}
Free Atom Cursors at www.totallyfreecursors.com
Setelah itu copy kod JieZunaE: Februari 2012

Minggu, 26 Februari 2012

hiwalah

BAB I
PENDAHULUAN
           
            Dalam kehidupan di dunia ini manusia tak pernah lepas dari manusia yang lain, antara lain manusia yang satu membutuhkan manusia yang lain dalam hal apapun bahkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sekalipun. Maka dari itu setiap manusia seharusnya mampu menjalin hubungan baik dengan manusia yang lain. Allah telah mengatur hubungan antara manusia dengan manusia agar tercipta keselamatan dunia dan akhirat. Hubungan yang mengatur manusia yang satu dengan manusia yang lain dapat kita temui dalam berbagai ilmu, salah satunya adalah fiqih muamalah. Fiqih muamalah ini memberikan manusia jalan atau cara dalam menyelesaikan persoalan hidup khususnya dalam hal harta agar manusia selalu berada di jalan yang diridhoi Allah SWT. Dalam fiqih muamalah ini membahas tentang jual-beli, riba, hutang piutang, gadai dll.
            Hutang piutang merupakan istilah yang tak asing lagi di telinga kita. Orang yang mampu memberikan hutangnya kepada orang yang membutuhkan, terkadang kegiatan hutang piutang tidak hanya dilakukan/melibatkan 2 orang saja namun lebih. Dalam kegiatang hutang piutang ini ada istilah hiwalah, yaitu pemindahan hutang, hiwalah ini dilakukan ketika seseorang yang berhutang tidak mampu memenuhi kewajiban membayar hutang tersebut. Namun pemindahan ini ada ketentuan-ketentuan yang harus diketahui bersama.
            Menimbang pentingnya masalah hiwalah ini maka penyusun makalah membahasnya di dalam makalah ini.








BAB II
PEMBAHASAN

HIWALAH (PEMINDAHAN HUTANG)
A.    Pengertian
Menurut bahasa yang dimaksud dengan hiwalah adalah al-intiqal dan al-tahwil artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdur Rahman Al Jaziri[1] berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah :
النقل من محل الى محل
“Pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain”.
Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah[2], para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya antara lain sebagai berikut :
1.      Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah adalah :
نقل مطالبة من ذمة المد يون الى ذمة الملتزم
“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula”[3]
2.      Menurut Syafi’I, Maliki dan Hanbali, hiwalah adalah :
“Pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak yang lain”.[4]
3.      Al Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah adalah :
Pernikahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain.
4.      Syihab Al Din Al Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah adalah :
عقد يقض انتقال دين من ذمة إلى ذمة
“Akad yang menetapkan pemindahan beban hutang dari seseorang kepada yang lain”.[5]
5.      Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hiwalah adalah pemindahan dari tanggungan muhil menjdai tanggungan muhal’alaihi.[6]
  1. Menurut Idris Ahmad, hiwalah adalah semacam akad (ijab Kabul) pemindahan hutang dari tanggungan seseorang yang berhutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkannya.

Dapat disimpulkan hiewalah merupakan pengalihan hutang dari tanggung jawab seseorang kepada tanggung jawab orang lain.

Muhil


Muhal’alaih                                         Muhal

B.     Dasar Hukum Hiwalah
Islam mensyari’atkan dan membolehkan hiwalah karena kebutuhan manusia.
a.      Sunnah
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda :

مطلع الغني ظلم فاذا اتبع احدكم ملي مليتبع
 “Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah.” [7]
Dalam hadits tersebut, Rosulullah memerintahkan kepada oran yang menghutangkan, apabila oran yang berhutang mengalihkan pembayarannya kepada orang kaya dan mampu, dianjurkan untuk menerima tawaran tersebut. Dan ia harus menagih orang yang mendapat pengalihan (muhal’alaih) agar haknya terpenuhi.[8]
b.      Ijma’
Ulama sepakat membolehkan hiwalah. Hiwalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang /  benda Karena hiwalah adalah perpindahan hutang. Oleh karena itu, harus pada uang atau kewajiban financial.[9]


C.    Rukun Hiwalah
Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan yang dilakukan hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan Kabul (pernyataan menerima hiwalah) dari muhal (pihak kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak ketiga).
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, rukun hiwalah ada 6 :
1.      Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan (memindahkan) utang
2.      Pihak kedua (muhal)
3.      Pihak ketiga (muhal ‘alaih)
4.      Ada piutang muhil kepada muhal
5.      Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil
6.      Ada sighat hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya, “Aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul dari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima hiwalah engkau”.
(Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iayah, hal. 57-58) [10]

D.    Syarat Sah Hiwalah
Semua Imam madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) menyatakan bahwa hiwalah menjadi sah apabila sudah terpenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan muhil (pihak pertama), muhal dan muhal ‘alih serta berkaitan dengan hutang tersebut.

·         Syarat bagi muhil :
a.       Baligh dan berakal
Hiwalah tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti (mumayyiz) ataupun dilakukan oleh orang gila.
b.      Ridha
Jika muhil (pihak pertama) dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad tersebut tidak sah.

·         Syarat bagi muhal  :
a.       Baligh dan berakal
b.      Ada persetujuan (ridha) dari muhal terhadap muhil yang melakukan hiwalah (madzhab Hanafi, sebagian besar madzhab Maliki dan Syafi’i)

·         Syarat bagi muhal ‘alaih :
a.       Baligh dan berakal
b.      Ada persetujuan dari muhal ‘alaih (madzhab Hanafi). Sedangkan menurut madzhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) tidak mensyaratkan hal ini sebab dalam akad hiwalah, muhal ‘alaih dipandang sebagai objek akad.

·         Syarat bagi hutang yang dialihkan :
a.       Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti.
b.      Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas dan kuantitasnya.[11]

Sementara itu, syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah sebagai beriokut :
1.      Relanya pihak muhil dan muhal tanpa adanya tekanan dari pihak muhal’alaih.
Bagi muhal’alaih rela maupun tidak rela, tidak akan memperngaruhi kesalahan hiwalah. Ada juga yang mengatakan bahwa muhal tidak disyaratkan rela, yang harus rela adalah muhil. Hal ini karena Rosulullah telah bersabda :
 “......dan jika salah seorang diantara kamu dihiwalahkan kepada orang kaya, maka terimalah”.
2.      Samanya hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas dan kuantitasnya.
3.      Stabilnya muhal’alaih, maka penghiwalahan kepada seorang yang tidak mampu membayar hutang adalah batal.
4.      Kedua belah pihak mengetahui hak tersebut secara jelas.

E.     Beban Muhil Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Jika muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil. Hal ini adalah pendapat Ulama Jumhur.
Menurut Madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal’alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar maka muhal boleh kembali kepada muhil. Menurut Imam Malik, orang yang menghiwalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Menurut Abu Hanifah,  Syarih dan Usman bahwa dalam keadaan muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil untuk menagih hutangnya.[12]

F.     Jenis-jenis Hiwalah
Akad Hiwalah, dalam praktiknya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok. Yang pertama adalah berdasarkan jenis pemindahannya. Dan yang kedua adalah berdasarkan rukun hiwalahnya.
Berdasarkan jenis pemindahannya, hiwalah dibagi menjadi 2 :
1.      Hiwalah Dayn : Pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain.
2.      Hiwalah haq : Pemindahan kewajiban piutang kepada orang lain.

Berdasarkan rukun hiwalah, hiwalah terdiri dari :
1.      Hiwalah Muqayyadah : Hiwalah yang terjadi dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal Alaih, dengan mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya.
2.      Hiwalah Muthlaqah : Hiwalah dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal alaih, tanpa mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya.[13]
Hiwalah Muthlaqah ini sesuai dengan konsep anjak piutang pada praktik Perbankan,

G.    Aplikasi Hiwalah dalam Institusi Keuangan

Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang.
Saat ini, akad hiwalah juga dapat diaplikasikan di Lembaga Keuangan Syari’ah, seperti anjak piutang maupun debt transfer. BMT BIF Gedongkuning sebagai salah satu Lembaga Keuangan Syari’ah juga menggunakan akad hiwalah sebagai salah satu produk pembiayaan. Akad hiwalah digunakan jika anggota mengajukan pinjaman untuk keperluan membayar biaya Rumah Sakit, sekolah atau membayar hutang anggota di pihak lain yang hampir jatuh tempo.
Transaksi berbentuk hiwalah ini dalam praktik sehari-hari sekarang berlaku pada pengiriman uang yang melalui pos atau bank, mengikuti cara hiwalah ini. Dalam cara ini, tidak diperlukan suatu akad, namun pihak-pihak harus melakukan sesuatu yang dapat dipahami bahwa usaha pengalihan hutang itu telah berjalan atas dasar suka sama suka.






BAB III
PENUTUP

Ø  KESIMPULAN

Hiwalah adalah memindahan hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).
Di dalam Islam kegiatan hiwalah ini diperbolehkan karena untuk kebutuhan manusia. Adapun dasar hukum hiwalah ini dapat dilihat pada hadits yang isinya Rosulullah memerintahkan kepada orang yang mengutangkan apabila yang berhutang mengalihkan pembayarannya kepada orang kaya dan mampu, dianjurkan untuk menerima tawaran tersebut. Salain hadits, hukum yang lain adalah ijma’. Agar hiwalah dilksanakan dengan sah maka harus dipenuhi rukun dan syarat sahnya akad hiwalah. Adapun rukun akad hiwalah adalah muhil, muhal, muhal’alaih, muhal bih 1, muhal bih 2 dan akad. Sedangkan syarat sahnya adalah pelaku hiwalah yang baligh dan berakal, ridha, sesuatu yang dialihkan itu jelas dan sama baik jenis, kuantitas, kualitas dan tempo waktu penyelesaiannya.
Jika akad hiwalah berjalan dengan sah, maka dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur.












DAFTAR PUSTAKA

·         Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani Press.
·         Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafi.
·         Suhendi, Hendi. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta : Rajawali Pers.
·         Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta : Prenada Media.
·         Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah. Jakarta : Pena Pundi Aksara.
·         Sabiq, Sayyid. 2007. Akad dan Produk Bank Syari’ah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
·         Pasar Islam Bandung. Diambil tanggal 15 September 2011 dari http://warungghuroba.wordpress.com/2010/09/23/bab-10-hiwalah pemindahan-hutang/
·         Yogaswara Rhesa. Diambil tanggal 15 September 2011 dari  http://viewislam.wordpress.com/2009/3/konsep-akad-hiwalah-dalam-fiqh-muamalah/


[1] Al-fiqh ‘ala Madzahib al-arba’ah, hlm. 210 dikutip HEndi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta : Rajawali Pers 2007). hlm. 99
[2] Ibid
[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta : Rajawali Pers 2007). hlm. 99
[4] Pasar Islam Bandung, BAB 10 Pemindahan Hutang, http://warungghuroba.wordpress.com/2010. diakses 15/9/2011
[5] Qalyubi wa Umaira, Daral-Ihya al Kutub al Arabiyah Indonesia, tth 318 di kutip Hendi, Fiqh Muamalah (Jakarta : Rajawali Pers 2007) hlm. 100
[6] Fiqh al-sunnah, hlm. 42. dikutip HEndi Suhendi, , Fiqh Muamalah (Jakarta : Rajawali Pers 2007) hlm. 101

[7] HP. Ahmad dalam sanadnya terdapat perawi yang lemah, meskipun demikian hadits ini diriwayatkan dengan jalan-jalan lain yang menguatkan. Lihat Nasbu ar-Rayah 2/59 dan Subulus Salam 3/61. di kutip M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik. (Jakarta : Gema Insani Press 2001) hlm. 126.
[8] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 4 (Jakarta : PUndi Aksara 206) hlm. 223
[9] Wahbah az-Zuhaily, al-fiqhu al-Islami wa Adillatuhu (Beirut : Darul-fikr.1998) V0/V1. hlm. 4189 dikutip M. Syafi’i Antonio. Op.cit. hlm. 127
[10] Pasar Islam Bandung. Bab 10-Pemindahan Hutang. http://warungghuroba.wordpress.com/2010 diakses 15/9/2011

[11] Ibid
[12] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. Hlm. 44 dikutip dikutip HEndi Suhendi, , Fiqh Muamalah (Jakarta : Rajawali Pers 2007) hlm. 103

[13] Rhesa Yogaswara, Konsep Akad Hiwalah dalam Fiqh Muamalah http://viewislam.wordpress.com/2009. diakses 15/9/2011

Sabtu, 25 Februari 2012


HADITS TENTANG MAKANAN YANG HALAL DAN BAIK


عَنِ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَا لَ: مَا اَكَلَ اَحَدٌ طَعَا مًا قَطٌّ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَأْ كُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَأَنَّ النَّبِيَّ اللهِ دَاوُدَا عَلَيْهِ السَّلَمَ كَانَ يَأْ كُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
( رواه البخا رى و مسلم)

1.        Makna Dan Mufradat
مَا اَكَلَ               : tidaklah makan
طَعَا مًا               : makanan
اَحَدٌ                   : seseorang
قَطٌّ                    : sedikitpun
مِنْ عَمَلِ            : dari hasil karya
يَدِهِ                   : tangannya sendiri

2.        Terjemahan
“Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda: “ Tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih baik daripada hasil karya tangannya sendiri (hasil usahanya sendiri). Dan sesungguhnya Nabi Dawud a.s. selalu makan dari hasil karya tangannya. ( HR. Bukhari dan Muslim)

Rabu, 15 Februari 2012

PENGERTIAN ZAKAT

PENDAHULUAN

Ummat Islam adalah ummat yang mulia, ummat yang dipilih Allah untuk mengemban risalah, agar mereka menjadi saksi atas segala ummat. Tugas ummat Islam adlah mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, tentram dan sejahtera dimanapun mereka berada. Karena itu ummat Islam seharusnya menjadi rahmat bagi sekalian alam.

Bahwa kenyataan ummat Islam kini jauh dari kondisi ideal, adalah akibat belum mampu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri (QS.
Ar-Ra'du : 11). Potensi-potensi dasar yang dianugerahkan Allah kepada ummat Islam belum dikembangkan secara optimal. Padahal ummat Islam memiliki banyak intelektual dan ulama, disamping potensi sumber daya manusia dan ekonomi yang melimpah. Jika seluruh potensi itu dikembangkan secara seksama, dirangkai dengan potensi aqidah Islamiyah (tauhid), tentu akan diperoleh hasil yang optimal. Pada saat yang sama, jika kemandirian, kesadaran beragama dan ukhuwah Islamiyah kaum muslimin juga makin meningkat maka pintu-pintu kemungkaran akibat kesulitan ekonomi akan makin dapat dipersempit.

Salah satu sisi ajaran Islam yang belum ditangani secara serius adalah penanggulanagn kemiskinan dengan cara mengoptimalkan pengumpulan dan pendayagunaan zakat, infaq dan shadaqah dalam arti seluas-luasnya. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW serta penerusnya di zaman keemasan Islam. Padahal ummat Islam (Indonesia) sebenarnya memiliki potensi dana yang sangat besar.

Terdorong dari pemikiran inilah, kami mencoba untuk menuliskan risalah zakat yang ringkas dan praktis agar dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Meskipun kami sadar bahwa rislah ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian kami berharap risalah ini dapat bermanfaat. Koreksi, kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan risalah zakat ini

Semoga Allah SWT mengampuni kekurangan dan kesalahan yang ada dalam risalah ini, serta mencatatnya sebagai amal shaleh. Amin
1.        Makna Zakat
Menurut Bahasa(lughat), zakat berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10)
Menurut Hukum Islam (istilah syara'), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy)
Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq.
Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.

2.        Penyebutan Zakat dan Infaq dalam Al Qur-an dan As Sunnah
a. Zakat (QS. Al Baqarah : 43)
b. Shadaqah (QS. At Taubah : 104)
c. Haq (QS. Al An'am : 141)
d. Nafaqah (QS. At Taubah : 35)
e. Al 'Afuw (QS. Al A'raf : 199)

3.        Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.
4.        Macam-macam Zakat
a. Zakat Nafs (jiwa), juga disebut zakat fitrah.
b. Zakat Maal (harta).

5.        Syarat-syarat Wajib Zakat
a. Muslim
b. Aqil
c. Baligh
d. Memiliki harta yang mencapai nishab

ZAKAT MAAL
1.        Pengertian Maal (harta)
Menurut bahasa (lughat), harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali sekali oleh manusia untuk memiliki, memanfaatkan dan menyimpannya
Menurut syar'a, harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki (dikuasai) dan dapat digunakan (dimanfaatkan) menurut ghalibnya (lazim).
sesuatu dapat disebut dengan maal (harta) apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
a.         Dapat dimiliki, disimpan, dihimpun, dikuasai
b.         Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan ghalibnya. Misalnya rumah, mobil, ternak, hasil pertanian, uang, emas, perak, dll.

2.        Syarat-syarat Kekayaan yang Wajib di Zakati
a.       Milik Penuh (Almilkuttam)
Yaitu : harta tersebut berada dalam kontrol dan kekuasaanya secara penuh, dan dapat diambil manfaatnya secara penuh. Harta tersebut didapatkan melalui proses pemilikan yang dibenarkan menurut syariat islam, seperti : usaha, warisan, pemberian negara atau orang lain dan cara-cara yang sah. Sedangkan apabila harta tersebut diperoleh dengan cara yang haram, maka zakat atas harta tersebut tidaklah wajib, sebab harta tersebut harus dibebaskan dari tugasnya dengan cara dikembalikan kepada yang berhak atau ahli warisnya.

b.      Berkembang
Yaitu : harta tersebut dapat bertambah atau berkembang bila diusahakan atau mempunyai potensi untuk berkembang.

c.       Cukup Nishab
Artinya harta tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan syara'. sedangkan harta yang tidak sampai nishabnya terbebas dari Zakat

d.      Lebih Dari Kebutuhan Pokok (Alhajatul Ashliyah)
Kebutuhan pokok adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya. Artinya apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat hidup layak. Kebutuhan tersebut seperti kebutuhan primer atau kebutuhan hidup minimum (KHM), misal, belanja sehari-hari, pakaian, rumah, kesehatan, pendidikan, dsb.

e.       Bebas Dari hutang
Orang yang mempunyai hutang sebesar atau mengurangi senishab yang harus dibayar pada waktu yang sama (dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut terbebas dari zakat.

f.       Berlalu Satu Tahun (Al-Haul)
Maksudnya adalah bahwa pemilikan harta tersebut sudah belalu satu tahun. Persyaratan ini hanya berlaku bagi ternak, harta simpanan dan perniagaan. Sedang hasil pertanian, buah-buahan dan rikaz (barang temuan) tidak ada syarat haul.


3.        Harta(maal) yang Wajib di Zakati
a.         Binatang Ternak
Hewan ternak meliputi hewan besar (unta, sapi, kerbau), hewan kecil (kambing, domba) dan unggas (ayam, itik, burung).

b.         Emas Dan Perak
Emas dan perak merupakan logam mulia yang selain merupakan tambang elok, juga sering dijadikan perhiasan. Emas dan perak juga dijadikan mata uang yang berlaku dari waktu ke waktu. Islam memandang emas dan perak sebagai harta yang (potensial) berkembang. Oleh karena syara' mewajibkan zakat atas keduanya, baik berupa uang, leburan logam, bejana, souvenir, ukiran atau yang lain.
Termasuk dalam kategori emas dan perak, adalah mata uang yang berlaku pada waktu itu di masing-masing negara. Oleh karena segala bentuk penyimpanan uang seperti tabungan, deposito, cek, saham atau surat berharga lainnya, termasuk kedalam kategori emas dan perak. sehingga penentuan nishab dan besarnya zakat disetarakan dengan emas dan perak.
Demikian juga pada harta kekayaan lainnya, seperti rumah, villa, kendaraan, tanah, dll. Yang melebihi keperluan menurut syara' atau dibeli/dibangun dengan tujuan menyimpan uang dan sewaktu-waktu dapat di uangkan. Pada emas dan perak atau lainnya yang berbentuk perhiasan, asal tidak berlebihan, maka tidak diwajibkan zakat atas barang-barang tersebut.

