘ala Madzahib al-arba’ah, hlm. 210 dikutip HEndi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta : Rajawali Pers 2007). hlm. 99
[2] Ibid
[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta : Rajawali Pers 2007). hlm. 99
[4] Pasar Islam Bandung, BAB 10 Pemindahan Hutang, http://warungghuroba.wordpress.com/2010. diakses 15/9/2011
[5] Qalyubi wa Umaira, Daral-Ihya al Kutub al Arabiyah Indonesia, tth 318 di kutip Hendi, Fiqh Muamalah (Jakarta : Rajawali Pers 2007) hlm. 100
[6] Fiqh al-sunnah, hlm. 42. dikutip HEndi Suhendi, , Fiqh Muamalah (Jakarta : Rajawali Pers 2007) hlm. 101

[7] HP. Ahmad dalam sanadnya terdapat perawi yang lemah, meskipun demikian hadits ini diriwayatkan dengan jalan-jalan lain yang menguatkan. Lihat Nasbu ar-Rayah 2/59 dan Subulus Salam 3/61. di kutip M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik. (Jakarta : Gema Insani Press 2001) hlm. 126.
[8] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 4 (Jakarta : PUndi Aksara 206) hlm. 223
[9] Wahbah az-Zuhaily, al-fiqhu al-Islami wa Adillatuhu (Beirut : Darul-fikr.1998) V0/V1. hlm. 4189 dikutip M. Syafi’i Antonio. Op.cit. hlm. 127
[10] Pasar Islam Bandung. Bab 10-Pemindahan Hutang. http://warungghuroba.wordpress.com/2010 diakses 15/9/2011

[11] Ibid
[12] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. Hlm. 44 dikutip dikutip HEndi Suhendi, , Fiqh Muamalah (Jakarta : Rajawali Pers 2007) hlm. 103

[13] Rhesa Yogaswara, Konsep Akad Hiwalah dalam Fiqh Muamalah http://viewislam.wordpress.com/2009. diakses 15/9/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar