BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan di dunia ini
manusia tak pernah lepas dari manusia yang lain, antara lain manusia yang satu
membutuhkan manusia yang lain dalam hal apapun bahkan dalam pemenuhan kebutuhan
hidup sekalipun. Maka dari itu setiap manusia seharusnya mampu menjalin
hubungan baik dengan manusia yang lain. Allah telah mengatur hubungan antara
manusia dengan manusia agar tercipta keselamatan dunia dan akhirat. Hubungan
yang mengatur manusia yang satu dengan manusia yang lain dapat kita temui dalam
berbagai ilmu, salah satunya adalah fiqih muamalah. Fiqih muamalah ini
memberikan manusia jalan atau cara dalam menyelesaikan persoalan hidup
khususnya dalam hal harta agar manusia selalu berada di jalan yang diridhoi
Allah SWT. Dalam fiqih muamalah ini membahas tentang jual-beli, riba, hutang
piutang, gadai dll.
Hutang piutang merupakan istilah
yang tak asing lagi di telinga kita. Orang yang mampu memberikan hutangnya
kepada orang yang membutuhkan, terkadang kegiatan hutang piutang tidak hanya
dilakukan/melibatkan 2 orang saja namun lebih. Dalam kegiatang hutang piutang
ini ada istilah hiwalah, yaitu pemindahan hutang, hiwalah ini dilakukan ketika
seseorang yang berhutang tidak mampu memenuhi kewajiban membayar hutang
tersebut. Namun pemindahan ini ada ketentuan-ketentuan yang harus diketahui
bersama.
Menimbang pentingnya masalah hiwalah
ini maka penyusun makalah membahasnya di dalam makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
HIWALAH
(PEMINDAHAN HUTANG)
A.
Pengertian
Menurut
bahasa yang dimaksud dengan hiwalah adalah al-intiqal dan al-tahwil artinya
ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdur Rahman Al Jaziri[1]
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah
menurut bahasa
ialah :
النقل من محل الى محل
“Pemindahan dari
suatu tempat ke tempat yang lain”.
Sedangkan
pengertian hiwalah menurut istilah[2],
para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya antara lain sebagai berikut :
1.
Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah
adalah :
نقل مطالبة من ذمة
المد يون الى ذمة الملتزم
“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada
yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula”[3]
2.
Menurut Syafi’I, Maliki dan Hanbali, hiwalah
adalah :
“Pemindahan atau
pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak
yang lain”.[4]
3.
Al Jaziri berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan hiwalah adalah :
Pernikahan utang
dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain.
4.
Syihab Al Din Al Qalyubi
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah adalah :
عقد يقض انتقال دين من ذمة إلى ذمة
“Akad yang menetapkan pemindahan beban hutang dari
seseorang kepada yang lain”.[5]
5.
Menurut Sayyid Sabiq, yang
dimaksud dengan hiwalah adalah pemindahan dari tanggungan muhil menjdai
tanggungan muhal’alaihi.[6]
- Menurut Idris Ahmad, hiwalah adalah semacam akad (ijab Kabul) pemindahan hutang dari tanggungan seseorang yang berhutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkannya.
Dapat disimpulkan hiewalah merupakan pengalihan hutang
dari tanggung jawab seseorang kepada tanggung jawab orang lain.
Muhil
Muhal’alaih Muhal
B.
Dasar Hukum Hiwalah
Islam mensyari’atkan dan membolehkan hiwalah karena
kebutuhan manusia.
a.
Sunnah
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah SAW bersabda :
مطلع الغني ظلم فاذا اتبع احدكم ملي
مليتبع
“Menunda-nunda pembayaran hutang yang
dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di
antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah.” [7]
Dalam
hadits tersebut, Rosulullah memerintahkan kepada oran yang menghutangkan, apabila
oran yang berhutang mengalihkan pembayarannya kepada orang kaya dan mampu,
dianjurkan untuk menerima tawaran tersebut. Dan ia harus menagih orang yang
mendapat pengalihan (muhal’alaih) agar haknya terpenuhi.[8]
b.
Ijma’
Ulama
sepakat membolehkan hiwalah. Hiwalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk
barang / benda Karena hiwalah adalah
perpindahan hutang. Oleh karena itu, harus pada uang atau kewajiban financial.[9]
C.
Rukun Hiwalah
Menurut madzhab Hanafi, rukun
hiwalah hanya ijab (pernyataan yang dilakukan hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan Kabul (pernyataan menerima hiwalah) dari muhal (pihak kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak ketiga).
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, rukun
hiwalah ada 6 :
1.
Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan
(memindahkan) utang
2.
Pihak kedua (muhal)
3.
Pihak ketiga (muhal ‘alaih)
4.
Ada piutang muhil kepada muhal
5.
Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil
6.