c.         Harta Perniagaan
Harta perniagaan adalah semua yang diperuntukkan untuk diperjual-belikan dalam berbagai jenisnya, baik berupa barang seperti alat-alat, pakaian, makanan, perhiasan, dll. Perniagaan tersebut di usahakan secara perorangan atau perserikatan seperti CV, PT, Koperasi, dsb.

d.        Hasil Pertanian
Hasil pertanian adalah hasil tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-mayur, buah-buahan, tanaman hias, rumput-rumputan, dedaunan, dll.

e.         Ma-din dan Kekayaan Laut
Ma'din (hasil tambang) adalah benda-benda yang terdapat di dalam perut bumi dan memiliki nilai ekonomis seperti emas, perak, timah, tembaga, marmer, giok, minyak bumi, batu-bara, dll. Kekayaan laut adalah segala sesuatu yang dieksploitasi dari laut seperti mutiara, ambar, marjan, dll.

f.          Rikaz
Rikaz adalah harta terpendam dari zaman dahulu atau biasa disebut dengan harta karun. Termasuk didalamnya harta yang ditemukan dan tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya.

NISHAB DAN KADAR ZAKAT
1.        HARTA PETERNAKAN
a.    Sapi, Kerbau dan Kuda
Nishab kerbau dan kuda disetarakan dengan nishab sapi yaitu 30 ekor. Artinya jika seseorang telah memiliki sapi (kerbau/kuda), maka ia telah terkena wajib zakat.
Berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh At Tarmidzi dan Abu Dawud dari Muadz bin Jabbal RA, maka dapat dibuat tabel sbb :

Jumlah Ternak(ekor)
Zakat
30-39
1 ekor sapi jantan/betina tabi' (a)
40-59
1 ekor sapi betina musinnah (b)
60-69
2 ekor sapi tabi'
70-79
1 ekor sapi musinnah dan 1 ekor tabi'
80-89
2 ekor sapi musinnah
Keterangan :
a. Sapi berumur 1 tahun, masuk tahun ke-2
b. Sapi berumur 2 tahun, masuk tahun ke-3

Selanjutnya setiap jumlah itu bertambah 30 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor tabi'. Dan jika setiap jumlah itu bertambah 40 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor musinnah.

b.      Kambing/domba
Nishab kambing/domba adalah 40 ekor, artinya bila seseorang telah memiliki 40 ekor kambing/domba maka ia telah terkena wajib zakat.
Berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Anas bin Malik, maka dapat dibuat tabel sbb :

Jumlah Ternak(ekor)
Zakat
40-120
1 ekor kambing (2th) atau domba (1th)
121-200
2 ekor kambing/domba
201-300
3 ekor kambing/domba

Selanjutnya, setiap jumlah itu bertambah 100 ekor maka zakatnya bertambah 1 ekor.

c.       Ternak Unggas (ayam,bebek,burung,dll) dan Perikanan
Nishab pada ternak unggas dan perikanan tidak diterapkan berdasarkan jumlah (ekor), sebagaimana halnya sapi, dan kambing. Tapi dihitung berdasarkan skala usaha.
Nishab ternak unggas dan perikanan adalah setara dengan 20 Dinar (1 Dinar = 4,25 gram emas murni) atau sama dengan 85 gram emas. Artinya bila seorang beternak unggas atau perikanan, dan pada akhir tahun (tutup buku) ia memiliki kekayaan yang berupa modal kerja dan keuntungan lebih besar atau setara dengan 85 gram emas murni, maka ia terkena kewajiban zakat sebesar 2,5 %

Contoh :
Seorang peternak ayam broiler memelihara 1000 ekor ayam perminggu, pada akhir tahun (tutup buku) terdapat laporan keuangan sbb:

1.Ayam broiler 5600 ekor seharga
2.Uang Kas/Bank setelah pajak
3.Stok pakan dan obat-obatan
4. Piutang (dapat tertagih)
Rp 15.000.000
Rp 10.000.000
Rp 2.000.000
Rp 4.000.000
Jumlah
Rp 31.000.000
5. Utang yang jatuh tempo
Rp 5.000.000
Saldo
Rp26.000.000

Besar Zakat = 2,5 % x Rp.26.000.000,- = Rp 650.000

Catatan :
Kandang dan alat peternakan tidak diperhitungkan sebagai harta yang wajib dizakati.
Nishab besarnya 85 gram emas murni, jika @ Rp 25.000,00 maka 85 x Rp 25.000,00 = Rp 2.125.000,00

d.      Unta
Nishab unta adalah 5 ekor, artinya bila seseorang telah memiliki 5 ekor unta maka ia terkena kewajiban zakat. Selanjtnya zakat itu bertambah, jika jumlah unta yang dimilikinya juga bertambah
Berdasarkan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas bin Malik, maka dapat dibuat tabel sbb:

Jumlah(ekor)
Zakat
5-9
1 ekor kambing/domba (a)
10-14
2 ekor kambing/domba
15-19
3 ekor kambing/domba
20-24
4 ekor kambing/domba
25-35
1 ekor unta bintu Makhad (b)
36-45
1 ekor unta bintu Labun (c)
45-60
1 ekor unta Hiqah (d)
61-75
1 ekor unta Jadz'ah (e)
76-90
2 ekor unta bintu Labun (c)
91-120
2 ekor unta Hiqah (d)

Keterangan:
(a) Kambing berumur 2 tahun atau lebih, atau domba berumur satu tahun atau lebih.
(b) Unta betina umur 1 tahun, masuk tahun ke-2
(c) Unta betina umur 2 tahun, masuk tahun ke-3
(d) Unta betina umur 3 tahun, masuk tahun ke-4
(e) Unta betina umur 4 tahun, masuk tahun ke-5

Selanjutnya, jika setiap jumlah itu bertambah 40 ekor maka zakatnya bertambah 1 ekor bintu Labun, dan setiap jumlah itu bertambah 50 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor Hiqah.

2.        EMAS DAN PERAK
Nishab emas adalah 20 dinar (85 gram emas murni) dan perak adalah 200 dirham (setara 672 gram perak). Artinya bila seseorang telah memiliki emas sebesar 20 dinar atau perak 200 dirham dan sudah setahun, maka ia telah terkena wajib zakat, yakni sebesar 2,5 %.

Demikian juga segala macam jenis harta yang merupakan harta simpanan dan dapat dikategorikan dalam "emas dan perak", seperti uang tunai, tabungan, cek, saham, surat berharga ataupun yang lainnya. Maka nishab dan zakatnya sama dengan ketentuan emas dan perak, artinya jika seseorang memiliki bermacam-macam bentuk harta dan jumlah akumulasinya lebih besar atau sama dengan nishab (85 gram emas) maka ia telah terkena wajib zakat (2,5 %).

Contoh :
Seseorang memiliki simpanan harta sebagai berikut :

Tabungan
Uang tunai (diluar kebutuhan pokok)
Perhiasan emas (berbagai bentuk)
Utang yang harus dibayar (jatuh tempo)
Rp 5 juta
Rp 2 juta
100 gram
Rp 1.5 juta

Perhiasan emas atau yang lain tidak wajib dizakati kecuali selebihnya dari jumlah maksimal perhiasan yang layak dipakai. Jika layaknya seseorang memakai perhiasan maksimal 60 gram maka yang wajib dizakati hanyalah perhiasan yang selebihnya dari 60 gram.
Dengan demikian jumlah harta orang tersebut, sbb :
1.Tabungan
2.Uang tunai
3.Perhiasan (10-60) gram @ Rp 25.000
Rp 5.000.000
Rp 2.000.000
Rp 1.000.000
Jumlah
Rp 8.000.000
Utang
Rp 1.500.000
Saldo
Rp 6.500.000


Besar zakat = 2,5% x Rp 6.500.000 = Rp 163.500,-\
Catatan :
Perhitungan harta yang wajib dizakati dilakukan setiap tahun pada bulan yang sama.

3.        PERNIAGAAN
Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dll) nishabnya adalah 20 dinar (setara dengan 85gram emas murni). Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja danuntung) lebih besar atau setara dengan 85 gram emas (jika pergram Rp 25.000,- = Rp 2.125.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5 %

Pada badan usaha yang berbentuk syirkah (kerjasama), maka jika semua anggota syirkah beragama islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum dibagikan kepada pihak-pihak yang bersyirkah. Tetapi jika anggota syirkah terdapat orang yang non muslim, maka zakat hanya dikeluarkan dari anggota syirkah muslim saja (apabila julahnya lebih dari nishab)

Cara menghitung zakat :
Kekayaan yang dimiliki badan usaha tidak akan lepas dari salah satu atau lebih dari tiga bentuk di bawah ini :
1. Kekayaan dalam bentuk barang
2. Uang tunai
3.  Piutang

Maka yang dimaksud dengan harta perniagaan yang wajib dizakati adalah yang harus dibayar (jatuh tempo) dan pajak.

Contoh :
Sebuah perusahaan meubel pada tutup buku per Januari tahun 1995 dengan keadaan sbb :

1.Mebel belum terjual 5 set
2.Uang tunai
3. Piutang
Rp 10.000.000
Rp 15.000.000
Rp 2.000.000
Jumlah
Rp 27.000.000
Utang & Pajak
Rp 7.000.000
Saldo
Rp 20.000.000

Besar zakat = 2,5 % x Rp 20.000.000,- = Rp 500.000,-

Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari, etalase pada toko, dll, tidak termasuk harta yang wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak berkembang)
Usaha yang bergerak dibidang jasa, seperti perhotelan, penyewaan apartemen, taksi, renal mobil, bus/truk, kapal laut, pesawat udara, dll, kemudian dikeluarkan zakatnya dapat dipilih diantara 2 (dua) cara:

4.         Pada perhitungan akhir tahun (tutup buku), seluruh harta kekayaan perusahaan dihitung, termasuk barang (harta) penghasil jasa, seperti hotel, taksi, kapal, dll, kemudian keluarkan zakatnya 2,5 %.