Ada sighat hiwalah yaitu ijab
dari muhil dengan kata-katanya,
“Aku hiwalahkan utangku
yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul dari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima hiwalah engkau”.
(Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iayah, hal. 57-58) [10]
D.
Syarat Sah Hiwalah
Semua
Imam madzhab (Maliki,
Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) menyatakan bahwa hiwalah
menjadi sah apabila
sudah terpenuhi
syarat-syarat yang berkaitan
dengan muhil (pihak pertama), muhal dan muhal ‘alih serta berkaitan
dengan hutang
tersebut.
·
Syarat bagi
muhil :
a.
Baligh
dan berakal
Hiwalah tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti (mumayyiz) ataupun dilakukan oleh orang gila.
b.
Ridha
Jika
muhil (pihak pertama) dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad tersebut tidak sah.
·
Syarat bagi
muhal :
a.
Baligh dan berakal
b.
Ada persetujuan (ridha) dari muhal terhadap muhil
yang melakukan hiwalah (madzhab
Hanafi, sebagian besar madzhab Maliki dan Syafi’i)
·
Syarat
bagi muhal ‘alaih :
a.
Baligh dan berakal
b.
Ada persetujuan dari muhal ‘alaih (madzhab Hanafi). Sedangkan
menurut madzhab lainnya
(Maliki, Syafi’i dan Hanbali) tidak
mensyaratkan hal ini sebab dalam akad hiwalah, muhal ‘alaih dipandang sebagai objek akad.
·
Syarat
bagi hutang yang dialihkan :
a.
Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti.
b.
Samanya kedua hak, baik jenis
maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas dan kuantitasnya.[11]
Sementara
itu, syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah sebagai beriokut :
1.
Relanya pihak muhil dan muhal
tanpa adanya tekanan dari pihak muhal’alaih.
Bagi
muhal’alaih rela maupun tidak rela, tidak akan memperngaruhi kesalahan hiwalah.
Ada juga yang mengatakan bahwa muhal tidak disyaratkan rela, yang harus rela
adalah muhil. Hal ini karena Rosulullah telah bersabda :
“......dan jika salah seorang diantara kamu dihiwalahkan kepada orang
kaya, maka terimalah”.
2.
Samanya hak, baik jenis maupun
kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas dan kuantitasnya.
3.
Stabilnya muhal’alaih, maka
penghiwalahan kepada seorang yang tidak mampu membayar hutang adalah batal.
4.
Kedua belah pihak mengetahui hak
tersebut secara jelas.
E.
Beban Muhil Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya
tanggung jawab muhil gugur. Jika muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau
membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi
kepada muhil. Hal ini adalah pendapat Ulama Jumhur.
Menurut Madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal,
ternyata muhal’alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk
membayar maka muhal boleh kembali kepada muhil. Menurut Imam Malik, orang yang
menghiwalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal’alaih mengalami
kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal
tidak boleh kembali kepada muhil.
Menurut Abu Hanifah,
Syarih dan Usman bahwa dalam keadaan muhal’alaih mengalami kebangkrutan
atau meninggal dunia maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil untuk menagih
hutangnya.[12]
F.
Jenis-jenis Hiwalah
Akad Hiwalah,
dalam praktiknya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok. Yang pertama adalah
berdasarkan jenis pemindahannya. Dan yang kedua adalah berdasarkan rukun hiwalahnya.
Berdasarkan jenis pemindahannya, hiwalah dibagi menjadi 2 :
1.
Hiwalah Dayn : Pemindahan
kewajiban melunasi hutang kepada orang lain.
2.
Hiwalah haq : Pemindahan kewajiban
piutang kepada orang lain.
Berdasarkan rukun hiwalah, hiwalah terdiri dari :
1.
Hiwalah Muqayyadah : Hiwalah yang terjadi dimana orang yang
berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal
Alaih, dengan mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya.
2.
Hiwalah Muthlaqah : Hiwalah dimana orang yang berhutang,
memindahkan hutangnya kepada Muhal alaih,
tanpa mengaitkannya pada hutang Muhal alaih
padanya.[13]
Hiwalah
Muthlaqah ini sesuai dengan konsep anjak piutang pada praktik
Perbankan,
G.
Aplikasi Hiwalah dalam
Institusi Keuangan
Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier
mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti
biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang
akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang
dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang.
Saat ini, akad hiwalah
juga dapat diaplikasikan di Lembaga Keuangan Syari’ah, seperti
anjak piutang maupun debt transfer. BMT BIF Gedongkuning sebagai salah satu
Lembaga Keuangan Syari’ah juga menggunakan akad hiwalah sebagai salah satu produk pembiayaan. Akad hiwalah digunakan jika anggota mengajukan
pinjaman untuk keperluan membayar biaya Rumah Sakit, sekolah atau membayar
hutang anggota di pihak lain yang hampir jatuh tempo.