5.         Pada Perhitungan akhir tahun (tutup buku), hanya dihitung dari hasil bersih yang diperoleh usaha tersebut selama satu tahun, kemudian zakatnya dikeluarkan 10%. Hal ini diqiyaskan dengan perhitungan zakat hasil pertanian, dimana perhitungan zakatnya hanya didasarkan pada hasil pertaniannya, tidak dihitung harga tanahnya.

4.        HASIL PERTANIAN
Nishab hasil pertanian adalah 5 wasq atau setara dengan 750 kg. Apabila hasil pertanian termasuk makanan pokok, seperti beras, jagung, gandum, kurma, dll, maka nishabnya adalah 750 kg dari hasil pertanian tersebut.

Tetapi jika hasil pertanian itu selain makanan pokok, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daun, bunga, dll, maka nishabnya disetarakan dengan harga nishab dari makanan pokok yang paling umum di daerah (negeri) tersebut (di negeri kita = beras).

Kadar zakat untuk hasil pertanian, apabila diairi dengan air hujan, atau sungai/mata/air, maka 10%, apabila diairi dengan cara disiram / irigasi (ada biaya tambahan) maka zakatnya 5%.

Dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa pada tanaman yang disirami zakatnya 5%. Artinya 5% yang lainnya didistribusikan untuk biaya pengairan. Imam Az Zarqoni berpendapat bahwa apabila pengolahan lahan pertanian diairidengan air hujan (sungai) dan disirami (irigasi) dengan perbandingan 50;50, maka kadar zakatnya 7,5% (3/4 dari 1/10).

Pada sistem pertanian saat ini, biaya tidak sekedar air, akan tetapi ada biaya lain seperti pupuk, insektisida, dll. Maka untuk mempermudah perhitungan zakatnya, biaya pupuk, intektisida dan sebagainya diambil dari hasil panen, kemudian sisanya (apabila lebih dari nishab) dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% (tergantung sistem pengairannya).

ZAKAT PROFESI

Dasar Hukum
Firman Allah SWT:
dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bagian
(QS. Adz Dzariyat:19)

Firman Allah SWT:
Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.
(QS Al Baqarah 267)

Hadist Nabi SAW:
Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu
(HR. AL Bazar dan Baehaqi)

Hasil Profesi
Hasil profesi (pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, notaris, dll) merupakan sumber pendapatan (kasab) yang tidak banyak dikenal di masa salaf(generasi terdahulu), oleh karenanya bentuk kasab ini tidak banyak dibahas, khusunya yang berkaitan dengan "zakat". Lain halnya dengan bentuk kasab yang lebih populer saat itu, seperti pertanian, peternakan dan perniagaan, mendapatkan porsi pembahasan yang sangat memadai dan detail. Meskipun demikian bukan berarti harta yang didapatkan dari hasil profesi tersebut bebas dari zakat, sebab zakat pada hakekatnya adalah pungutan harta yang diambil dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin diantra mereka (sesuai dengan ketentuan syara'). Dengan demikian apabila seseorang dengan hasil profesinya ia menjadi kaya, maka wajib atas kekayaannya itu zakat, akan tetapi jika hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup (dan keluarganya), maka ia menjadi mustahiq (penerima zakat). Sedang jika hasilnya hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, atau lebih sedikit maka baginya tidak wajib zakat. Kebutuhan hidup yang dimaksud adalah kebutuhan pokok, yakni, papan, sandang, pangan dan biaya yang diperlukan untuk menjalankan profesinya.

Zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam, sedangkan hasil profesi yang berupa harta dapat dikategorikan ke dalam zakat harta (simpanan/kekayaan). Dengan demikian hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka wajib baginya untuk menunaikan zakat.

Contoh
Akbar adalah seorang karyawan swasta yang berdomisili di kota Bogor, memiliki seorang istri dan 2 orang anak.
Penghasilan bersih perbulan Rp. 1.500.000,-.
Bila kebutuhan pokok keluarga tersebut kurang lebih Rp.625.000 per bulan maka kelebihan dari penghasilannya = (1.500.000 - 625.000) = Rp. 975.000 perbulan.
Apabila saldo rata-rata perbulan 975.000 maka jumlah kekayaan yang dapat dikumpulkan dalam kurun waktu satu tahun adalah Rp. 11.700.00 (lebih dari nishab).
Dengan demikian Akbar berkewajiban membayar zakat sebesar 2.5% dari saldo.
 


Dalam hal ini zakat dapat dibayarkan setiap bulan sebesar 2.5% dari saldo bulanan atau 2.5 % dari saldo tahunan.

Harta Lain-lain
1.        Saham dan Obligasi
Pada hakekatnya baik saham maupun obligasi (juga sertifikat Bank) merupakan suatu bentuk penyimpanan harta yang potensial berkembang. Oleh karenannya masuk ke dalam kategori harta yang wajib dizakati, apabila telah mencapai nishabnya. Zakatnya sebesar 2.5% dari nilai kumulatif riil bukan nilai nominal yang tertulis pada saham atau obligasi tersebut, dan zakat itu dibayarkan setiap tahun.

Contoh:
Nyonya Salamah memiliki 500.000 lembar saham PT. ABDI ILAHI, harga nominal Rp.5.000/Lembar. Pada akhir tahun buku tiap lembar mendapat deviden Rp.300,-
Total jumlah harta(saham) = 500.000 x Rp.5.300,- = Rp.2.650.000.000,-
Zakat = 2.5% x Rp. 2.650.000.000,- = Rp. 66.750.000,-
 
2.        Undian dan kuis berhadiah
Harta yang diperoleh dari hasil undian atau kuis berhadiah merupakan salah satu sebab dari kepemilikan harta yang diidentikkan dengan harta temuan (rikaz). Oleh sebab itu jika hasil tersebut memenuhi kriteria zakat, maa wajib dizakati sebasar 20% (1/5)

Contoh:
Fitri memenangkan kuis berhadiah TEBAK OLIMPIADE berupa mobil sedan seharga Rp.52.000.000,- dengan pajak undian 20% ditanggung pemenang.
Harta Fitri = Rp.52.000.000,- -Rp.10.400.000,- = Rp.41.600.000,-
Zakat = 20% x Rp.41.600.000,- = RP.8.320.000,-
3.        Hasil penjualan rumah (properti) atau penggusuran
Harta yang diperoleh dari hasil penjualan rumah (properti) atau penggusuran, dapat dikategorikan dalam dua macam:
1.      Penjualan rumah yang disebabkan karena kebutuhan, termasuk penggusuran secara terpaksa , maka hasil penjualan (penggusurannya) lebih dulu dipergunakan untuk memenuhi apa yang dibutuhkannya. Apabila hasil penjualan (penggusuran) dikurangi harta yang dibutuhkan jumlahnya masih melampaui nishab maka ia berkewajiban zakat sebesar 2.5% dari kelebihan harta tersebut.

Contoh:
Pak Ahmad terpaksa menjual rumah dan pekarangannya yang terletak di sebuah jalan protokol, di Jakarta, sebab ia tak mampu membayar pajaknya. Dari hasil penjualan Rp.150.000.000,- ia bermaksud untuk membangun rumah di pinggiran kota dan diperkirakan akan menghabiskan anggaran Rp.90.000.000,- selebihnya akan ditabung untuk bekal hari tua.
Zakat = 2.5% x (Rp.150.000.000,- - Rp.90.000.000,-)
= Rp.1.500.000,-

2.      Penjualan rumah (properti) yang tidak didasarkan pada kebutuhan maka ia wajib membayar zakat sebesar 2.5% dari hasil penjualannya.

Hikmah Zakat
Zakat merupakan ibadah yang memiliki dimensi ganda, trasendental dan horizontal. Oleh sebab itu zakat memiliki banyak arti dalam kehidupan ummat manusia, terutama Islam. Zakat memiliki banyak hikmah, baik yng berkaitan dengan Sang Khaliq maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara manusia, antara lain :
1)        Menolong, membantu, membina dan membangun kaum dhuafa yang lemah papa dengan materi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.Dengan kondisi tersebut mereka akan mampu melaksanakan kewajibannya terhadap Allah SWT
2)        Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki dari diri orang-orang di sekitarnya berkehidupan cukup, apalagi mewah. Sedang ia sendiri tak memiliki apa-apa dan tidak ada uluran tangan dari mereka (orang kaya) kepadanya.
3)        Dapat mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, emurnikan jiwa (menumbuhkan akhlaq mulia menjadi murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan) dan mengikis sifat bakhil (kikir) serta serakah. Dengan begitu akhirnya suasana ketenangan bathin karena terbebas dari tuntutan Allah SWT dan kewajiban kemasyarakatan, akan selalu melingkupi hati.
4)        Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip: Ummatn Wahidan (umat yang satu), Musawah (persamaan derajat, dan dan kewajiban), Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan Takaful Ijti'ma (tanggung jawab bersama)
5)        Menjadi unsur penting dalam mewujudakan keseimbanagn dalam distribusi harta (sosial distribution), dan keseimbangan tanggungjawab individu dalam masyarakat
6)        Zakat adalah ibadah maaliyah yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah SWT dan juga merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusian dan keadilan, pembuktian persaudaraan Islam, pengikat persatuan ummat dan bangsa, sebagai pengikat bathin antara golongan kaya dengan yang miskin dan sebagai penimbun jurang yang menjadi pemisah antara golongan yang kuat dengan yang lemah
7)        Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera dimana hubungan seseorang dengan yang lainnya menjadi rukun, damai dan harmonis yang akhirnya dapat menciptakan situasi yang tentram, aman lahir bathin. Dalam masyarakat seperti itu takkan ada lagi kekhawatiran akan hidupnya kembali bahaya komunisme 9atheis) dan paham atau ajaran yang sesat dan menyesatkan. Sebab dengan dimensi dan fungsi ganda zakat, persoalan yang dihadapi kapitalisme dan sosialisme dengan sendirinya sudah terjawab. Akhirnya sesuai dengan janji Allah SWT, akan terciptalah sebuah masyarakat yang baldatun thoyibun wa Rabbun Ghafur.