Transaksi berbentuk hiwalah ini dalam praktik
sehari-hari sekarang berlaku pada pengiriman uang yang melalui pos atau bank,
mengikuti cara hiwalah ini. Dalam cara ini, tidak diperlukan suatu akad, namun
pihak-pihak harus melakukan sesuatu yang dapat dipahami bahwa usaha pengalihan
hutang itu telah berjalan atas dasar suka sama suka.
BAB
III
PENUTUP
Ø KESIMPULAN
Hiwalah adalah memindahan
hutang dari muhil (orang yang
berhutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang
yang berkewajiban membayar hutang).
Di dalam Islam kegiatan hiwalah ini diperbolehkan karena untuk kebutuhan
manusia. Adapun dasar hukum hiwalah ini dapat dilihat pada hadits yang isinya
Rosulullah memerintahkan kepada orang yang mengutangkan apabila yang berhutang
mengalihkan pembayarannya kepada orang kaya dan mampu, dianjurkan untuk
menerima tawaran tersebut. Salain hadits, hukum yang lain adalah ijma’. Agar
hiwalah dilksanakan dengan sah maka harus dipenuhi rukun dan syarat sahnya akad
hiwalah. Adapun rukun akad hiwalah adalah muhil, muhal, muhal’alaih, muhal bih
1, muhal bih 2 dan akad. Sedangkan syarat sahnya adalah pelaku hiwalah yang
baligh dan berakal, ridha, sesuatu yang dialihkan itu jelas dan sama baik
jenis, kuantitas, kualitas dan tempo waktu penyelesaiannya.
Jika akad hiwalah berjalan dengan sah, maka dengan sendirinya tanggung
jawab muhil gugur.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Antonio, Muhammad Syafi’i.
2001. Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani Press.
·
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum
Perdata Islam di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafi.
·
Suhendi, Hendi. 2000. Fiqh
Muamalah. Jakarta : Rajawali Pers.
·
Syarifuddin, Amir. 2003.
Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta : Prenada Media.
·
Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih
Sunnah. Jakarta : Pena Pundi Aksara.
·
Sabiq, Sayyid. 2007. Akad
dan Produk Bank Syari’ah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
·
Pasar Islam Bandung.
Diambil tanggal 15 September 2011 dari http://warungghuroba.wordpress.com/2010/09/23/bab-10-hiwalah pemindahan-hutang/
·
Yogaswara Rhesa. Diambil
tanggal 15 September 2011 dari http://viewislam.wordpress.com/2009/3/konsep-akad-hiwalah-dalam-fiqh-muamalah/
[1] Al-fiqh
‘ala Madzahib al-arba’ah, hlm. 210 dikutip HEndi Suhendi, Fiqh Muamalah
(Jakarta : Rajawali Pers 2007). hlm. 99
[2] Ibid
[3] Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta : Rajawali Pers 2007). hlm. 99
[4] Pasar
Islam Bandung, BAB 10 Pemindahan Hutang, http://warungghuroba.wordpress.com/2010.
diakses 15/9/2011
[5] Qalyubi wa Umaira, Daral-Ihya al
Kutub al Arabiyah Indonesia, tth 318 di kutip Hendi, Fiqh Muamalah (Jakarta :
Rajawali Pers 2007) hlm. 100
[6] Fiqh al-sunnah, hlm. 42. dikutip
HEndi Suhendi, , Fiqh Muamalah (Jakarta : Rajawali Pers 2007) hlm. 101
[7] HP.
Ahmad dalam sanadnya terdapat perawi yang lemah, meskipun demikian hadits ini
diriwayatkan dengan jalan-jalan lain yang menguatkan. Lihat Nasbu ar-Rayah 2/59
dan Subulus Salam 3/61. di kutip M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori
ke Praktik. (Jakarta : Gema Insani Press 2001) hlm. 126.
[8] Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 4 (Jakarta : PUndi Aksara 206) hlm. 223
[9] Wahbah
az-Zuhaily, al-fiqhu al-Islami wa Adillatuhu (Beirut : Darul-fikr.1998) V0/V1.
hlm. 4189 dikutip M. Syafi’i Antonio. Op.cit. hlm. 127
[10] Pasar Islam Bandung. Bab
10-Pemindahan Hutang. http://warungghuroba.wordpress.com/2010
diakses 15/9/2011
[11] Ibid
[12] Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah. Hlm. 44 dikutip dikutip HEndi Suhendi, , Fiqh Muamalah (Jakarta : Rajawali Pers 2007) hlm.
103
[13] Rhesa
Yogaswara, Konsep Akad Hiwalah dalam Fiqh Muamalah http://viewislam.wordpress.com/2009.
diakses 15/9/2011